Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Antara Krisis Ekonomi, Chaos, dan Genosida Alam

2 April 2020   20:34 Diperbarui: 3 April 2020   10:17 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wabah virus corona pada hari ini telah menjadi masalah bagi seluruh negara di dunia. Era globalisasi yang terjadi pada saat ini membuat penyebaran virus corona terjadi dengan begitu cepat, keberadaannya sangat sulit untuk dideteksi, sementara itu vaksinnya belum juga ditemukan.

Negara-negara yang jauh lebih maju dari Indonesia, seperti Tiongkok, Korea Selatan, Spanyol, Italia, Inggris, Perancis, maupun Jerman, merasa begitu kelabakan dalam mengantisipasi penyebaran wabah ini. Bahkan sang negara adidaya, Amerika Serikat, kini memimpin daftar jumlah penderita virus corona terbanyak di dunia.

Setiap langkah kebijakan yang diambil oleh seluruh negara di dunia masih bersifat eksperimen. Dan sejauh ini, baru ada tiga strategi yang tersedia untuk mengantisipasi wabah virus corona, yaitu : Pertama; social distancing, yaitu masyarakat diarahkan untuk menjauhi keramaian dan menjaga jarak. Kedua; lockdown atau penguncian wilayah. Ketiga; herd imunity, yaitu pemberian vaksin secara meluas atau terbentuknya kekebalan alami pada sebagian besar orang dalam suatu kelompok setelah mereka terpapar dan sembuh dari penyakit tersebut.

Dilematis Kebijakan

Sudah terhitung satu bulan sejak pertama kali diumumkan, perkembangan wabah virus corona di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Setiap harinya terdapat peningkatan jumlah korban hingga menyentuh angka sepuluh sampai dengan dua puluh persen. Bahkan tidak hanya itu, persebaran virus corona kini telah menjangkau seluruh propinsi yang ada di Indonesia.

Sejak awal terdeteksi, berbagai elemen masyarakat mendesak pemerintah untuk menerapkan kebijakan lockdown. Desakan ini bukannya tanpa alasan. Masyarakat Indonesia sudah terlebih dahulu jengkel dengan pemerintah yang dianggap lalai karena tidak segera melakukan lockdown sebelum terdeteksi adanya kasus positif virus corona di Indonesia.

Walaupun menyadari bahaya dari situasi saat ini, pemerintah sejak awal keukeuh untuk mengambil kebijakan social distancing dalam penanganan wabah virus corona. Bahkan dalam pidato terbarunya, presiden Jokowi mengumumkan jika kebijakan social distancing yang akan dijalankan kali ini dengan skala yang lebih besar, lebih tegas, lebih disiplin, lebih efektif, dan jika dibutuhkan, akan didampingi dengan status Darurat Sipil.

Keluarnya statement Darurat Sipil dari Presiden Jokowi langsung menjadi momok di tengah masyarakat Indonesia, hingga menimbulkan "wabah" baru berupa keresahan sosial. Masyarakat resah jika aktifitas kesehariannya akan dibatasi dengan sangat ketat, namun kebutuhan dasarnya tidak dipenuhi.

Namun presiden Jokowi menjawab keresahan masyarakat ini dengan menjelaskan, bahwa status Darurat Sipil baru diberlakukan dalam situasi abnormal. Karena dalam menghadapi persoalan wabah virus corona, pemerintah harus menyiapkan seluruh skenario yang ada, mulai dari yang ringan, moderat, sedang, sampai kepada kemungkinan yang terberat (kompas.com).

Darurat Sipil bisa dianalogikan seperti alat pentungan dan kendaraan operasional milik para anggota Polantas. Jika masyarakat bisa diajak tertib, cukup patuh hanya dengan himbauan, alat pentungan dan kendaraan operasional itu tentu tidak akan digunakan. Opsi status Darurat Sipil dipersiapkan karena melihat tingkat kepatuhan dan kedisiplinan masyarakat Indonesia yang masih tergolong rendah.

Ketahanan Ekonomi dan Pangan

Pemerintah mengambil kebijakan social distancing karena mayoritas masyarakat Indonesia masih mengandalkan penghasilan harian untuk memenuhi kebutuhan. Belum lagi sejumlah industri manufaktur dan pariwisata kini mulai bertumbangan sejak merebaknya wabah ini. Pekerja makin rentan dirumahkan. Pekerja informal, pelaku usaha mikro, penganggur terbuka, buruh tani, dan pekerja lain dengan pekerjaan yang sifatnya subsisten kini terancam.

Menurut Rektor Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro, perekonomian adalah satu kesatuan arus mengalir yang terdiri dari masyarakat konsumen dan produsen. Pengeluaran satu entitas adalah rezeki bagi yang lain. Produksi dari satu entitas bukan hanya merupakan barang dan jasa yang siap dikonsumsi, melainkan juga pendapatan bagi rumah tangga yang bekerja di pabrik dan rumah tangga produksi (radioidola.com).

Dari segi pelaku sektor produksi, perekonomian Indonesia didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan pada tahun 2019 entitas produksi Indonesia didominasi UMKM, yaitu 99,99 persen dari total jumlah unit usaha yang ada. Sementara itu, dari sisi nilai tambah, UMKM menjadi tulang punggung perekonomian negara dengan menyumbang sekitar 63 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam menghadapi wabah virus corona, pemerintah tidak mungkin hanya memfokuskan diri pada sektor kesehatan saja dengan mengabaikan sektor perekonomian. Karena jika terjadi krisis ekonomi, suka tidak suka, pada akhirnya akan berdampak pada sektor kesehatan pula.

Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, apabila lockdown dilakukan bahkan jika hanya di Jakarta saja, sudah dipastikan ketersediaan pangan terganggu. Pasalnya, sebagian besar kebutuhan pokok disumbang dari daerah di luar Jakarta sehingga arus distribusi barang akan terganggu jika lockdown dilakukan. Kelangkaan bahan pokok khususnya menjelang ramadhan akan menyeret kenaikan harga. Inflasi bisa tembus di atas 6% dan merugikan daya beli masyarakat se-Indonesia.

Kalau Jakarta saja yang di-lockdown, aktivitas semua perusahaan yang kantornya di pusat Jakarta akan terganggu. UMKM yang terkena imbas paling parah. Driver ojek online tidak bisa bekerja, gelombang PHK naik, pertumbuhan ekonomi bisa anjlok signifikan, dan krisis makin cepat. Sehingga menurut Bhima, kebijakan lockdown harus dihindari. Karena pemerintah harus menyiapkan stok bahan makanan yang cukup serta stok likuiditas bank yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya rush money akibat kepanikan masyarakat (cnbcindonesia.com).

Lockdown Tidak Menjamin Solusi

Disamping berbagai dampak besar yang mungkin terjadi, kebijakan lockdown juga belum tentu akan menyelesaikan persoalan. Sejauh ini, hanya negara Tiongkok yang bisa dikatakan paling berhasil dalam menerapkannya.

Kepala Institut Kesehatan Nasional Belanda (RIVM), Jaap van Dissel, menjelaskan bahwa penguncian yang panjang hanya melindungi masyarakat jika vaksin dibuat selama periode lockdown. Menurut van Dissel, konsep lockdown total memang akan memastikan lebih sedikit orang yang terinfeksi. Namun ketika kehidupan kembali normal sedangkan vaksin belum ditemukan, masyarakat akan kembali terpapar bahaya. Jika virus muncul kembali setelah periode lockdown berakhir, masyarakat akan sama rentannya seperti di awal (msn.com).

Pendapat van Dissel perlahan mulai terbukti. Pasca diakhirinya kebijakan lockdown, beredar kabar kalau beberapa warga Wuhan yang pernah terkonfirmasi positif terinfeksi virus corona dan telah dinyatakan sembuh, belakangan teruji positif lagi.

Data ini dikonfirmasi oleh beberapa fasilitas karantina penampung para pasien virus corona usai dipulangkan pihak Rumah Sakit. Sebanyak 5-10 persen dari pasien yang sudah sembuh itu teruji positif kembali. Bahkan beberapa yang positif kembali itu tidak menunjukkan gejala sakit. Ini yang memicu kekhawatiran, bahwa wabah belum benar-benar meninggalkan Wuhan (tempo.co).

Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya jika situasi seperti itu terjadi di Indonesia. Setelah mengeluarkan energi yang sangat besar di tengah ancaman terganggunya perekonomian negara saat menerapkan kebijakan lockdown nasional, dalam posisi yang sudah sangat kelelahan dan kewalahan, ternyata kita harus mengulangi kembali semuanya dari awal.

Oleh sebab itu, dalam menyikapi persoalan lockdown, jangan hanya merujuk kepada negara Tiongkok saja. Kita sepatutnya dapat pula mengambil pelajaran dari kegagalan lockdown yang terjadi di India, dimana kondisinya lebih mirip dengan Indonesia.

Kebijakan lockdown di India justru membuat masyarakat marjinal terkena imbasnya. Ribuan pekerja migran dan informal kehilangan pekerjaan, pasokan barang terganggu, ribuan tunawisma telantar di jalan, bahkan masalah kekurangan gizi juga terjadi. India saat ini sangat berpotensi mengalami situasi chaos.

Merujuk kepada data yang dikumpulkan oleh situs Warta Ekonomi, sejumlah alasan yang membuat upaya lockdown di India gagal diantaranya : Pertama, karena banyaknya pekerja di sektor informal, dimana ada jutaan penduduk yang bekerja dengan mengandalkan pendapatan harian. Kedua, tidak didukungnya kebutuhan hidup masyarakat marjinal (kelas bawah) oleh pemerintah. Ketiga, ketersediaan tempat tidur yang rendah di rumah sakit. Keempat, tingkat tes virus corona yang rendah.

Skenario Terburuk

Di bulan pertama mewabahnya virus corona di Indonesia, kebijakan social distancing yang dijalankan oleh pemerintah belum terlihat efektif. Buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, minimnya alat kesehatan dan kurangnya obat-obatan, serta tingkat kedisiplinan masyarakat yang masih rendah, membuat penderita virus corona di Indonesia semakin hari semakin meluas dan bertambah.

Memasuki bulan kedua, situasi sudah mulai mencekam. Sebagian kalangan masih ada yang terus mendesak pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan lockdown. Menurut perhitungan yang dilakukan oleh Presiden Ahlina Institute, dr. Tifauzia Tyassuma, terdapat potensi ledakan pasien positif virus corona hingga mencapai satu juta orang jika kebijakan lockdown tidak segera diterapkan (alinea.id).

Adapun menurut analis intelijen A. Adipati Karnawijaya, jika melihat dari kondisi yang ada pada saat ini, Indonesia berpotensi menjadi epicentrum untuk wabah virus corona (rmol.id).

Pemerintah memang berada pada posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi keselamatan masyarakat harus diutamakan, tetapi di sisi lain perekonomian negara juga harus diselamatkan. Sedangkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang baru saja diambil, sama sekali tidak menjamin akan memberikan hasil seperti yang diharapkan.

Direktur Riset Center of Reform on Economy (CORE), Piter Abdullah, mengingatkan bahaya yang dapat timbul jika penanganan wabah virus corona serba tanggung seperti yang terjadi pada bulan pertama. Dengan pola penanggulangan seperti kemarin, ledakan penderita virus corona sangat mungkin terjadi, yang pada ujungnya akan memaksa pemerintah mau tidak mau harus menerapkan kebijakan lockdown. 

Piter khawatir jika kebijakan lockdown diambil dalam situasi terpaksa karena korban virus corona yang sudah tidak dapat tertanggulangi, maka proses recovery akan jauh lebih lama dan dampak negatifnya terhadap perekonomian justru akan jauh lebih besar (cnbcindonesia.com).

Jika berakhir pada situasi seperti ini, maka Indonesia sangat mungkin akan bernasib sama seperti Italia. Saat ini korban meninggal akibat virus corona di Italia telah mencapai lebih dari 10.000 orang, meskipun mereka sudah menjalani lockdown selama 16 hari. Pemerintah Italia kini dibuat pusing tujuh keliling dengan situasi di negara mereka, karena kebijakan lockdown yang diambil kini malah berdampak buruk pada kekacauan sosial dan ancaman revolusi (kompas.com).

Kegelisahan warga Italia sedang mencapai titik puncak selama diberlakukannya lockdown. Kini seruan revolusi pun mulai menguat. Setelah menerapkan lockdown sejak dua pekan lalu, warga Italia mulai kekurangan bahan makanan. Bisnis London melaporkan bahwa sejumlah warga di negeri pizza itu mulai melakukan penjarahan terhadap supermarket (kompas.com).

Perdana Menteri Italia, Giuseppe Conte, sampai mendesak Uni Eropa agar mengeluarkan "obligasi bersama" untuk mengumpulkan uang guna memenuhi kebutuhan warga dari negara-negara Eropa yang terdampak sangat parah oleh wabah virus corona. Namun usulan ini ditentang oleh negara-negara yang memiliki anggaran kuat seperti Jerman dan Belanda.

Giuseppe Conte bahkan menyampaikan jika dirinya dan Kanselir Jerman, Angela Merkel, tidak saja berbeda pandangan mengenai usulan ini, tetapi mereka juga bertengkar mengenai implementasinya. Conte mengatakan, jika Eropa tidak bangkit untuk menyikapi tantangan ini, maka mereka bakal kehilangan raison d'etre (alasan untuk eksis) di hadapan rakyatnya (kompas.com).

Negara Italia kini diambang keruntuhan. Rakyatnya berada pada posisi terjepit, diantara krisis ekonomi yang sedang melanda, potensi chaos yang sudah ada di depan mata, serta genosida alam akibat terus bertambahnya korban meninggal karena terinfeksi oleh virus corona. Apa yang sedang dialami oleh negara Italia sangat mungkin menjadi skenario terburuk yang juga akan dialami oleh Indonesia.

Menjernihkan Pikiran

Tulisan ini hadir bukan sebagai bentuk pembelaan terhadap setiap langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani wabah virus corona. Akan tetapi, tulisan ini mengajak kita semua untuk menjernihkan pikiran, melihat dengan jelas, situasi apa dan bagaimana sebenarnya yang sedang kita hadapi pada saat ini.

Bangsa Indonesia sepatutnya meresapi sebuah pesan dari Kepala Program Kedaruratan WHO, Michael Ryan, yang mengatakan bahwa deklarasi wabah virus corona sebagai pandemi oleh WHO, dimaksudkan agar dunia mau bangkit untuk berperang (tempo.co).

Inilah hakikat dari situasi yang sedang kita hadapi pada saat ini. Kita bukan hanya sekedar menghadapi sebuah bencana, namun lebih daripada itu, bencana wabah virus corona ibarat sebuah peperangan. Perang yang tidak biasa, namun mengancam keselamatan kita semua. Perang melawan musuh yang tidak terlihat secara kasat mata, sehingga tidak bisa dihadapi dengan menggunakan senjata. Dan dalam peperangan ini, belum ada strategi yang benar-benar ampuh untuk menjamin hadirnya kemenangan.

Biasanya pada setiap peperangan, sehebat apapun strategi yang disusun dan secanggih apapun senjata yang digunakan, tidak akan mungkin berjalan tanpa adanya kerjasama dan soliditas antar pasukan. Maka demikian pula halnya dengan peperangan ini. Strategi apapun yang kita jalankan pada saat ini hanya akan mampu menghadirkan kemenangan jika kita bisa tetap disiplin dan berpikir tenang, menumbuhkan semangat kerjasama dan jiwa gotong royong, serta memperkuat solidaritas kebangsaan.

Segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sepatutnya menanamkan nilai ke dalam dirinya, bahwa segala bentuk pemikiran, sikap, mental, dan perilaku, apakah dengan berdiam diri di rumah, menjaga kebersihan, membatasi jarak sosial, atau mengurangi pergerakan, tidak semata-mata hanya ditujukan untuk menjaga keselamatan. Namun lebih daripada itu, segala bentuk upaya menjaga keselamatan diri dan lingkungan, merupakan bagian dari aksi pembelaan terhadap negara dari ancaman kehancuran.

Selamat berjuang bangsa Indonesia. Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun