Angka-angka dalam ilmu statistik tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Deretan angka itu, dipergunakan untuk menemukan titik persoalan, sekaligus merumuskan kebijakan. Dengan begitu, angka-angka berubah memiliki kepentingan, ketika hendak dinarasikan, diinterpretasi sesuai persepsi pada tujuan yang hendak dicapai. Sekali lagi, bobotnya harus ditempatkan pada kepentingan publik secara meluas.
Dalam hal itu, menarik untuk membaca ulang buku terbitan LP3ES, yang ditulis Soetjipto Wirosardjono, Angka-Angka Berbicara: Perbincangan tentang Statistik di Indonesia, 2007, kerapkali angka itu memang dipergunakan untuk diselaraskan dengan selera dan keinginan.
Tidak aneh bila kebijakan menjadi tidak sinkron dalam tahap operasionalisasi, justru dengan menggunakan legitimasi angka-angka statistik, itulah dilema angka dihadapan kekuasaan. Menjadi sebuah kesulitan tersendiri untuk mempertanggungjawabkan angka-angka statistik tersebut secara etik.
Meski dalam kasus pandemi kali ini, kita sulit menemukan angka-angka lain selain rilis resmi harian dari satuan gugus tugas, kita tentu mendasarkan asumsi bila data yang disajikan tersebut valid dan dapat diandalkan -reliable, sekalipun masih mungkin membuka ruang kritis.
Tetapi kita memiliki serta menjaga harapan terbaik, agar pandemi ini segera berlalu, seiring dengan membaca angka dan data statistik tersebut, sebab hanya setitik harapan itu pula yang akan dapat membawa sinar cerah menatap masa depan. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H