Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Identitas, Ketika Agama dan Nasionalisme Berubah Menjadi Candu

5 Juli 2019   09:30 Diperbarui: 5 Juli 2019   10:02 2506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Masyarakat Indonesia baru-baru ini dikejutkan oleh beredarnya sebuah video, dimana ada seorang wanita Katolik dengan membawa seekor anjing masuk ke dalam sebuah mesjid sambil mengumbar amarah. Menariknya, respon yang diberikan oleh umat Islam dibalik peristiwa ini tidak kalah mengejutkan. Sebagian ada yang menganggap kejadian ini merupakan permusuhan dari kelompok "anti-Islam". 

Sebagian lagi ada yang mengaitkan peristiwa ini dengan masalah pemilu yang baru saja dilangsungkan. Ada pula yang mengeluarkan umpatan sambil mengucapkan perkataan kotor dan sumpah serapah. Bahkan ada yang merasa kegirangan saat mendapatkan kabar bahwa si anjing yang malang tersebut telah ditemukan dalam keadaan mati.

Akan tetapi respon mengejutkan dari sebagian umat Islam ini tidaklah berdiri sendiri. Ada sekelompok masyarakat lainnya yang hadir memberikan "perlawanan". Sehingga dalam sekejap mata, media sosial menjadi wadah perdebatan sengit antar sesama anak bangsa. Sikap saling mengolok, saling menghujat, saling menghina, sampai adu argumen menghiasi laman utama berbagai media sosial yang ada.

Fenomena yang bisa kita saksikan dengan jelas akibat dari peristiwa ini merupakan rangkaian dari drama politik identitas yang kini sedang menjangkiti Indonesia. Politik identitas merupakan alat perjuangan politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama, atau yang lainnya untuk mencapai tujuan tertentu, dimana kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh faktor adanya tekanan karena merasa terjadi ketidakadilan politik. 

Dalam hal ini, identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim, yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari orang-orang yang merasa "sama", atau hanya sekedar untuk menunjukkan jati diri kelompoknya.

Fenomena Politik Identitas di Indonesia

Kemunculan politik identitas di Indonesia berawal dari kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Ahok, pada tahun 2016 yang lalu. Pada saat itu banyak umat Islam di Indonesia yang merasa marah atas ucapan Ahok yang dianggap telah menistakan Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51.

Masalah muncul ketika sebagian umat Islam menganggap pemerintah sudah bersikap tidak adil karena tidak serius dalam melakukan proses hukum terhadap Ahok, yang notabene pada saat itu merupakan bagian dari koalisi pemerintah. Hal ini menyebabkan lahirrnya gelombang aksi massa dalam jumlah yang sangat besar untuk menuntut pemerintah agar segera memproses hukum Ahok.

Di sisi lain, Ahok yang beragama Kristen dan ber-etnis Tionghoa, dianggap sebagai representasi dari kaum minoritas di Indonesia. Fakta ini kemudian memunculkan sentimen dari sebagian kelompok masyarakat pendukung pemerintah, yang menonjolkan identitas mereka sebagai kelompok nasionalis, dimana mereka melihat kelompok Islam telah berlaku diskriminatif kepada golongan minoritas. 

Dan hal ini dianggap tidak sesuai dengan ideologi Pancasila yang sangat mengedepankan kebhinekaan. Kelompok nasionalis ini merespon aksi massa yang dilakukan oleh kelompok Islam dengan menggelar aksi yang serupa.

Dari sini, ketegangan antar kedua kelompok terus meningkat, hingga akhirnya muncul praktik politik identitas di Indonesia. Praktik politik identitas ini terus berlanjut dan menghiasi atmosfer utama kehidupan berbangsa dan bernegara dari sejak awal kemunculannya sampai dengan peristiwa beredarnya video wanita Katolik di dalam mesjid yang baru saja kita saksikan.

Sebab Munculnya Politik Identitas 

Mengapa Indonesia bisa mengalami situasi yang sangat tidak menyenangkan seperti sekarang ini? Jawaban atas pertanyaan ini bisa didapatkan dengan melakukan analisa berdasarkan teori Anxiety-Uncertainty Management (AUM) yang dikembangkan oleh William Gudykunst, seorang profesor Speech Communication di California State University. Melalui teori ini, Gudykunst menyakini bahwa kecemasan dan ketidakpastian adalah dasar penyebab dari kegagalan komunikasi pada situasi antar kelompok.

Lambatnya proses hukum di awal kemunculan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok telah menimbulkan kecemasan bagi kelompok Islam. Hal ini dianggap sebagai bentuk upaya perlindungan pemerintah terhadap seseorang yang telah melakukan penistaan terhadap Al-Quran. 

Sehingga dalam pandangan kelompok Islam, pemerintah beserta seluruh partai dan organisasi pendukungnya divonis sebagai kelompok "anti-Islam" karena dianggap telah membela seorang penista agama.

Sebaliknya, kelompok nasionalis juga merasa cemas terhadap gelombang aksi massa yang dilakukan oleh kelompok Islam. Aksi massa yang telah memberikan tekanan politik kepada pemerintah ini dianggap sebagai ancaman bagi kebhinekaan, karena Ahok merupakan bagian dari golongan minoritas. 

Sehingga dalam pandangan kelompok nasionalis, siapapun yang menjadi bagian atau memberikan dukungan kepada aksi massa yang dilakukan oleh kelompok Islam, akan divonis sebagai kelompok "radikal dan anti kebhinekaan".

Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh kedua kelompok terhadap lawan identitas mereka di tengah kecemasan yang mereka alami. Mereka tetap saja diliputi kecemasan dan rasa ketidakpastian atas eksistensi dari lawan identitas mereka. 

Sehingga jalan pintas yang diambil untuk menghilangkan kegagapan atas kecemasan dan ketidakpastian yang mereka rasakan adalah dengan memperkuat solidaritas di antara orang-orang yang memiliki identitas yang sama, dengan cara mengarahkan fokus utama setiap kajian pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada berbagai asumsi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Inilah penyebab munculnya politik identitas.

Politik Identitas adalah Candu

Mengapa setiap orang yang terjebak di dalam politik identitas terlihat begitu nyaman dan menikmati situasi ini? Jawabannya adalah karena politik identitas memiliki fungsi dalam masyarakat yang mirip dengan fungsi opium (candu) terhadap orang sakit. 

Sebagaimana fungsi opium yang dapat menghilangkan rasa sakit dan kecemasan dengan menghadirkan halusinasi, maka demikian pula fungsi politik identitas bagi kelompok masyarakat yang diliputi kecemasan karena gagal menyesuaikan imajinasi sosial mereka dengan realitas kehidupan.

Kedua kelompok identitas di Indonesia tidak menyadari bahaya sesungguhnya dari politik identitas yang terus-menerus mereka lestarikan. Padahal sebagaimana halnya dengan opium (candu), politik identitas juga akan menyebabkan munculnya halusinasi. Fenomena ini terlihat begitu jelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia akhir-akhir ini.

Misalnya saja dalam pilpres 2019 yang baru saja dilangsungkan, umat Islam yang terjebak dalam politik idenitas meyakini bahwa partisipasi mereka dalam pesta Demokrasi lima tahunan yang sudah berlangsung selama puluhan tahun ini adalah bentuk jihad fi sabilillah. Mereka sangat menghayati, menganggap partisipasi dalam pilpres sebagai bentuk ibadah tertinggi, dan celakanya, mereka siap mati untuk hal ini. 

Bahkan mereka tidak sungkan untuk menyatakan jika calon presiden yang mereka usung kalah dalam pilpres 2019 ini, maka Allah tidak akan disembah lagi diatas muka bumi.

Demikian pula halnya dengan kelompok nasionalis. Mereka merasa begitu cemas dan khawatir jika kelompok Islam berhasil mendapatkan ruang untuk menguasai pemerintahan, maka tidak akan ada lagi NKRI. Oleh karena itu mereka tidak ingin ada ruang sedikitpun bagi politik Islam di Indonesia. 

Siapa saja yang berbicara tentang Syariat Islam atau Khilafah, akan dianggap sebagai musuh negara yang harus disingkirkan. Istilah "Khilafah" yang sudah ada sejak zaman sebelum Indonesia merdeka, dalam sekejap mata menjelma sebagai hantu baru yang begitu menakutkan.

Kita ambil contoh dengan apa yang terjadi pada bulan Desember 2017, dimana Ustadz Abdul Somad dipersekusi oleh sejumlah ormas di Bali ketika hendak memberikan ceramah pada sebuah acara tabligh akbar. 

Dengan membawa berbagai senjata tajam, sejumlah ormas tersebut mendatangi hotel tempat Ustadz Abdul Somad menginap untuk menuntut pembatalan acara tablgih akbar, sekaligus mengusir Ustadz Abdul Somad.

Persekusi ini dilakukan dengan alasan untuk menjaga NKRI dari faham radikal dan intoleran. Menurut mereka, Ustadz Abdul Somad merupakan sosok yang anti NKRI karena dalam beberapa ceramahnya pernah menyinggung soal Khilafah dan sering mendorong penerapan Syariat Islam di Indonesia.

Bahaya Politik Identitas

Wabah politik identitas yang kini melanda Indonesia sudah sangat meresahkan. Hampir setiap hari kita menyaksikan berbagai narasi yang muncul dengan aroma kebencian dan permusuhan. Agama yang seharusnya berfungsi sebagai pedoman kehidupan dan menghadirkan kesejukan, kini berubah menjadi senjata yang digunakan untuk membunuh rasa kasih sayang. 

Demikian pula dengan spirit nasionalisme yang seharusnya menjadi perekat dalam kehidupan berbangsa dan benegara, kini justru menjadi tongkat pemukul untuk memecah belah persatuan.

Inilah bahaya dari politik identitas. Orang-orang yang terjebak di dalamnya akan menjadikan  identitas yang mereka tonjolkan berfungsi layaknya opium atau candu dalam dunia kedokteran. 

Sebagaimana sifat candu yang menghadirkan halusinasi, kelompok identitas juga akan begitu larut dalam halusinasi mereka sendiri, sehingga akal sehat akan dikesampingkan dan hidup mereka berjalan dengan hukum kebalikan.

Dalam kasus video wanita Katolik yang tersebar baru-baru ini, memang tidak bisa dipungkiri merupakan sesuatu yang wajar jika ada umat Islam yang merasa marah ketika pertama kali melihatnya. Namun seharusnya kejadian ini masih bisa disikapi dengan akal sehat dan pikiran yang tenang. 

Ada hukum sebab-akibat yang harus diteliti dan ada motif yang harus digali untuk mendapatkan fakta sebenarnya dibalik peristiwa tersebut. Karena ini merupakan prinsip ajaran Islam.

"Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka TELITILAH KEBENARANNYA, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu" (Qs. Al-Hujurat : 5).

Telah banyak suri tauladan dari Rasulullah SAW dalam menyikapi suatu berita atau peristiwa. Beliau sangat bijaksana, tidak mengedepankan amarah, juga dengan lapang membuka pintu pemaafan terhadap orang-orang yang melakukan kekhilafan. 

Sementara itu umat Islam yang terjebak di dalam politik identitas, mereka begitu cepat mengumbar amarah dan begitu mudah mengeluarkan berbagai perkataan buruk yang sama sekali tidak mencerminkan akhlak yang diajarkan oleh Islam.

"Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih  baik. Sungguh, syetan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka" (Qs. Al-Isra' : 53).

Halusinasi yang dihasilkan oleh politik identitas telah membuat kelompok Islam begitu terbuai oleh suasana yang dipenuhi dengan aroma kebencian dan permusuhan. Dalam situasi seperti ini, sikap memaafkan akan dianggap sebagai kelemahan. 

Padahal Allah SWT berfirman di dalam Al-Quran : "(yaitu) orang yang berinfak baik di waktu lapang dan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan" (Qs. Ali-Imran : 134). 

Akal sehat benar-benar telah dikesampingkan. Mereka merasa mencintai Islam, ingin membela Islam, namun respon yang mereka berikan justru bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri. Mereka justru merusak citra Islam sebagai agama yang diturunkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Candu politik identitas telah membuat mereka hidup dengan hukum kebalikan.

Hal serupa juga terjadi pada kelompok nasionalis. Bagaimana bisa sosok sederhana seperti Ustadz Abdul Somad, yang sebagian besar hidupnya saat ini dihabiskan untuk memperbaiki moral masyarakat, dianggap sebagai sosok yang radikal dan berbahaya. Halusinasi yang dihasilkan oleh candu politik identitas telah menghilangkan akal sehat mereka.

Isu Syariat Islam dan Khilafah sudah ada sejak zaman sebelum Indonesia merdeka. Sebagian dari pendiri bangsa yang ikut merumuskan Pancasila juga merupakan orang-orang yang senantiasa memperjuangkan hadirnya hukum Syariat Islam di Indonesia. 

Namun para tokoh nasionalis pada saat itu tetap bisa bersinergi dengan para tokoh Islam untuk bersama-sama memperjuangkan hadirnya kemerdekaan dan melanjutkan pembangunan.

Para pendiri bangsa tidak menjadikan spirit Nasionalisme dan Syariat Islam sebagai dua hal yang saling bertentangan, apalagi saling bermusuhan. Para tokoh nasionalis seperti Bung Karno dan Bung Hatta, dengan bijaksana mempersilakan jika ada umat Islam yang ingin mewujudkan hadirnya hukum Syariat Islam di Indonesia. Mereka memahami dengan baik makna persatuan Indonesia. 

Sementara orang-orang ini, yang merasa sebagai patriot dan nasionalis sejati, yang mengaku ingin menjaga keutuhan NKRI, respon yang mereka berikan justru semakin memecah belah persatuan dan kesatuan. Candu politik identitas telah membuat mereka hidup dengan hukum kebalikan.

Menghindari Politik Identitas

Mengapa ada orang yang begitu mudah terjebak ke dalam politik identitas? Jawabannya adalah karena ada nilai mendasar yang salah pada dirinya dalam menentukan tujuan kehidupan. Ketika seseorang ditanya, "apa tujuan hidupmu?", maka jawaban yang banyak kita dapatkan biasanya, "menjadi orang yang benar". Jawaban ini terlihat begitu indah, namun justru inilah yang sebenarnya menjadi titik masalah.

Sifat dasar manusia adalah berbuat salah secara konstan, sehingga tidak mungkin ada satu orang pun di dunia ini yang bisa mencapai derajat "orang yang benar". Karena"kebenaran itu dari Tuhanmu" (Qs. Al-Baqarah : 146), maka orang yang benar adalah orang yang dijaga oleh Tuhan dari kesalahan, dan derajat ini hanya bisa dimiliki oleh para Nabi.

Sebagai makhluk yang senantiasa berbuat salah, nilai yang seharusnya ditanamkan oleh setiap orang dalam mencapai tujuan hidupnya adalah "senantiasa mencari kebenaran". Karena kebenaran itu berasal dari Tuhan, maka mencari kebenaran sama artinya dengan mencari Tuhan. Jika tujuan hidup seseorang adalah untuk mencari kebenaran, maka itu artinya orang tersebut telah menjadikan Tuhan sebagai tujuan kehidupan.

Perbedaan di antara kedua hal ini memang sangat tipis, oleh karena itu diperlukan ketelitian. Jika seseorang menetapkan tujuan hidupnya untuk "menjadi orang yang benar", maka ketika ia merasa sudah berada pada posisi tersebut, ia akan selalu fokus untuk merespon kesalahan orang lain. 

Jika sudah seperti itu, ia akan kesulitan untuk merasionalisasi setiap kesalahan yang ada pada dirinya sendiri dan cenderung menutup diri dari  informasi baru dan penting yang datang.

Dengan kondisi seperti ini, seseorang akan terjatuh pada sikap intoleran, merasa diri paling benar dan mudah memberikan vonis atas setiap kesalahan orang lain yang ia temukan. Sementara itu kesalahan yang senantiasa muncul dari dalam dirinya sendiri tidak pernah ia sadari, sehingga kesalahan itu akan terus bertumpuk dan membawa orang tersebut berada pada jalur hidup yang salah. 

Dan yang berbahaya, kesalahan yang ada pada dirinya itu akan dianggap sebagai kebenaran. Ini adalah jebakan syetan. Orang-orang yang memiliki nilai mendasar seperti inilah yang begitu mudah terjebak ke dalam politik identitas.

Penting sekali untuk menanamkan nilai yang benar dalam menentukan tujuan kehidupan agar bisa terhindar dari jebakan politik identitas. Jika tujuan hidup seseorang adalah untuk senantiasa mencari kebenaran, maka ia akan mendapatkan satu kesadaran bahwa masih banyak sekali hal yang tidak ia ketahui. 

Ketika mendapatkan sebuah kebenaran, dengan mudah ia akan menyadari bahwa masih banyak kebenaran lain yang harus ia gali. Dengan menanamkan nilai mendasar seperti ini, seseorang akan berada pada situasi yang konstan untuk terus belajar dan tumbuh, dan ini akan membawanya pada jalur hidup yang benar.

Bisa jadi suatu waktu ia akan menemukan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain, namun hal itu tidak menjadikannya arogan dan merasa diri paling benar. Dengan nilai yang ada pada dirinya, ia memahami bahwa berbuat salah memang merupakan sifat dasar manusia sehingga tidak perlu disikapi secara berlebihan.

Biasanya, seseorang yang memiliki nilai seperti ini akan menyikapi kesalahan yang dilakukan oleh orang lain dengan bijaksana. Fokusnya bukan pada kesalahan yang dilakukan, tapi lebih pada kebenaran apa yang ditinggalkan sehingga orang tersebut berbuat salah. 

Orang seperti ini lebih suka merespon sebuah kesalahan dengan melakukan perbaikan daripada bersikap arogan. Karena ia memahami bahwa sikap arogan hanya akan memberikan efek bola salju atas sebuah kesalahan. 

Solusi

Candu politik identitas telah merusak harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika keadaan ini terus dibiarkan, maka Indonesia sangat berpotensi untuk mengalami disintegrasi bangsa. Pemerintah bersama para tokoh agama dan tokoh masyarakat sudah saatnya duduk bersama untuk mencari solusi guna mengakhiri keadaan ini.

Politik identitas hadir sebagai respon dari kecemasan dan ketidakpastian yang menghampiri sebagian masyarakat Indonesia. Untuk itu, perlu adanya rekonsiliasi dari para tokoh yang dianggap mewakili dua kelompok identitas yang saling berselisih untuk kembali menghadirkan ketenangan. 

Mengakhiri politik identitas sama artinya dengan merekatkan kembali persatuan dan kesatuan. Hal ini sangat penting, karena tidak ada suatu bangsa yang berhasil maju dalam kondisi terpecah belah. Ibarat kata pepatah, "bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun