Bismillahirrahmanirrahim.
Sebelum kita ke topik, saya ingin meminta maaf kepada Anda yang sudah lama menantikan serial "Kenali Indonesiamu". Terakhir di rubrik tersebut kita berhenti di episode mengenai Kalimantan Barat. Seharusnya kita melanjutkan ke episode Kalimantan Tengah, namun kendalanya adalah, di Kalteng tidak banyak tempat wisata yang terlalu terkenal. Mungkin Taman Nasional Tanjung Puting yang melestarikan orangutan kalimantan dan beberapa taman nasional, namun selebihnya tidak ada yang menurut saya terlalu menonjol. Jadi saya meminta maaf kepada Anda yang menunggu serial ini, Insya Allah dalam beberapa bulan kita akan melanjutkannya lagi.
Oke, kita langsung ke topik. Akhir-akhir ini saya terobsesi dengan film "Ngeri-ngeri Sedap". Setelah sebelumnya sempat menonton film tersebut beberapa kali di Netflix, saya sudah menonton film tersebut lebih dari 20 kali setelah mengunduhnya di situs bajakan (jangan ditiru!). Jika film "Budi Pekerti" karya Mas Wregas Bhanuteja menjadi alasan saya belajar bahasa Jawa, karena 75% dari dialognya memang berbahasa Jawa, maka "Ngeri-ngeri Sedap" karya komika Bene Dion Rajagukguk menjadi alasan saya belajar budaya Batak.
Terakhir kita membahas film "Ngeri-ngeri Sedap", kita membahas tentang apa jadinya jika film ini diadaptasi ke film Hollywood dan siapa sajakah yang cocok memerankannya. Sekarang kita akan membahas tema film itu sendiri, yaitu budaya dan tegur sapa di suku Batak.
Bene Dion sebelumnya pernah menulis novel berjudul "Ngeri-ngeri Sedap" pada tahun 2014. Namun, tema novelnya tidak sama dengan film yang dia garap 8 bulan kemudian. Khusus untuk film ini, cowok berzodiak Pisces ini mengangkat tema budaya Batak, seperti stereotipe orang Batak yang keras, tegas, dan menjunjung tinggi nilai adat; mengapa orang Batak kerap berkarir di ranah hukum seperti yang diharapkan Pak Domu kepada putra ketiganya, Gabe; dan yang paling seru adalah peran ayah dan anak lelaki dalam keluarga Batak.
Suku Batak menganut sistem kekerabatan patrilineal, yaitu sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan ayah. Peran lelaki dalam keluarga Batak sangatlah penting. Dalam budaya Batak, anak lelaki sulung bertanggung jawab atas keluarga, dan dia diharapkan menjadi penerus marga, juga meneruskan adat. Maka, si sulung di keluarga Purba, Dominikus Adrianus Purba alias Domu, dipercaya menikahi seorang boru Batak. Namun nyatanya, Domu, yang bekerja di sebuah perusahaan BUMN di Bandung, bertunangan dengan seorang mojang Sunda bernama Neny.
Hubungan Domu dan Neny tidak direstui oleh Pak Domu, karena beliau percaya jika calon istri Domu bukan orang Batak, takutnya dia tidak tahu adat Batak. Jadi, Domu dipercaya menikahi wanita Batak, supaya mereka bisa saling mengajari satu sama lain adat Batak. Namun, di akhir cerita, Neny mengungkap pada Pak Domu bahwa sang calon suami sedikit-sedikit suka mengajarinya adat Batak, bahkan memanggil beliau dengan sebutan amangboru.
Ini yang tidak diketahui Pak Domu sebelum akhirnya perlahan menerima hubungan putra sulungnya dengan Neny; dalam pernikahan suku Batak, ada proses mangain. Mangain adalah tradisi dalam adat Batak yang berarti pengangkatan anak atau pemberian marga kepada calon pasangan yang bukan orang Batak. Tradisi ini dilakukan untuk meneruskan keturunan, mempererat tali persaudaraan, dan menjaga adat istiadat Batak.
Mangain itu ada dua jenis: mangain anak dan mangain boru. Mangain anak adalah pengangkatan anak lelaki yang bukan keturunan Batak untuk diberikan marga, sedangkan mangain boru adalah pengangkatan anak perempuan yang bukan keturunan Batak untuk diberikan marga. Kita ambil contoh misalnya Christy dari girl group Cherrybelle, yang sempat viral di tahun 2011, yang menjadi saksi fase awkward saya berhenti suka K-pop dari tahun 2012-2014. Secara etnis, Christy keturunan Minahasa dari Sulawesi Utara. Suaminya bernama Radhiant Siregar, asli Batak. Lewat proses mangain boru, Christy yang bernama lahir Christy Saura Noela Unu diberikan marga Simorangkir.
Contoh lain adalah peraih medali perunggu Indonesian Idol XI, Anggi Marito. Anggi bernama lengkap Anggi Marito Tiodora Simanjuntak. Suaminya bernama Kenji Ganessha, seorang keturunan Indonesia-Jepang yang memiliki profesi mulia, sebagai seorang pilot. Kenji bukan orang Batak, oleh karena itu, sebelum menikah dengan Anggi, secara adat Batak dia diberikan marga lewat proses mangain anak. Marga yang diberikan kepada Kenji adalah Pasaribu.
Jadi, jika kita kembali ke kasus Domu, karena Domu bermarga Purba, sang tunangan, Neny, sangat mungkin diberi marga Purba juga lewat proses mangain boru. Mungkin ini tidak terlalu akurat, karena saya tidak terlalu mendalami adat Batak, maklumlah saya juga belajar seperti Anda.
Domu diperankan oleh komika Boris Bokir. Lahir di Bandung, Jawa Barat pada 25 Mei 1988, Boris yang bernama lahir Boris Thompson Manullang ini asli Batak. Cowok Gemini ini berhasil mencapai 5 besar di Stand Up Comedy Indonesia musim kedua pada tahun 2012 lalu. Terbiasa mendapat peran kocak, lewat perannya sebagai Domu, Boris mencoba peruntungannya dalam peran yang lebih serius di film "Ngeri-ngeri Sedap" ini; bukti bahwa komedian bisa menjadi pemeran utama dalam film.
Masih di sub-pembahasan mengenai Domu, sang tunangan, Neny, terlihat memanggil Pak Domu dengan sebutan amangboru. Mirip dengan panggilan pakde atau pak lek dalam bahasa Jawa. Nah, memanggil orang dalam suku Batak itu ada aturannya. Kita harus lihat dengan siapa kita berbicara. Never refer to all elders as tulang or namboru; half of everyone will get super mad at you.
Panggilan kepada orang Batak:
1. Namboru = sebutan untuk wanita yang lebih tua yang semarga dengan ayah
2. Amangboru = sebutan untuk suami dari namboru
3. Tulang = sebutan untuk pria yang lebih tua yang semarga dengan ibu
4. Nantulang = sebutan untuk istri dari tulang
5. Bapatua = sebutan untuk abang kepada ayah atau suami dari kakak perempuan ibu (nangtua)
6. Bapauda = sebutan untuk adik lelaki ayah atau suami dari adik perempuan ibu (nanguda)
7. Nangtua = sebutan untuk kakak perempuan ibu
8. Nanguda = sebutan untuk adik perempuan ibu
9. Lae = sebutan untuk sesama lelaki yang berbeda marga
10. Eda = sebutan untuk sesama perempuan yang berbeda marga
11. Ito = sebutan untuk orang yang berbeda jenis kelamin
12. Amang = sebutan untuk lelaki dewasa atau dari orangtua kepada anak lelaki
13. Inang = sebutan untuk perempuan dewasa atau dari orangtua kepada anak perempuan
Sebutan lae kerap disingkat menjadi le atau leh.
Kita juga akan membahas tegur sapa yang umum dalam bahasa Batak. Tegur sapa yang paling sering didengar dan diucapkan dalam masyarakat Batak adalah "horas". Horas dapat dipakai kapan saja, saat pagi, siang, sore, atau malam. Horas berarti "selamat". Kata ini juga bisa digunakan untuk mengungkapkan rasa gembira, syukur, dan harapan, oleh karena itu bisa digunakan kapan saja.
Untuk mengucapkan terima kasih dalam bahasa Batak, kita mengatakan "mauliate". Untuk mengucapkan terima kasih banyak, kita mengucapkan "mauliate godang". Mauliate is what hatur nuhun is to the Sundanese and matur nuwun is to the Javanese.
Untuk meminta maaf, ada tiga kata dalam bahasa Batak: santabi, marpanganju, dan marpamuati. Santabi digunakan sebelum melakukan kesalahan; marpanganju diucapkan oleh orang yang lebih tua kepada orang yang lebih muda; dan marpamuati diucapkan oleh orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua setelah melakukan kesalahan. Mirip dengan nuwun sewu dalam bahasa Jawa.
Salah satu cerminan budaya Batak yang menonjol di film "Ngeri-ngeri Sedap" adalah upacara sulang-sulang pahompu. Upacara ini adalah upacara adat pengukuhan pernikahan Batak Toba. Acara ini dilakukan untuk melunasi utang adat kepada hula-hula, yaitu keluarga pihak istri. Pada upacara ini, diadakan pesta besar-besaran dan makan-makan, diiringi musik tradisional Batak.
Kembali ke pembahasan mengenai anak-anak Pak Domu, kita menyelam lebih dalam mengenai mengapa orang Batak banyak yang menempuh karir di ranah hukum. Stereotipenya adalah orang Batak cenderung lebih tegas dan bersuara lantang, yang menjadi alasan mengapa kebanyakan hakim atau jaksa di Indonesia bersuku Batak. Sikap tegas dan suara lantang ini mereka manfaatkan dalam perdebatan hukum.
Di awal film, kita melihat teman Pak Domu, Edwin Samosir dari grup lawak Obama, yang memerankan tokoh yang juga bernama Edwin, mengatakan bahwa dia lama tidak kelihatan karena sedang mengurus sidang sengketa tanah di Medan. Untungnya, Edwin menyekolahkan putranya, Hotman, di jurusan hukum. Dia menjadi pengacara Edwin dalam sidang, dan mereka menang. Setelah berbincang, Tivi Tambunan menyalakan televisi, dan saat itu sedang ditayangkan acara lawak. Salah satu pengisi acaranya adalah Gabriel Ezekiel Purba alias Gabe, putra ketiga Pak Domu, yang bekerja sebagai pelawak di Jakarta, menghibur pemirsa televisi.
Dari sini kita tahu bahwa Gabe sama dengan Hotman, lulus kuliah jurusan hukum. Andri Nadeak, juga dari grup Obama, menanyakan apakah kuliah Gabe tidak sayang jika dia justru meniti karir di bidang komedi. Menurut Pak Domu, Gabe melawak hanya sementara karena dia ingin menjadi hakim atau jaksa, sehingga dia sebentar saja akan berhenti melawak. Orang Batak berkeyakinan bahwa anak harus mencari pekerjaan yang jelas, sesuai jurusan, bukan malah meniti karir di bidang hiburan, sebagai pelawak atau penyanyi. For context, Boris Bokir lulus dari Universitas Katolik Parahyangan dengan gelar sarjana hukum, dan punya keinginan mendirikan kantor pengacara, seperti stereotipe orang Batak yang berkiprah di ranah hukum.
Gabe diperankan oleh komika Lolox, seorang komika berdarah campuran Nias dan Minang. Walaupun bukan orang Batak (berdarah Nias dari sang ayah dan Minang dari sang ibu), Lolox dapat bertutur dalam logat Batak dengan baik karena tinggal di Medan sejak lahir. Cowok Taurus bertubuh gempal ini terkenal lewat acara "Street Comedy" di Indosiar.
Orang Batak lainnya yang terkenal yang berkiprah di ranah hukum adalah ayah mertua dari aktris Jessica Mila, Otto Hasibuan. Beliau pernah menangani kasus kopi sianida dan korupsi e-KTP yang sempat hangat. Ada juga Hotman Paris Hutapea, Kamaruddin Simanjuntak, Adnan Buyung Nasution, Hotma Sitompul, dan Juan Felix Tampubolon. Gabe memilih untuk tidak mengikuti jejak mereka karena nyaman menjadi pelawak, membuat orang senang dan dikelilingi rekan kerja yang pengertian di dunia hiburan.
Kalau anak Pak Domu yang paling kecil itu, di mananya, leh? Kita akan berkenalan dengan si bungsu, Stefanus Sahat Ignazio Purba. Sahat lulus kuliah di Universitas Hayam Wuruk, Yogyakarta, dengan gelar sarjana di bidang agribisnis, dan setelah lulus dengan peringkat cumlaude, dia tumbuh menjadi wiraswasta sukses dan tinggal bersama Pak Pomo, seorang duda tua yang hidup bertani jagung. Pak Pomo tidak punya anak, istrinya juga telah lama meninggal. Padahal...
Orang Batak selalu mewariskan rumahnya kepada anak lelakinya yang terakhir, jadi Pak Domu percaya bahwa sebagai anak terakhir, Sahat tidak seharusnya merantau. Dia seharusnya tetap di Toba, mengurus orangtuanya agar setelah mereka meninggal nanti, rumah keluarga Purba akan diwariskan kepada Sahat. Namun, Sahat percaya bahwa berbakti kepada orangtua adalah sesuatu yang harus dilakukan dengan ikhlas dan tanpa pamrih serta tidak sepatutnya dijanjikan upah berupa warisan.
Juga, menjelang akhir film, Sahat menjelaskan mengapa dia memilih tinggal dengan Pak Pomo di Jogja dan enggan pulang ke Toba. Ternyata, Sahat nyaman tinggal dengan Pak Pomo karena beliau mau mendengarkan. Dia belajar mendengar, belajar hidup, dan belajar banyak hal lain dari Pak Pomo, ketika seharusnya dia mendapatkan ilmu tersebut dari ayahnya sendiri. Ketika Pak Domu datang ke Jogja, Pak Pomo menjelaskan usaha yang dirintis Sahat di Jogja; dulu, saat masih kuliah di UHW, Sahat melaksanakan KKN di desa tempat tinggal Pak Pomo. Selama KKN, Sahat dan teman-temannya tidur di atas tikar yang digelarkan Pak Pomo di rumahnya. Dia memimpin kelompok yang kebanyakan anak-anak Batak. Eloknya, dia dicintai dan disukai warga, padahal orang-orang di desa tersebut orang Jawa semua. Sahat pun menjadi orang terhormat di desa Pak Pomo, dan kendati Batak, dia berbaur dengan masyarakat Jawa di sana.
Dan pada waktu KKN, Sahat sempat mengatakan pada Pak Pomo bahwa, setelah lulus dari UWH, dia berjanji akan kembali dan tinggal bersama Pak Pomo. Beliau kira Sahat hanya bercanda, namun dia memegang janjinya dan kembali ke desa tersebut. Memanfaatkan ilmu yang dia dapat di bidang agribisnis, dia membantu warga desa, mengajari cara bertani jagung yang baru, membuat hasil panennya lebih baik, dan juga mengajari cara menjual jagung dengan harga lebih mahal. Itu semua berhasil. Memang, jagung merupakan salah satu komoditas terbesar di Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan konsentrasi terbesar di Gunungkidul dan Bantul.
Sahat diperankan oleh Indra Jegel, salah satu komika favorit saya. Jegel berasal dari Binjai, dan jamak dikenal sebagai juara satu Stand Up Comedy Indonesia Kompas TV musim keenam. Dia dikenal karena pantunnya yang diawali dengan kalimat "petir bukan sembarang petir". Selain itu, Jegel yang berzodiak Aries ini merangkul erat budaya Melayu dalam dirinya.
Pak Domu memang tidak akur dengan ketiga putranya yang memilih untuk menikah dengan orang Sunda, menjadi pelawak, dan mengurus orang lain di kota lain. Oleh karena itu, anak perempuan satu-satunya di keluarga Purba, Sarma Elysia Purba-lah yang mengurus kedua orangtuanya di Toba. Untungnya dia bekerja PNS di kantor kecamatan, jadi tak perlunyalah dia merantau. Dia juga belum menikah. Padahal, Sarma pernah berpacaran dengan Nuel, seorang lanang Jawa dari Surabaya, juga pernah diterima di sebuah sekolah masak paling bergengsi di Bali. Namun, Sarma dan Nuel harus putus karena mereka berbeda suku, dan Sarma harus mencari pekerjaan yang jelas sambil mengurus orangtuanya karena abang dan adik-adiknya jarang pulang ke Toba.
Sarma diperankan oleh komika Gita Bhebhita. Berasal dari Riau, Gita yang berzodiak Pisces ini melejit lewat Stand Up Comedy Indonesia musim keempat dan juga pernah meniti karir sebagai seorang penyiar radio di Jakarta. Materi lawakannya kerap mengangkat isu body positivity.
Sebagai penutup, kita tahu Domu, Sarma, Gabe, dan Sahat adalah nama anak-anak Pak Domu dan Mak Domu. Nama mereka dalam bahasa Batak memiliki segudang arti.
1. Dominikus Adrianus Purba alias Domu
2. Sarma Elysia Purba alias Sarma
3. Gabriel Ezekiel Purba alias Gabe
4. Stefanus Sahat Ignazio Purba alias Sahat
Domu = bertemu; Sarma = menyebar; Gabe = sukses; Sahat = tiba/sampai
Menurut Bene Dion, arti nama anak-anak Pak Domu dan Mak Domu adalah "mereka bertemu (di rumah), lalu menyebar (di perantauan) hingga sampai di jalan menuju kesuksesan."
Mungkin ada banyak lagi yang bisa saya bahas dalam postingan ini, seperti makanan tradisional Batak yang muncul di "Ngeri-ngeri Sedap", yaitu mie gomak dan misop, namun ini sajalah yang bisa kita bahas. Untuk lebih detailnya, baca postingan saya di serial "Kenali Indonesiamu" mengenai Sumatera Utara.
Tabik,
Yudhistira Mahasena
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI