Mohon tunggu...
Yudi Kurniawan
Yudi Kurniawan Mohon Tunggu... Administrasi - Psikolog Klinis, Dosen

Psikolog Klinis | Dosen Fakultas Psikologi Universitas Semarang | Ikatan Psikolog Klinis Indonesia | Contact at kurniawan.yudika@gmail.com | Berkicau di @yudikurniawan27 |

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejaring Komunitas: Upaya Melindungi Anak dari Predator Seksual

15 Juli 2020   16:45 Diperbarui: 16 Juli 2020   21:37 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://m.lampost.co/

Kasus kejahatan seksual terhadap anak tak pernah surut. Merujuk data yang dipublikasikan oleh Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) yang dikeluarkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), terdapat  6.681 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada periode Januari hingga Juli 2020 di Indonesia (data diakses pada 14 Juli 2020). 

Dari jumlah tersebut, mayoritas korban (2.199 kasus atau sekitar 33 persen dari total kasus) berada pada rentang usia 13-17 tahun. Ini adalah rentang usia anak di jenjang SMP dan SMA. Salah satu jenis kekerasan yang banyak dialami oleh korban adalah kekerasan seksual, dengan jumlah 1.957 kasus (Kementerian PPA, 2020).

Sejalan dengan data tersebut, ada dua kasus kekerasan seksual terhadap anak yang menyita perhatian publik di awal Juli ini. Kasus pertama adalah perkosaan terhadap anak perempuan yang dititipkan di rumah aman Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur. 

Ironisnya, pemerkosa adalah petugas di P2TP2A itu sendiri (Bustomi, 2020). Kasus kedua adalah kekerasan seksual yang dilakukan oleh WNA asal Prancis terhadap 305 anak di Jakarta. Korban dijanjikan oleh pelaku akan dijadikan sebagai model. Namun yang didapatkan korban adalah kekerasan fisik dan seksual dari pelaku (Rachmawati, 2020).

Kasus kejahatan seksual terhadap anak yang mencuat di media massa merupakan puncak gunung es dari banyaknya kasus lain yang tak terungkap. Ada banyak faktor penghambat yang membuat anak tak mampu berbuat apa-apa untuk membantu dirinya keluar dari kasus tersebut.

Mulai dari masalah ekonomi, minimnya kemampuan komunikasi, ketidakpercayaan dari orang dewasa, hingga yang paling utama adalah relasi kuasa yang dimiliki oleh pelaku dewasa terhadap korban. Pada banyak kasus, pelaku kejahatan seksual justru orang yang dekat dengan korban. Misalnya saja tetangga, teman, saudara, bahkan orangtua.

Kementerian PPPA mengangkat tema "Peran Keluarga dalam Perlindungan Anak" saat Hari Anak Nasional 2019 lalu (Suyanto, 2019). Pembahasan tema ini menjadi sangat kontekstual karena banyak kasus di mana oknum keluarga yang diharapkan menjadi pelindung utama keselamatan anak, justru mengancam keselamatan anak (Suyanto, 2019).

Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja yang dirilis oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memberikan hasil yang membuat hati miris: tiga dari lima anak perempuan dan satu dari dua anak laki-laki mengalami kekerasan emosional. Kemudian satu dari sebelas anak perempuan dan satu dari tujuh belas anak laki-laki pernah mengalami kekerasan seksual (KPAI, 2017). Mayoritas pelaku merupakan orang yang dekat dengan anak (tetangga dan keluarga). Melihat informasi tersebut, lingkungan terdekat dapat menjadi ancaman terbesar bagi keselamatan anak. Apa tindakan pencegahan yang dapat kita lakukan? 

Edukasi Komunitas untuk Perlindungan Anak

Di bulan Mei lalu, penulis melakukan pendampingan psikologi terhadap anak perempuan berusia 15 tahun yang mengalami kekerasan seksual dari ayah tirinya. Korban takut mengadu pada ibunya karena khawatir pelaku akan melakukan kekerasan fisik kepada ibunya.

Kasus terungkap setelah korban bercerita kepada guru di sekolah untuk kemudian ditindaklanjuti oleh layanan terpadu perlindungan perempuan dan anak setempat. Korban lalu dipindahkan ke rumah neneknya dan mendapatkan akses bantuan hukum dan psikologi.

Kasus ini menjadi contoh bahwa penanganan kekerasan seksual yang dialami oleh anak harus dilakukan berjejaring dalam komunitas. Anak dapat mengalami trauma dan tidak mampu bercerita secara runtut akibat mengalami kekerasan seksual. 

Pada fase ini, orang terdekat harus menciptakan lingkungan yang aman sekaligus dapat menjadi pendengar yang baik bagi anak. Sekolah pun harus memiliki mekanisme pelaporan bagi siswa yang mengalami kasus kekerasan seksual, entah kasusnya terjadi di rumah atau di sekolah.

Langkah preventif dan kuratif harus dilakukan secara terus menerus dalam bentuk edukasi terhadap komunitas yang dekat dengan anak, seperti lingkungan pendidikan dan lingkungan tempat tinggal. 

Perlu disampaikan kepada masyarakat bahwa kekerasan seksual kepada anak adalah kejahatan yang serius dan sangat berdampak terhadap masa depan mereka. Anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat mengalami masalah emosional dan berpengaruh terhadap kemampuan belajar mereka di sekolah. 

Selain itu, korban juga dapat mengalami trauma dan kehilangan rasa percaya diri.Beberapa tahun yang lalu, penulis mendampingi kasus kekerasan seksual yang melibatkan tujuh siswa sekolah dasar dengan pelaku seorang pria dewasa. Dampak psikologis yang paling terlihat pada beberapa korban adalah ketakutan bertemu dengan orang dewasa, hilangnya rasa percaya diri, hingga tidak mau datang ke sekolah. 

Selain karena kasus itu sendiri, korban juga terbebani oleh stigma di masyarakat yang cenderung menyalahkan keluarga korban. Oleh masyarakat, keluarga disalahkan dan dianggap lalai menjaga anak  Stigma seperti  ini menjadi salah satu faktor penghambat pemulihan psikologi korban kekerasan seksual.

Demi menciptakan komunitas yang ramah bagi anak korban kekerasan seksual, perlu disiapkan pusat informasi yang menyediakan jejaring layanan untuk korban. Selain bantuan hukum, anak yang menjadi korban kekerasan seksual juga perlu mendapatkan layanan pemulihan psikologis, layanan medis, rumah aman, dan juga akses lanjutan pendidikan. 

Pada beberapa kasus, siswi yang menjadi korban perkosaan dan kemudian hamil malah dikeluarkan dari sekolah dan kehilangan masa depannya. Padahal bila merujuk pada Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dikeluarkan tahun 1989, pengambilan keputusan apapun yang melibatkan anak harus mempertimbangkan kepentingan terbaik untuk anak.

Mekanisme perlindungan untuk anak di Indonesia sudah tertera dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35  Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 (Republik Indonesia, 2014) tentang Perlindungan Anak. 

Namun masih banyak anggota masyarakat yang belum mengetahui akses layanan dan akhirnya kebingungan saat menemukan kasus kekerasan seksual terhadap anak di lingkungannya. 

Sebagai contoh, di Kota Semarang (domisili penulis) tersedia sistem layanan terpadu perlindungan perempuan dan anak hingga tingkat kelurahan. Payung hukumnya adalah Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak dari Tindak Kekerasan (Pemkot Semarang, 2016). 

Dengan sistem ini, penanganan kasus dapat terdesentralisasi pada area layanan yang fokus di dalam satu kelurahan. Selain penanganan, sistem juga mengakomodasi kegiatan preventif berupa edukasi ke masyarakat (PKK, RT/RW, sekolah) terkait isu kekerasan terhadap anak. Bercermin dari banyaknya kasus, tentu isu kekerasan seksual terhadap anak tak dapat dikelola oleh satu pihak saja. 

Perlu dibangun kolaborasi dan jejaring antara masyarakat, pemerintah, pihak swasta, praktisi, dan akademisi untuk bergerak melindungi anak Indonesia dari ancaman predator seksual. Mari lindungi anak dari kejahatan seksual dan kita ciptakan komunitas yang memberikan rasa aman bagi anak.

Daftar Referensi

Bustomi, M. I. (2020). Menyoal Dugaan Perkosaan dan Penjualan Bocah 14 Tahun Korban Pencabulan oleh Kepala P2TP2A Halaman all. KOMPAS.com.

Kementerian PPA. (2020). Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak. Data SIMFONI 2020.

KPAI. (2017). Rincian Data Kasus Berdasarkan Klaster Perlindungan Anak, 2011-2016 | Bank Data Perlindungan Anak. Data Kasus Kekerasan Seksual terhadap Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

Pemkot Semarang. (2016). PERDA Kota Semarang No. 5 Tahun 2016 tentang Perlindungan Perempuan Dan Anak Dari Tindak Kekerasan [JDIH BPK RI].

Rachmawati. (2020). Lakukan Kekerasan Seksual ke 305 Anak, WNA Perancis Iming-imingi Korban Jadi Model Halaman all---Kompas.com. 

Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.

Suyanto, B. (2019, Juli 24). Orangtua, Pelindung atau Ancaman bagi Anak. Media Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun