Jodi dan kakeknya pun mencari di sekeliling rumah. Di ruang tamu, di loteng, di ruang makan, di kamar mandi, namun tidak ada. Usaha mereka sia-sia. Kakek Jodi kemudian terduduk lesu.
"Sudah, Kek. Kita beli saja kemeja batik yang baru. Di Trusmi ada," kata Jodi.
Tiba-tiba kakek Jodi menangis. Menangis tak karuan.
"Kek, kenapa menangis?" tanya Jodi.
"Kemeja batik itu mungkin sudah usang. Namun sudah lama kakek simpan. Kemeja tersebut sangat berarti untuk kakek. Dulu kemeja ini milik papamu," kata kakek Jodi di sela-sela tangisnya.
"Kenapa, Kek?" tanya Jodi.
"Kemeja itu ada, saat papamu menemani mamamu melahirkan kamu, Di. Saat kamu bayi, papamu tiada, dan beliau menyerahkan kemeja batik ini untuk kakek," kata kakek Jodi. "Bisa dibayangkan, kemeja ini sudah lama kakek pakai dan simpan. Saat kamu lulus SD, kakek memakai kemeja batik ini. Saat kamu baru diterima sebagai siswa SMA, kakek menghadiri upacara penerimaan kamu mengenakan kemeja batik ini. Sekarang kamu sudah kuliah, jurusan kriya, tingkat tiga pula," lanjut beliau. "Dan..."
Kakek Jodi meneteskan air mata lagi.
"Kemeja itu ada, sebagai saksi bisu kepergian mamamu dari dunia ini. Mamamu pergi saat umurmu tiga tahun, dan kemeja itu ada saat mama menitipkan kamu dan Nathan ke rumah kakek," tangis kakek Jodi. "Umur kakek sekarang 75 tahun, dan kakek telah mengenakan kemeja batik ini selama 20 tahun."
Jodi jadi teringat orangtuanya. Dia teringat almarhumah mamanya yang meninggal karena sakit saat Jodi masih berusia tiga tahun. Kakaknya, Nathan, saat itu berusia lima tahun dan alhamdulillah, kini dia telah bekerja sebagai seorang pengelola toko batik pada usia 28 tahun. Tak terasa, Jodi tak mampu membendung air mata yang menetes deras. Dia pun menangis di pelukan kakeknya.
"Jodi kangen sama mama-papa," kata Jodi. "Kemeja batik tersebut penuh kenangan, bukan hanya untuk kakek, tapi juga untuk Jodi."