Ucu membubuhkan tandatangan, buku tabungan selesai.
"Bisa diisi tiap hari iya?" Tanya Ucu.
"Diambil juga boleh," jawab Ida ringan.
"Aku menabung untuk masadepan kita, biar saja uangnya menumpuk sampai kita menikah," Ucu bersuara lagi.
"Ngaco," jawab Ida. Mukanya bersemu merah.
Untung antrian tidak ada lagi.
"Sudah iya? " Tanya Ida ragu.
"Aku akan bertemu lagi, kalau bisa setiap hari," ujar Ucu.
"Aku sibuk dan selesai ini ke kampus," jawab Ida.
"Lihat saja nanti, kamu masih kuliah di Univerditas Muhammadyiah bukan?"
"Iya, aku tidak berhasil masuk Fakultas Negeri seperti kakak."
"Sayang sekali, jadi kita berjauhan."
"Tapi aku harus menyelesaikan kuliahku, kata ayah meski perempuan harus sekolah," kata Ida pasti.
"Aku juga, beberapa waktu lagi aku akan menyelesaikan kuliahku." Kata Ucu menjelaskan.
"Aku tahu, kakak pintar dan banyak kegiatan, ikut aksi dan demo dan juga kegiatan mahasiswa diluar kampus," berkata lagi Ida.
"Kamu tahu juga iya?" Ucu senang mendengar Ida tahu banyak.
"Aku juga bekerja ditempat perusahaan ayah," Ucu menambahkan.
"Kakak pewaris keluarga," ujar Ida menyembunyikan kekagumannya.
"Apakah ayahmu sudah mengenaliku lebih banyak ? "Tanya Ucu.
"Mengapa kakak menanyakan begitu?"
"Aku sudah mendekatkan diri dengan Buya, membawa teman teman main halma  agar ayah kamu mengenalku."