Lebih jauh lagi, kondisi ini memperlihatkan adanya kegagalan melihat Covid19 sebagai sebuah kasus baru dalam khasanah ilmu pengetahuan manusia modern, sehingga bisa jadi ada keterbatasan referensi.
Dalam kerangka pandemi, kita tidak memiliki keistimewaan waktu sebagaimana periode normal, karena itu pula proses produksi vaksin dilakukan dalam tahapan serta kaidah percepatan untuk mengatasi problem wabah.
Kecolongan publikasi ilmiah The Lancet, mungkin bisa dipahami dalam keterbatasan ilmu dan waktu, hingga soal integritas peneliti, tetapi tentu tidak menghilangkan esensi terkait dampak wabah yang demikian ganas dan berbahaya.
Apakah pandemi ini skenario berlebihan? Konspirasi elit global? Nyatanya, skala statusnya pandemi dan dialami lebih dari 200 negara di dunia, termasuk para negara super power yang memiliki privilege teknologi dan finansial. Masih percaya Covid19 itu mitos atau khayalan imajiner?
Artikel Ratna juga melakukan pengambilan sampel komparasi angka TBC pada anak, dengan case Covid19 pada anak, yang dalam perimbangan kasus justru memperlihatkan bila TBC sebagai problem kesehatan menjadi lebih material, padahal minim ekspose.
Pola perbandingan ini kurang sensitif melihat dampak. Tentu semua sepakat bila nyawa bukan soal ukuran jumlah angka, konsepnya adalah kemampuan menyelamatkan jiwa. Pokok gagasannya, keselamatan rakyat adalah hal utama -salus populi suprema lex esto.
Beda Perspektif
Pada artikel selanjutnya, Andrinof A Chaniago, Memaknai Arti Satu Nyawa, (Kompas, 22/6) telah dengan terang menjelaskan bagaimana seharusnya data statistik yang dikumpulkan diberi bobot nilai pada sudut pandang pencegahan korban jiwa, sehingga kita akan lebih berfokus pada upaya-upaya yang serius dalam menyelamatkan nyawa manusia.
Meski kemudian Andrinof juga jatuh pada penyederhanaan kasus per daerah, dengan membandingkan angka kematian sebagai basis kalkulasi, dibagi dengan bilangan jumlah penduduk.
Hal ini kemudian seolah tampak riil memperlihatkan posisi provinsi dengan dampak terburuk, padahal juga bisa dilihat dengan cara pandang serta kacamata berbeda menggunakan bobot faktor risiko, yakni: (i) mobilitas sosial, dan (ii) densitas penduduk.
Kenapa begitu? Penularan terjadi karena interaksi manusia, maka dengan melihat kedua faktor tersebut, akan mampu menjelaskan lebih rigid posisi kota-kota besar dalam berhadapan dengan konsekuensi penularan yang lebih tinggi, dibandingkan daerah-daerah lain.Â