Entah ke mana merah sore, jeda romantisme sepenggal hati pemuja
bilik hati nan berkabut, ditumbuhi ilalang dan savana musim kemarau
Desau angin memilinkan khabar kerinduan berjalin lengan waktu
Teratur mengatur jarak, kaki meja masa silam dengan secangkir kopi
menguapkan asap ke pucuk awan
*
Sore yang pucat menunggu derak senja di pelataran,
Pawana senja mengaburkan ingatan dan pandangan, di jendela hanya
Debu-debu kehidupan, tak terhapus butirannya
Basah mungkin, embun dan rebas mengajari dewasa membaca takdir
Sudut ruangan ini meraung diam-diam getar getirnya
*
Duhai hujan yang tiba-tiba memeluk tali jiwaku,
Kau lantunkan lagi suara derasnya kenangan,
Syair-syair yang telah tergubah berabab lalu
Hujan membacakan ritma dalam lubuk jiwa
Tetapi, hujan akan tetap berlalu mengeja pertemuan dan perpisahan
Dalam rangkai diksi seindah dan sesunyi pelangi
Aku tak bisa lagi menuliskan apa-apa
*
Mungkin, hujan berlalu begitu ranum, seakan membasuh ingatan
Tetapi hujan bukanlah dirimu, yang membasuh kerinduan
Walau sama membuat getar jiwaku,
Akan kehausan, akan kedinginan
Lengan hujan yang basah dalam pelukanku
Bukanlah lenganmu yang menyandarkan harapan
*
Ah, aku. Terlalu lemah
Ketika kepergian dan hilang jejak untuk pulang
Harusnya telah kukurung semua ingatan tentangmu, kekasih
Tetapi bagaimana mungkin melupakanmu seperti hujan yang berlalu
selalu menghentikan langkahku untuk berteduh
Di bawah hangat sinar matamu
Bandung, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H