Kita masih menikmati angin senja menanggalkan riuh kota
Menikmati segala musim dan muasalnya, hulu air mata dan anak-anak sungai
Yang menggenangi sepanjang waktu, dengan bebatuan licin dan runcing.Â
Sesekali suara riuh pohon bambu mencumbu rayu
Cangkir kopi sudah menapak ampasnya, menggeretak tatak
dan bekas bibir waktu yang telah kita lumatkan
Tak mudah memahami filosofi kopi
Se cangkir yang tercipta dari berlapis-lapis kenangan
Bertimbun hingga di meja. Sajian merenda rindu
Kita belajar dan mengeja-eja waktu
Membalut luka-luka, menyimpulkan canda
Menimbang angin dan angan
Jikapun engkau ataupun aku
Dari beribu puisi yang kita ciptakan itu, tak sepenuh nyata
Diksi-diksi yang tersimpul, tersimpan rapat diam-diam
Menjadi nyala bara, ditiup angin-ingin dan asaÂ
Jika secangkir kopi ini masih sempat kita nikmati
Dipenghujung perdebatan antara senja dan malam
Pergi atau pulang dengan segenap jiwa dalam perihnya sendiri-sendiri
Aku tak jua kuasa mengurai-urai untuk memahamimu
Tak mampu menyelami rasa kopi sesungguhnya
Engkau merupa  kebun kopi yang sulit kutakar luasnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H