Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ruang Demokrasi dan Sistem Kesehatan Nasional

2 Agustus 2020   17:27 Diperbarui: 3 Agustus 2020   07:50 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Demokratisasi menjadi sarana bagi pencapaian tujuan agenda kesejahteraan, termasuk capaian kesehatan." 

Saling terkait. Setiap tahap dalam fase demokratisasi menghasilkan bentuk baru akomodasi persoalan publik. Begitu pula di sektor kesehatan, tidak terkecuali. Formulasinya sederhana, demokrasi berjalan linier dengan akomodasi kepentingan publik.

Kajian Edward Aspinall, 2014, Health care and democratization in Indonesia, memperlihatkan dengan jelas, bagaimana upaya membangun program kesejahteraan dimulai dengan agenda demokrasi. Persoalan publik, yang termuat dalam ranah kebijakan sesungguhnya terkait dengan hal-hal politik.

Keterbukaan ruang politik membuat agenda dan partisipasi publik dimungkinkan. Sementara itu, pada posisi yang sebaliknya, transaksi gelap di panggung politik, hanya akan menghasilkan jarak terpisah antara kepentingan publik dari pengambil keputusan. 

Kerangka oligarki politik yang menguat, mengabaikan serta meninggalkan aspirasi publik di bagian akhir.

Bentuk tinjauan Aspinall pada literatur tersebut, memfokuskan diri pada pembangunan sistem kesehatan nasional. Salah satu tujuan yang hendak dicapai melalui momentum kemerdekaan adalah mengantarkan kesejahteraan, dengan upaya melindungi segenap warga negara. Sehingga usaha pembangunan dalam mengisi kemerdekaan, ditujukan untuk memastikan distribusi keadilan dan kemakmuran.

Selama ini, mekanisme pembangunan, yang mengambil model trickle down effect hanya menyisakan rembesan serta tetesan ke tingkat publik, sebagian besarnya tersumbat di bottleneck mesin birokrasi. 

Selaras dengan pengamatan Aspinall, maka demokratisasi menjadi sarana bagi pencapaian tujuan agenda kesejahteraan, termasuk capaian kesehatan.

Perjalanan SKN
Pada perjalanannya, Sistem Kesehatan Nasional (SKN) mengambil bentuk yang dinamis serta berubah sejalan dengan arah demokrasi. Pasca kemerdekaan, pembangunan sistem kesehatan berlangsung dengan model yang sentralistik. Pusat-pusat kesehatan dibangun melalui instrumen negara, jejaring pusat kesehatan masyarakat dirumuskan dengan konsep upaya kesehatan publik.

Di tahap awal, fokus penyelesaian masalah kesehatan ditujukan pada problem kesehatan dasar, khususnya berbagai penyakit infeksi menular yang terjadi. Termasuk melakukan edukasi serta promosi kesehatan publik yang terintegrasi dalam sistem pendidikan, dengan memperkenalkan konsep gizi seimbang empat sehat lima sempurna. 

Penguatan sarana dan prasarana pendukung dari sektor kesehatan, termasuk mencetak para pengabdi bagi pelayanan kesehatan, dirumuskan sebagai bagian yang tidak terpisahkan atas semangat kemandirian dalam mengurus persoalan domestik yang bebas dari intervensi kepentingan antar blok dunia saat itu.

Peralihan politik dari Orde Lama ke Orde Baru, yang kemudian pada akhirnya mampu mewujudkan konsep Pusat Kesehatan Masyarakat -Puskesmas yang telah digagas sebelumnya. Termasuk berbagai program baru, semisal pelaksanaan konsep keluarga ideal, melalui Keluarga Berencana. Pengendalian populasi, merupakan sarana dalam melakukan kontrol publik.

Ketika transisi kritis Orde Baru, mewujud menjadi Orde Reformasi, maka gagasan kepentingan publik untuk perluasan akses kesehatan publik menjadi titik tekan yang penting. 

Realitas sosial akan sulitnya publik untuk memperoleh layanan dari fasilitas kesehatan, semakin disadari terjadi. Selain itu, kebutuhan akan peningkatan kualitas kesehatan publik, menjadi suatu standar kehidupan yang baru.

Melalui fase demokratisasi, mimpi tentang negara kesejahteraan dihembuskan. Pembentukan peraturan mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional -SJSN pada akhirnya terjadi tahun 2004. Gagasan tentang kesamaan hak untuk mendapatkan perlindungan publik, melalui bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, semakin dimatangkan dengan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial -BPJS di 2011.

Menanti Arah Baru Pro Poor
Ternyata tidak mudah, upaya materialisasi kebijakan yang mengatur hajat publik, masih harus dimenangkan dalam gelanggang pertarungan politik.Termasuk memastikan dukungan bagi pelaksanaan program jaminan sosial kesehatan nasional secara berkelanjutan dan berkesinambungan.

Proses demokrasi langsung, yang memungkinkan pemilihan kandidat secara terbuka, menghadirkan figur yang mencoba mendekati publik dengan berbagai tema kampanye populis. Isu di sektor pendidikan dan kesehatan, menjadi daya tarik bagi keterpilihan. Premis utamanya, popularitas tokoh dengan bungkus kampanye program kerja populis, akan meningkatkan elektabilitas kandidat, yang berguna dalam memenangi pemilihan.

Selaras dengan itu, agenda kesehatan melalui penjabaran teknis BPJS Kesehatan di 2014, yang memiliki target cakupan seluruh warga tidak berjalan dengan mulus. 

Salah satu yang dipertanyakan adalah komitmen dan konsistensi para aktor politik, untuk memenuhi janji kampanye yang berpihak pada kepentingan publik. Hal ini terlihat dari belum terpenuhinya cakupan BPJS Kesehatan secara universal health coverage, yang seharusnya terjadi pada 2019.

Lebih dari itu, problem defisit dari pembiayaan BPJS Kesehatan, juga tidak kunjung terselesaikan. Konstruksi yang terbangun adalah persoalan manajemen pengelolaan program BPJS Kesehatan dan tindakan kecurangan -fraud dari pemberi layanan. 

Padahal, sesuai kajian ekonomi kesehatan, problem BPJS Kesehatan mencerminkan wajah di ruang politik. Hal tersebut disebabkan karena penetapan nilai aktuaria atas premi program berada di wilayah politik, bukan lagi sekedar aspek teknis manajerial semata.

Terdapat kesenjangan antara janji kampanye politik yang gegap gempita pada periode pemilihan, terutama tentang kesehatan dan kesejahteraan, dengan lemahnya realisasi serta bukti atas dukungan serta pengutamaan kepentingan publik dalam ranah pengambilan kebijakan. Sekurangnya ruang demokrasi, telah membuka asa dan celah sempit mengenai nasib kesehatan publik. 

Di antara tarik-menarik kepentingan elit dan publik, kita berharap agar program jaminan kesehatan selayaknya misteri pada kotak pandora, yang menyisakan bintang terang harapan di dasar kotak, setelah bintang-bintang yang membawa aura buruk menyebar ke seluruh penjuru sesaat setelah kotak pandora terbuka. 

Harapan akan negara kesejahteraan dengan perlindungan serta jaminan atas hak esensial publik harus tetap dinyalakan sebagai tujuan besar dalam kehidupan bernegara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun