(bagian kedua dari "Sayap Kecil Darimu')
Enam bulan sudah semenjak kaki menapak di Bandara Don Mueang, pikiranku tak pernah lepas dari kampus dan kampus. Profesor pembimbingku juga seperti tidak pernah mengenal waktu istirahat. Datang pagi dan pulang selalu larut malam. Aku mulai terbiasa dengan kehidupan dua puluh empat jam kota ini.Â
"Tok tok tok." Tiba-tiba terdengar suara.
Kedengarannya seperti suara dari pintu kamarku yang diketuk dari luar. Terkadang memang ragu untuk memastikan suara ketukan pintu di apartemenku ini karena kamar-kamar yang ada sangat dekat. Bisa jadi itu ketukan pintu kamar seberang kamarku. Maklumlah harga sewa kamar cuma 3000 baht per bulan namun itu sudah lebih dari cukup bagiku.Â
Aku pun berjalan memastikan suara ketukan itu. Aku buka perlahan pintu kamarku sambil agak mengantuk.
"Hai Nuni, maaf mengganggu ya."Â
Suaranya berat dan mukanya begitu serius. Rupanya penjaga apartemen yang biasanya ada di lantai bawah dan menerima telepon dari luar. Meskipun orang asli Thailand, namun sudah bisa berkomunikasi dengan bahasa Indonesia.
"Ada apa, Bapak Tan?"tanyaku sambil membuka pintu lebar dan kami sudah berhadapan di depan pintu kamarku.
"Barusan ada telepon dari kedutaan... katanya ada temen Nuni yang kecelakaan."kata Bapak Tan dengan nada pelan, serius dan aksen Thai yang kental.
Aku kaget. Hilang rasa kantuk mendengar kabar ini.
"Siapa pak? Siapa yang kecelakaan? Dimana?"aku mulai resah dan khawatir.
"Kalau tidak salah ... namanya Ardi."Ya Ardi",sambil melihat catatan kecil yang dikeluarkan dari sakunya, Mister Tan memastikan bahwa Ardi mengalami kecelakaan sekitar 15 menit yang lalu di persimpangan jalan Phetchaburi.
Tanpa pikir panjang, aku segera mengakhiri pembicaraan dengan Mister Tan dan menuju ke Bangkok Hospital, karena menurut info selanjutnya Ardi dibawa ke sana.Â
Persimpangan jalan Phetchaburi memang tidak jauh jaraknya dengan Kedutaan Besar Indonesia di Bangkok sehingga infonya begitu cepat langsung diterima. Namun tempat tinggalku lumayan jauh dari sana. Sekitar 20 kilometer jaraknya dari Bangkok Hospital yang juga berada di jalan Phetchaburi. Untunglah banyak alternatif transportasi di kota ini.
Sepanjang jalan hatiku tak menentu. Aku membayangkan pria yang telah memberiku sayap kecil hingga aku bisa terbang ke negeri ini, kini terkapar di ranjang rumah sakit.
Tak henti mulut berkomat kamit. Berdoa. Semoga Ardi baik-baik saja. Aku begitu khawatir kali ini.Â
Setelah melewati Lumpini Park, kemudian Terminal 21 akhirnya aku sampai di Bangkok Hospital. Dan langsung menuju tempat Ardi di rawat. Menurut info yang aku dapat, Ardi masih dibagian emergency atau unit gawat darurat. Dari kejauhan aku melihat teman-teman Ardi mondar-mandir di luar ruangan. Mereka sesekali menjenguk ke dalam dan menanyakan ke petugas. Aku makin khawatir melihat ini dan mencoba tabah.
Begitu melihat kedatanganku, teman Ardi di kedutaan yang bernama Anin langsung menghampiriku.
"Nuni, yang tabah ya. Kita tunggu saja diluar saja"kata Anin sambil memegang tangan dan pundakku.
Anin adalah teman Ardi yang lebih dulu di Bangkok daripada aku. Dan dia telah lama berteman dengan Ardi. Meskipun bukan berasal dari satu kampung halaman, kedekatan mereka sudah melebihi kedekatan saudara. Bahkan banyak yang menduga Ardi dan Anin adalah sepasang kekasih karena selalu bersama dalam setiap kegiatan.Â
Melihat kedekatan itu, aku pun jarang bertemu dengan Ardi selama di Bangkok ini. Kita lebih banyak berkomunikasi dengan LINE yang juga banyak digunakan oleh masyarakat sini. Dan menurut Ardi sendiri, dia tidak ada hubungan spesial dengan Anin. Mungkin Ardi bilang begitu karena mengingat hubungan akrab antara keluarga kami. Pesan emak tentang Ardi juga sepertinya menguatkan hubungan apa yang seharusnya antara aku dengan Ardi.
Kini aku tinggal menunggu dan berdoa untuk pria pemberi harapanku.Â
Tak terasa badanku ikut lemah. Seperti burung yang patah sayapnya. Hanya bisa berjalan dan tak bisa terbang.
Terbayang saat pertemuan pertamaku dengan Ardi yang datang bersama bapaknya sewaktu ke rumahku malam itu. Pertemuan pertama setelah lebih dari 8 tahun tak bertemu. Bapaknya bekerja di luar negeri sering berpindah-pindah tempat dan Ardi ikut bersamanya. Kedatangan keluarganya waktu itu juga sepertinya sudah mereka rencanakan jauh-jauh hari sebelumnya dan Ardi pun menyampaikan kabar yang membuatku bersemangat meneruskan cita-cita yang nyaris tak mungkin terwujud. Ardi membantuku mengurus semua administrasi dan persyaratan tes untuk bisa kuliah di luar negeri. Tanpa Ardi, impian tinggal impian. Sayap yang dia berikan kepadaku tak akan aku sia-siakan. Kepakan kecil yang sangat berarti bagiku untuk mewujudkan impian besar dalam hidupku.
Dan tak terasa, tanpa berpikir panjang, aku menelpon emak di kampung halaman.
"Mak, Ardi terkena musibah mak .... tolong bantu doa ya Mak ... untuk kesembuhan Ardi."kataku pelan dan terbata-bata di telpon sambil tak terasa meneteskan air mata yang selama ini malu untuk dikeluarkan.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H