Tak terasa badanku ikut lemah. Seperti burung yang patah sayapnya. Hanya bisa berjalan dan tak bisa terbang.
Terbayang saat pertemuan pertamaku dengan Ardi yang datang bersama bapaknya sewaktu ke rumahku malam itu. Pertemuan pertama setelah lebih dari 8 tahun tak bertemu. Bapaknya bekerja di luar negeri sering berpindah-pindah tempat dan Ardi ikut bersamanya. Kedatangan keluarganya waktu itu juga sepertinya sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya dan Ardi pun menyampaikan kabar yang membuatku bersemangat meneruskan cita-cita yang nyaris tak mungkin terwujud. Ardi membantuku mengurus semua administrasi dan persyaratan tes untuk bisa kuliah di luar negeri. Tanpa Ardi, impian tinggal impian. Sayap yang dia berikan kepadaku tak akan aku sia-siakan. Kepakan kecil yang sangat berarti bagiku untuk mewujudkan impian besar dalam hidupku.
Dan tak terasa, tanpa berpikir panjang, aku menelpon emak di kampung halaman.
"Mak, Ardi terkena musibah mak .... tolong bantu doa ya Mak ... untuk kesembuhan Ardi."kataku pelan dan terbata-bata di telpon sambil tak terasa meneteskan air mata yang selama ini malu untuk dikeluarkan.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H