Mohon tunggu...
Yudi Hardeos
Yudi Hardeos Mohon Tunggu... -

If you put your whole trust in Allah, as you ought, He most certainly will satisfy your needs, as He satisfies those of the birds. They come out hungry in the morning, but return full to their nests. (Hadits of Prophet saw by Tirmidzi). Everyone is in the world as a guest, and his money is but a loan. The guest must go sooner or later and the loan must be returned.(Ibn Mas`ud).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ijtihad Dan Liberalisme

23 Maret 2010   00:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:15 919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Segi lain tentang taqlid yang justru menjadi makna penting taqlid ialah yang menyangkut masalah akumulasi informasi dan pengalaman. Taqlid sebagai pola penerimaan otoritas pendahulu dalam rentetan pengembangan ilmu dan pemikiran hampir tidak mungkin dihindari. Sebab, ekonomi pemikiran tidak mengizinkan terlalu banyak bersandar pada kemampuan pribadi secara terpisah dan atomistis, sehingga segala sesuatu akan menjadi tanggung jawab sendiri, dengan keharusan merintis setiap pengembangan dari titik nol (from the scratch). Pengetahuan manusia seperti yang ada sekarang ini yang menandai zaman modern ("iptek") adalah hasil kumulatif penggalian informasi dan pengalaman yang melibatkan hampir seluruh ummat manusia sepanjang sejarah yang telah berjalan ribuan tahun. Deretan pengalaman dan pengawetan serta pelembagaan dalam karya-karya intelektual sepanjang masa itu menjadi pohon tradisi intelektual universal ummat manusia, yang tanpa itu kekayaan dan kesuburan seperti yang ada sekarang akan menjadi sama sekali mustahil. Memulai suatu pengembangan pemikiran dan dalam hal ini juga pengembangan bidang budaya manusia manapun dari titik nol akan hanya berakhir dengan kemiskinan (malah pemiskinan - improverishment) hasil usaha itu sendiri.

Karena itu taqlid dalam makna generik yang positif merupakan dasar penumbuhan kekayaan intelektual yang integral, yakni integral dalam arti bahwa suatu bangunan tradisi intelektual memiliki akar-akar dalam sejarah. Jadi, keotentikan historis, yang keontentikan itu sendiri diperlukan jika diinginkan daya kembang dan kreativitas yang maksimal. Maka, untuk sekedar misal, seorang Albert Camus dalam tradisi intelektual Eropa (Barat) yang telah tampil dengan filsafat kontemporernya tentang eksistensialisme absurdity yang kontroversial itu pun harus dipahami sebagai bagian integral tradisi intelektual di sana yang akar-akarnya bisa ditelusuri jauh ke masa lalu, sampai ke masa Yunani kuno.

Albert Camus, dalam jalan pikiran orang-orang Barat, tidak dapat dipahami tanpa melihat salah satu jalur konsistensi dan benang merah pemikiran Barat itu sendiri, melintasi zaman sampai ke masa lalu yang sangat jauh. Sekalipun konsep absurdity dapat dilihat sebagai Camus, namun sesungguhnya ia adalah salah satu hasil pertumbuhan kumulatif pemikiran Barat. Ia memiliki keabsahan sebagai pemikiran Barat yang integral.

Namun konsep taqlid dalam makna akumulasi informasi dan pengalaman, bukanlah sasaran definisi "taqlid" dalam kapasitasnya sebagai oposisi dari ijtihad. Karena makna taqlid yang dimaksud disini adalah peniruan yang bukan sekedar akumulasi berbagai informasi dan pengalaman yang memiliki kronologis evolusi pemikiran yang panjang, namun merupakan peniruan yang lebih bersifat mengerucut pada penjiplakan suatu cabang pemikiran (furu`) yang akut.

Pembahasan mengenai prioritas ijtihad dan pembaruan atas taqlid, berkaitan erat dengan fiqh maksud dan tujuan syari'ah. Ilmu, bukan sekadar pengetahuan tentang hukum, walaupun diperoleh dari hasil taqlid kepada orang lain atau mengutip perkataannya dengan tidak memiliki hujjah yang memuaskan. Dengan kata lain, ilmu bukan sekedar mengetahui kebenaran melalui orang lain, dan mengikuti pendapat orang banyak yang tidak berdalil. Namun ilmu merupakan ilmu yang independen, yang disertai dengan hujjah, dan tidak perduli apakah ilmu ini disepakati oleh ulama A atau B. Ilmu ini tetap berjalan bersama dengan dalilnya ke manapun ia pergi. Dia berputar bersama kebenaran yang memuaskan di manapun berada.

Ibn al-Qayyim mengemukakan hujjah berkenaan dengan larangan dan celaan melakukan taqlid berdasarkan firman Allah SWT: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya..." (al-Isra': 36).

Dia berkata, "Taqlid itu bukanlah pengetahuan yang disepakati oleh ahli ilmu pengetahuan itu." Dalam I'lam al-Muwaqqi'in, ia menyebutkan lebih dari delapan puluh macam taqlid yang tidak benar, dan penolakannya terhadap syubhat yang dilakukan oleh para pelakunya."

Kalau kejumudan pada lahiriah nash dianggap tercela, sebagaimana yang dilakukan oleh pengikut mazhab Zhahiriyah lama dan baru, maka celaan juga patut dikenakan terhadap kejumudan terhadap apa yang dikatakan oleh para tokoh terdahulu, tanpa mempedulikan perkembangan yang terjadi antara zaman kita dan zaman mereka, keperluan kita dan keperluan mereka, pengetahuan kita dan pengetahuan mereka. Saya kira, kalau mereka sempat hidup pada zaman kita sekarang ini sehingga mereka dapat melihat apa yang kita lihat, mereka hidup seperti kita hidup sekarang ini -- pada posisi mereka sebagai orang yang mampu melakukan ijtihad dan berpandangan luas -- maka mereka akan banyak mengubah fatwa dan hasil ijtihad yang telah mereka lakukan.

Bagaimana tidak? Sahabat-sahabat mereka, yang datang sesudah periode mereka banyak yang telah melakukan pengubahan, dikarenakan terjadinya perbedaan waktu dan zamannya, walaupun sebenarnya jarak waktu antara kelompok pertama dan kelompok yang kedua tidak begitu jauh. Bagaimana tidak, para imam ahli ijtihad itu sendiri telah banyak melakukan perubahan terhadap pendapat mereka ketika mereka masih hidup, karena mengikuti perubahan ijtihad yang baru mereka lakukan, bisa jadi karena pengaruh umur, kematangan, zaman, atau tempat mereka melakukan ijtihad?

Imam Syafi'i r.a. sebelum pindah dan menetap di Mesir dia telah mempunyai mazhab yang dikenal dengan "Qaul qadim" (pendapat lama); kemudian setelah dia menetap di Mesir, dia mempunyai mazhab baru yang dikenal dengan "Qaul jadid" (pendapat baru). Hal ini terjadi karena dia baru melihat apa yang belum pernah dia lihat sebelumnya, dan dia baru mendengar apa yang belum dia dengar sebelum itu.

Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa dalam satu masalah dia mengeluarkan pandangan yang berbeda-beda. Hal ini tidak lain karena sesungguhnya fatwanya dikeluarkan pada situasi dan kondisi yang berbeda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun