Sebuah cerita nyata yang dinarasikan berbentuk novel semi biografi. 13
Sekarang Ben pergi berlayar.
Ia menatap kota Boston dari kapal dan menitikan air mata.
"Selamat tinggal ayah, selamat tinggal ibu."
Ia ingat ibunya yang pasti akan merasa kehilangan.
Tapi Ben sudah bertekad meninggalkan kota kelahirannya.
"Selamat tinggal Boston." Ben kembali ke dek kapal dengan mata sembab.
Ben Franklin tidak pernah atau mungkin jarang makan ikan. Ia melihat hari itu ikan dipotong dan dimasak.
"Kita tidak bisa memakan makhluk hidup, itu kejam." Kata Ben.
Nelayan di kapal itu tercengang.
Ia menatap protes anak muda itu dengan heran.
"Ikan memang untuk dimakan, banyak khasiatnya ditubuh." ujar nelayan.
"Tapi seseorang dapat hidup dengan makan makanan nabati, jangan makhluk hidup," bantah Ben Franklin.
Teman teman pelaut belum pernah mendengar hal seperti itu.
"Apakah kamu tak pernah makan ikan?" Tanya pelaut.
"Mungkin tidak, " jawab Ben Franklin.
"Tidak belajar di sekolah?"
Kembali Ben menggelengkan kepala Karena ia cuma sampai kelas 2.
Tapi melihat ikan yang berenang dilaut dengan gembira dan dikolam membuat ia cinta kepada hewan itu. Tak tega ia melihat dipotong dan akan dimakan.
"Kamu salah," kata pelaut dengan wajah berkerut.
"Jika kita tidak membunuh hewan," kata lawan bicara Ben Franklin, "Mereka akan berkembang biak begitu banyak sehingga mereka akan mulai mengganggu manusia," kata pelaut.
“Seorang pekerja tidak bisa hidup tanpa daging, atau ikan anak muda,” tambah yang lain.
"Kita akan sehat anak muda," ujar satu orang itu lagi dengan tertawa.
Akhirnya, sebuah keberatan diajukan kepada Franklin yang paling membuatnya terkesan kini tidak berhasil.
Si juru masak, yang sibuk dengan hasil tangkapan, memanggil Ben Franklin dan menunjukkan kepadanya ikan yang baru saja ditangkap.
Di perut si besar ini, ia menemukan seekor ikan kecil.
“Mengapa kita harus kelaparan dan membiarkan makhluk-makhluk yang saling memakan ini? " Kata si juru masak.
"Jika kita tidak membunuh ikan ini hari ini, dia akan makan selusin ikan kecil besok."
"Jadi tidak kejam, karena ikan juga saling bunuh?" Tanya Ben Franklin.
"Kamu pikirkan sendiri," jawab pelaut sedikit jengkel.
Itu adalah alasan yang diterima akal Ben Franklin.
Lalu kenapa ayahnya jarang makan ikan? Ben menemukan jawaban. Karena mereka keluarga besar, ikan mungkin mahal dan keluarga itu harus berhemat.
Sementara itu, persiapan untuk makan malam telah selesai, dan aroma menyenangkan dari ikan bakar segar menyebar ke seluruh kapal.
Tawaran para pelaut untuk mengambil bagian dalam makan malam bersama ikan diterimanya.
"Terima kasih, makan malam yang enak," ujar Ben.
Itulah akhir dari vegetarismenya.
Ben Franklin sejak kecil terbiasa dengan makanan sederhana dan sehat, hingga moderasi dalam makanan.
Tapi dia mempertahankan kebiasaan vegetariannya meski tidak lagi ketat. Selama sisa hidupnya. Ben Franklin lebih suka makanan nabati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H