Kasus terungkap setelah korban bercerita kepada guru di sekolah untuk kemudian ditindaklanjuti oleh layanan terpadu perlindungan perempuan dan anak setempat. Korban lalu dipindahkan ke rumah neneknya dan mendapatkan akses bantuan hukum dan psikologi.
Kasus ini menjadi contoh bahwa penanganan kekerasan seksual yang dialami oleh anak harus dilakukan berjejaring dalam komunitas. Anak dapat mengalami trauma dan tidak mampu bercerita secara runtut akibat mengalami kekerasan seksual.Â
Pada fase ini, orang terdekat harus menciptakan lingkungan yang aman sekaligus dapat menjadi pendengar yang baik bagi anak. Sekolah pun harus memiliki mekanisme pelaporan bagi siswa yang mengalami kasus kekerasan seksual, entah kasusnya terjadi di rumah atau di sekolah.
Langkah preventif dan kuratif harus dilakukan secara terus menerus dalam bentuk edukasi terhadap komunitas yang dekat dengan anak, seperti lingkungan pendidikan dan lingkungan tempat tinggal.Â
Perlu disampaikan kepada masyarakat bahwa kekerasan seksual kepada anak adalah kejahatan yang serius dan sangat berdampak terhadap masa depan mereka. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat mengalami masalah emosional dan berpengaruh terhadap kemampuan belajar mereka di sekolah.Â
Selain itu, korban juga dapat mengalami trauma dan kehilangan rasa percaya diri.Beberapa tahun yang lalu, penulis mendampingi kasus kekerasan seksual yang melibatkan tujuh siswa sekolah dasar dengan pelaku seorang pria dewasa. Dampak psikologis yang paling terlihat pada beberapa korban adalah ketakutan bertemu dengan orang dewasa, hilangnya rasa percaya diri, hingga tidak mau datang ke sekolah.Â
Selain karena kasus itu sendiri, korban juga terbebani oleh stigma di masyarakat yang cenderung menyalahkan keluarga korban. Oleh masyarakat, keluarga disalahkan dan dianggap lalai menjaga anak  Stigma seperti  ini menjadi salah satu faktor penghambat pemulihan psikologi korban kekerasan seksual.
Demi menciptakan komunitas yang ramah bagi anak korban kekerasan seksual, perlu disiapkan pusat informasi yang menyediakan jejaring layanan untuk korban. Selain bantuan hukum, anak yang menjadi korban kekerasan seksual juga perlu mendapatkan layanan pemulihan psikologis, layanan medis, rumah aman, dan juga akses lanjutan pendidikan.Â
Pada beberapa kasus, siswi yang menjadi korban perkosaan dan kemudian hamil malah dikeluarkan dari sekolah dan kehilangan masa depannya. Padahal bila merujuk pada Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikeluarkan tahun 1989, pengambilan keputusan apapun yang melibatkan anak harus mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak.
Mekanisme perlindungan untuk anak di Indonesia sudah tertera dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Â Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 (Republik Indonesia, 2014) tentang Perlindungan Anak.Â
Namun masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui akses layanan dan akhirnya kebingungan saat menemukan kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungannya.Â