Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Di Antara Krisis Ekonomi, Chaos, dan Genosida Alam

2 April 2020   20:34 Diperbarui: 3 April 2020   10:17 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah mengambil kebijakan social distancing karena mayoritas masyarakat Indonesia masih mengandalkan penghasilan harian untuk memenuhi kebutuhan. Belum lagi sejumlah industri manufaktur dan pariwisata kini mulai bertumbangan sejak merebaknya wabah ini. Pekerja makin rentan dirumahkan. Pekerja informal, pelaku usaha mikro, penganggur terbuka, buruh tani, dan pekerja lain dengan pekerjaan yang sifatnya subsisten kini terancam.

Menurut Rektor Universitas Indonesia, Prof. Ari Kuncoro, perekonomian adalah satu kesatuan arus mengalir yang terdiri dari masyarakat konsumen dan produsen. Pengeluaran satu entitas adalah rezeki bagi yang lain. Produksi dari satu entitas bukan hanya merupakan barang dan jasa yang siap dikonsumsi, melainkan juga pendapatan bagi rumah tangga yang bekerja di pabrik dan rumah tangga produksi (radioidola.com).

Dari segi pelaku sektor produksi, perekonomian Indonesia didominasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Data Kementerian Koperasi dan UKM menyebutkan pada tahun 2019 entitas produksi Indonesia didominasi UMKM, yaitu 99,99 persen dari total jumlah unit usaha yang ada. Sementara itu, dari sisi nilai tambah, UMKM menjadi tulang punggung perekonomian negara dengan menyumbang sekitar 63 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Dalam menghadapi wabah virus corona, pemerintah tidak mungkin hanya memfokuskan diri pada sektor kesehatan saja dengan mengabaikan sektor perekonomian. Karena jika terjadi krisis ekonomi, suka tidak suka, pada akhirnya akan berdampak pada sektor kesehatan pula.

Menurut ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, apabila lockdown dilakukan bahkan jika hanya di Jakarta saja, sudah dipastikan ketersediaan pangan terganggu. Pasalnya, sebagian besar kebutuhan pokok disumbang dari daerah di luar Jakarta sehingga arus distribusi barang akan terganggu jika lockdown dilakukan. Kelangkaan bahan pokok khususnya menjelang ramadhan akan menyeret kenaikan harga. Inflasi bisa tembus di atas 6% dan merugikan daya beli masyarakat se-Indonesia.

Kalau Jakarta saja yang di-lockdown, aktivitas semua perusahaan yang kantornya di pusat Jakarta akan terganggu. UMKM yang terkena imbas paling parah. Driver ojek online tidak bisa bekerja, gelombang PHK naik, pertumbuhan ekonomi bisa anjlok signifikan, dan krisis makin cepat. Sehingga menurut Bhima, kebijakan lockdown harus dihindari. Karena pemerintah harus menyiapkan stok bahan makanan yang cukup serta stok likuiditas bank yang kuat untuk mengantisipasi terjadinya rush money akibat kepanikan masyarakat (cnbcindonesia.com).

Lockdown Tidak Menjamin Solusi

Disamping berbagai dampak besar yang mungkin terjadi, kebijakan lockdown juga belum tentu akan menyelesaikan persoalan. Sejauh ini, hanya negara Tiongkok yang bisa dikatakan paling berhasil dalam menerapkannya.

Kepala Institut Kesehatan Nasional Belanda (RIVM), Jaap van Dissel, menjelaskan bahwa penguncian yang panjang hanya melindungi masyarakat jika vaksin dibuat selama periode lockdown. Menurut van Dissel, konsep lockdown total memang akan memastikan lebih sedikit orang yang terinfeksi. Namun ketika kehidupan kembali normal sedangkan vaksin belum ditemukan, masyarakat akan kembali terpapar bahaya. Jika virus muncul kembali setelah periode lockdown berakhir, masyarakat akan sama rentannya seperti di awal (msn.com).

Pendapat van Dissel perlahan mulai terbukti. Pasca diakhirinya kebijakan lockdown, beredar kabar kalau beberapa warga Wuhan yang pernah terkonfirmasi positif terinfeksi virus corona dan telah dinyatakan sembuh, belakangan teruji positif lagi.

Data ini dikonfirmasi oleh beberapa fasilitas karantina penampung para pasien virus corona usai dipulangkan pihak Rumah Sakit. Sebanyak 5-10 persen dari pasien yang sudah sembuh itu teruji positif kembali. Bahkan beberapa yang positif kembali itu tidak menunjukkan gejala sakit. Ini yang memicu kekhawatiran, bahwa wabah belum benar-benar meninggalkan Wuhan (tempo.co).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun