Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ini melahirkan banyak kekecewaan bagi calon siswa baru dan orang tua calon siswa baru.
PPDB yang memberlakukan syarat zonasi dan lebih memprioritaskan siswa yang berusia lebih tua untuk mendaftar di sekolah yang baru, malah membuat banyak calon siswa terpaksa tak bisa bersekolah di sekolah yang di impikan.
Sebagai contoh saya akan menceritakan kejadian yang terjadi di sekolah SMA yang lokasinya sangat dekat dengan rumah saya, yaitu SMAN 1 Tanjung, Kec. Tanjung, Kab. Brebes.
Karena orang tua dan kakak saya bekerja sebagai tenaga kependidikan di sekolah tersebut, maka saya akan menyampaikan situasi PPDB yang terjadi di SMA tersebut.
PPDB yang Berbeda.
Berdasarkan peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2019, semua sekolah wajib menggunakan sistem zonasi, agar siswa mendaftar sekolah sesuai tempat tinggal.
Ada pengecualian untuk siswa yang memiliki prestasi, jika ada siswa yang memilik prestasi yang cukup bagus, maka dia dapat mendaftar ke sekolah yang jauh dari rumahnya. Selain prestasi untuk tahun ini ada pengecualian untuk tenaga medis dan TNI, bagi mereka yang merupakan anak dari tenaga medis atau TNI, bisa mendataftar di sekolah manapun yang mereka inginkan.
Semua aturan ini sudah masuk ke dalam sistem sehingga saat memasukan nama calon siswa dan NISN (Nomer Induk Siswa Nasional) maka akan dapat ditentukan calon siswa tersebut bisa diterima di sekolah mana.
Secara tujuan sistem zonasi ini memang terdengar baik, namun prakteknya tidak seperti yang diharapkan, ada seorang calon siswa baru yang berasal dari kecamatan Kersana, kecamatan yang bertetangga dengan kecamatan Tanjung, namun tak bisa diterima di SMAN 1 Tanjung karena sistem menyarankan untuk bersekolah di SMA lain yang lebih dekat dengan rumahnya.
“Saya ini dulu sekolah disini (SMAN 1 Tanjung), kakak-kakakny anak ini juga duku sekolah disini, kok anak saya yang ini nggak bisa sekolah disini ?” ungkap orang tua calon siswa tersebut.
Mau bagaimana lagi, jika lokasi tempat tinggal siswa tersebut jauh dari sekolah maka, otomatis sistem akan menolak, terlebih kuota sudah penuh oleh anak anak dari kecamatan Tanjung yang begitu banyak mendaftar.
Meningkatnya Jumlah Calon Siswa Baru.
Jika tahun lalu, anak anak yang berasal dari kecamatan sekitar Tanjung, seperti kecamatan Losari dan kecamatan Kersana, masih masuk dalam zonasi SMAN 1 Tanjung, maka tahun ini, siswa baru hanya diterima dari wilayah kecamatan Tanjung, atau lebih tepatnya hanya radius sekitar 5 Kilometer dari SMAN 1Tanjung.
Tahun ini minat para calon siswa untuk meneruskan pendidikan di tingkat SMA di sekitar SMAN 1 Tanjung bisa dikatakan naik secara signifikan, alasannya selain karena biaya sekolah SMA yang sudah digratiskan,
Adanya pembangunan kawasan industri yang berada di kecamatan Tanjung juga menjadi alasan kuat, ini membuat banyak orang tua mendorong anaknya untuk bersekolah SMA supaya nanti bisa bekerja di pabrik yang akan dibangun saat Brebes menjadi kawasan Industri.
Lebih lanjutnya mengenai Brebes yang akan menjadi kawasan industri bisa anda baca di artikel berjudul “Berubah Menjadi Kawasan Industri, Tak Ada Lagi Bawang Merah di Brebes ?”.
Tak Ada yang Muda yang Berprestasi.
Selain contoh kasus yang terjadi pada calon siswa yang berasal dari kecamatan Kersana diatas, siswa yang berusia muda juga terpaksa tidak bisa bersekolah di SMAN 1 Tanjung.
Hal ini dikarenakan prioritas siswa yang akan diterima adalah siswa yang berusia lebih tua, jika ada dua siswa yang memiliki jarak rumah dengan sekolah yang sama, sementara kuota untuk calon siswa baru hanya tinggal satu, maka siswa yang berusia lebih tua yang akan terpilih.
Istilah “yang muda yang berprestasi” sudah tidak ada lagi di masa ini, karena siswa yang lebih tua malah yang lebih diprioritaskan.
Lahir 10 Tahun Lebih Cepat.
Melihat kericuhan yang terjadi di PPDB, saya bersyukur jika saya lahir 10 tahun lebih cepat, di saat saya mendaftar SMA, tidak ada system zonasi macam ini, sehingga saya bisa bersekolah di SMAN 1 Brebes yang jaraknya kurang lebih 20 kilometer dari rumah saya.
Jika di waktu tersebut sudah diberlakukan zonasi maka tentu saya tidak bisa bersekolah di SMAN Brebes. Alasan saya lebih memilih untuk bersekolah di SMAN 1 Brebes daripada SMAN 1 Tanjung, adalah karena di masa tersebut, fasilitas yang ada di SMAN 1 Brebes jauh lebih baik daripada di SMAN 1 Tanjung.
Sampai sekarang setelah 10 tahun berlalu, saya juga melihat jika kedua sekolah tersebut masih memiliki perbedaan yang signifikan, meskipun memang fasilitas sekolah di SMAN 1 Tanjung, sudah semakin baik, namun lingkungannya tentu berbeda.
SMAN 1 Brebes berada di lingkungan pusat kabupaten Brebes, akses menuju instansi fasilitas olahraga seperti stadion, kolam renang serta banyak lembaga bimbingan belajar (bimbel) sangat mudah, lain dengan sekolah yang berada jauh dari pusat kabupaten Brebes.
Saya yakin di banyak tempat di Indonesia, keadaan seperti ini masih terjadi, beberapa sekolah belum memiliki tingkat fasilitas dan lingkungan yang sama antar satu dengan lainnya, kesenjangan antara kota dan desa pasti masih ada.
Penutup.
Memang sistem zonasi memiliki tujuan yang baik, namun pada prakteknya banyak sekolah yang belum memiliki fasilitas dan lingkungan yang sama antara satu dengan yang lainnya, ini membuat impian siswa dan orang tua siswa kandas, karena tak bisa bersekolah di sekolah impian.
Semoga saja mas menteri mau berbenah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI