Mohon tunggu...
Yudi Zulfahri
Yudi Zulfahri Mohon Tunggu... Dosen - Direktur Eksekutif Jalin Perdamaian

Master Kajian Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik Identitas, Ketika Agama dan Nasionalisme Berubah Menjadi Candu

5 Juli 2019   09:30 Diperbarui: 5 Juli 2019   10:02 2506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hal serupa juga terjadi pada kelompok nasionalis. Bagaimana bisa sosok sederhana seperti Ustadz Abdul Somad, yang sebagian besar hidupnya saat ini dihabiskan untuk memperbaiki moral masyarakat, dianggap sebagai sosok yang radikal dan berbahaya. Halusinasi yang dihasilkan oleh candu politik identitas telah menghilangkan akal sehat mereka.

Isu Syariat Islam dan Khilafah sudah ada sejak zaman sebelum Indonesia merdeka. Sebagian dari pendiri bangsa yang ikut merumuskan Pancasila juga merupakan orang-orang yang senantiasa memperjuangkan hadirnya hukum Syariat Islam di Indonesia. 

Namun para tokoh nasionalis pada saat itu tetap bisa bersinergi dengan para tokoh Islam untuk bersama-sama memperjuangkan hadirnya kemerdekaan dan melanjutkan pembangunan.

Para pendiri bangsa tidak menjadikan spirit Nasionalisme dan Syariat Islam sebagai dua hal yang saling bertentangan, apalagi saling bermusuhan. Para tokoh nasionalis seperti Bung Karno dan Bung Hatta, dengan bijaksana mempersilakan jika ada umat Islam yang ingin mewujudkan hadirnya hukum Syariat Islam di Indonesia. Mereka memahami dengan baik makna persatuan Indonesia. 

Sementara orang-orang ini, yang merasa sebagai patriot dan nasionalis sejati, yang mengaku ingin menjaga keutuhan NKRI, respon yang mereka berikan justru semakin memecah belah persatuan dan kesatuan. Candu politik identitas telah membuat mereka hidup dengan hukum kebalikan.

Menghindari Politik Identitas

Mengapa ada orang yang begitu mudah terjebak ke dalam politik identitas? Jawabannya adalah karena ada nilai mendasar yang salah pada dirinya dalam menentukan tujuan kehidupan. Ketika seseorang ditanya, "apa tujuan hidupmu?", maka jawaban yang banyak kita dapatkan biasanya, "menjadi orang yang benar". Jawaban ini terlihat begitu indah, namun justru inilah yang sebenarnya menjadi titik masalah.

Sifat dasar manusia adalah berbuat salah secara konstan, sehingga tidak mungkin ada satu orang pun di dunia ini yang bisa mencapai derajat "orang yang benar". Karena"kebenaran itu dari Tuhanmu" (Qs. Al-Baqarah : 146), maka orang yang benar adalah orang yang dijaga oleh Tuhan dari kesalahan, dan derajat ini hanya bisa dimiliki oleh para Nabi.

Sebagai makhluk yang senantiasa berbuat salah, nilai yang seharusnya ditanamkan oleh setiap orang dalam mencapai tujuan hidupnya adalah "senantiasa mencari kebenaran". Karena kebenaran itu berasal dari Tuhan, maka mencari kebenaran sama artinya dengan mencari Tuhan. Jika tujuan hidup seseorang adalah untuk mencari kebenaran, maka itu artinya orang tersebut telah menjadikan Tuhan sebagai tujuan kehidupan.

Perbedaan di antara kedua hal ini memang sangat tipis, oleh karena itu diperlukan ketelitian. Jika seseorang menetapkan tujuan hidupnya untuk "menjadi orang yang benar", maka ketika ia merasa sudah berada pada posisi tersebut, ia akan selalu fokus untuk merespon kesalahan orang lain. 

Jika sudah seperti itu, ia akan kesulitan untuk merasionalisasi setiap kesalahan yang ada pada dirinya sendiri dan cenderung menutup diri dari  informasi baru dan penting yang datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun