Meningkatnya permintaan akan produk segar di dunia yang serba cepat telah menyebabkan munculnya metode pertanian inovatif seperti pertanian Vertikal.
Selama ini kita cuma mengenal
pertanian hidroponik , kini ada sebuah alternatif menarik.
Ini lebih baik dari pertanian tradisional berbasis tanah untuk tanaman tertentu.
Pertanian Vertikal melibatkan pemeliharaan tanaman dalam larutan air yang kaya nutrisi, bukan tanah, namun memerlukan cahaya.
Semua nutrisi penting yang dibutuhkan untuk tumbuh. Hasilnya, tanaman tumbuh lebih cepat dan efisien. Pendekatan pertanian tanpa tanah ini dapat diterapkan untuk menanam beragam tanaman, mulai dari sayuran berdaun hijau hingga tanaman penghasil buah yang lezat.
Pertanian vertikal mengambil pendekatan berbeda untuk memaksimalkan ruang dan efisiensi. Budidaya tanaman dalam lapisan yang ditumpuk secara vertikal atau permukaan miring, biasanya dalam lingkungan terkendali seperti rumah kaca atau gudang.
Pertanian vertikal sangat bermanfaat di daerah perkotaan dimana lahan sangat terbatas.
Berbagai teknik dapat diterapkan dalam pertanian vertikal, termasuk hidroponik, aeroponik , dan aquaponik, sehingga semakin meningkatkan keserbagunaannya.
Sistem hidroponik bisa memakan biaya yang besar, terutama untuk operasi skala besar.
Sistem hidroponik memerlukan perhatian dan perawatan berkelanjutan, karena komponen seperti pompa dan sistem penyalur nutrisi memerlukan perawatan rutin.
Pertanian vertikal adalah salah satu bentuk pertanian yang dibudidayakan di dalam ruangan memerlukan energi untuk tanaman.
Tanaman atau kecambah tidak tumbuh dari tanah, melainkan tumbuh subur dalam larutan berair yang kaya nutrisi dengan sistem hidroponik.
Penelitian terhadap pertanian vertikal masih dalam tahap awal, namun para ilmuwan yakin metode budidaya ini memiliki banyak potensi untuk masalah pertanian.
“Pertanian vertikal adalah salah satu teknologi paling menjanjikan dapat memainkan peran kunci
dalam menyelesaikan trilema yaitu nutrisi, sumber daya, dan lingkungan.
Menurut perkiraan PBB, lebih dari sepuluh miliar orang di planet ini pada tahun 2060 akan menderita karena semakin banyak tanah subur yang hilang sebagian disebabkan karena penggunaan bahan kimia, cuaca ekstrem seperti kekeringan banjir yang membahayakan tanaman dan hal lainnya.
Pertanian vertikal dapat mengatasi semuanya ini ,karena tanaman vertikal tidak memerlukan pupuk, tidak menggunakan pestisida dan tidak bergantung pada cuaca.
Sistem budidaya multi-lapis yang disusun secara vertikal sangat cocok untuk memasok kebutuhan masyarakat.
Tapi diakui juga, pertanian vertikal adalah memerlukan konsumsi energi yang tinggi untuk penerangan dan pemanasan dan pendinginan. Didaerah yang punya 4 musim menjadi masalah.
Gandum dan tanaman padi tidak cocok untuk konsep pertanian vertikal, kata Profesor Jelali dari TH Cologne, Jerman.
Tanaman ini dilakukan secara budidaya konvensional.
“Kalau soal makanan pokok seperti gandum, kita akan membiarkannya tumbuh di ladang terlebih dahulu.”
Menanam buah dan sayur lebih bermanfaat untuk tanaman vertikal terutama didaerah tropis.
Selada dan stroberi memiliki harga yang lebih tinggi di pasar dunia dibandingkan gandum, sehingga lebih sesuai dengan biaya energinya.
Tomat atau paprika juga cocok untuk dijual ke pengecer saat tanaman masih muda.
Untuk menjaga biaya energi serendah mungkin , harus atau dirancang lampu LED khusus yang mengkonsumsi hampir 18 watt per lampu. Meskipun konsumsinya dua kali lebih besar dibandingkan lampu LED konvensional, konsumsi ini jauh lebih rendah dibandingkan konsumsi yang disebabkan oleh sebagian industri.
Menurut ilmuwan, ide untuk menggabungkan sinar matahari dan pencahayaan buatan untuk mengurangi konsumsi energi bisa dilaksanakan.
Apa anda tertarik dengan budidaya tanaman Vertikal , harus belajar dengan tekun dan sungguh sungguh dan melihat mereka yang berhasil.
Tulisan ini mungkin memiliki penjelasan terbatas karena ruang dan waktu.
Selamat mencoba.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI