Sejak kapan ya ibu mulai berubah ? Sejak aku memutuskan untuk kuliah di kota ? Atau sejak bapak meninggal ? Hmm…aku berusaha mengingat-ingat. Kapan ya tepatnya….
“Mau kemana Sari ?” sebuah suara berat menyapaku.
Sambil berpikir mengapa aku sering mendengar pertanyaan seperti ini, aku mendongak. Pak Kepala Desa berdiri di hadapanku. Aku melirik ke sekeliling. Ternyata tanpa sadar aku sudah berjalan jauh sampai hampir ke batas desa.
“Ehh… mau .… mau kerumah Agung pak,” jawabku asal saja sambil tersenyum sopan. Kebetulan rumah Agung memang sudah dekat sekali dari sini. Tinggal beberapa langkah lagi.
“Ooh begitu,” Pak Kepala Desa mengangguk-angguk. “Syukurlah kamu masih mau bergaul dengan teman-teman lama kamu Sari,” sambungnya lagi sambil tersenyum penuh arti.
Rasanya lebih seperti peringatan daripada sebuah sapaan ramah tamah. Aku hanya tersenyum dan melanjutkan langkah.
Kubelokkan kakiku memasuki pekarangan rumah Agung. Aku memang tidak tahu mau kemana lagi. Mau pulang tapi malas bertemu dengan ibu yang saat ini pasti masih emosi gara-gara kejadian tadi. Lagipula aku juga ingin menanyakan tentang minema kepada Agung. Mungkin dia tahu sesuatu.
Kulihat ibu Agung sedang menyapu halaman depan rumahnya. “Permisi bu,” sapaku. “Agungnya ada ?”
Ibu Agung menoleh dan terlihat agak terkejut ketika melihatku. Tapi belum sempat beliau bicara apa-apa, tiba-tiba Agung keluar dari dalam rumah.
“Oh… Sari. Tumben datang kesini.”
“Iih jahat banget sambutannya Gung,” aku nyengir agak malu, ”Iya maaf deeh aku baru sempat main kesini sekarang.”