Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Data, Nyawa, dan Harapan pada Statistik Pandemi

24 Juni 2020   10:06 Diperbarui: 24 Juni 2020   10:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bertambah. Grafik kasus Covid-19 masih memberi gambaran menanjak. Belum bertemu titik puncaknya untuk kemudian melandai. Maknanya, kita masih perlu terus berjuang keras, untuk menjinakkan wabah.

Perlu disadari, kompleksitas persoalan pandemi ini dapat dibagi dalam kerangka lokal per daerah, yang secara kumulatif menjadi representasi permasalahan di tingkat nasional. Bentuk wilayah kesatuan yang berkepulauan, membuat aspek lokalitas di setiap daerah berbeda-beda.

Penanganan yang berbeda, sesuai dengan permasalahan tiap daerah penting untuk dilakukan, agar strategi yang dipergunakan efektif mencapai tujuan, dan efisien dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki. Bobot lokalitas, termasuk aspek struktural dan sosio kultural mempunyai pengaruh.

Dengan begitu, dimungkinkan untuk melakukan pendekatan berbasis wilayah, melalui penekanan pada pengetahuan atas masalah-masalah riil di tingkat lokal, menghindari solusi yang bersifat Jakarta sentris atau terkesan sentralistik.

Di titik tersebut, perlu penguatan atas penalaran data, angka dan hasil olah statistik sebagai alat bantu, guna merumuskan kebijakan dan arah programatik dalam strategi mengatasi wabah. Sehingga, keputusan yang diambil dalam kerja mengatasi pandemi, berbasis data serta bukti ilmiah -evidence based.

Data berupa angka dan hasil olah ilmu statistik itu tidak berdiri sendiri di ruang hampa, melainkan harus hadir pada ruang yang berpihak, terutama bagi kepentingan kebaikan publik -bonum commune.

Bias Interpretasi Statistik

Sekurangnya, dalam dua narasi besar secara berurutan, peran serta keberadaan statistik dan media digugat. Hal itu terlihat pada artikel Ratna Megawangi, Korona dan Statistik Kepanikan, (Kompas, 20/6) yang menggunakan kasus publikasi The Lancet dalam kekeliruan penelitian Covid19, kemudian pada bagian ujungnya tersirat bahwa media menciptakan kepanikan publik, karena kesalahan distribusi informasi dalam memahami rasionalitas statistik.

Tentu sebagai sebuah bentuk dinamika pemikiran, kita perlu menghargai pendapat berbeda. Meski penjelasan yang hendak ditekankan bisa jadi terbilang absurd, layaknya teori konspirasi elit global dalam kepentingan perluasan pandemi. Sikap anti sains atau bahkan pseudo sains sedemikian perlu dibenahi.

Mengapa? Karena bila terus dibenturkan, maka kita akan berhenti serta menyudahi apa yang sudah dilakukan selama ini. Lantas berganti perspektif yang jauh lebih mudah, alias menyepelekan. Konstruksinya di publik akan menjadi: (i) Covid19 adalah hal kecil yang diliput secara hiperbolik, (ii) pandemi adalah produksi mitos dari kepentingan bisnis media, farmasi dan industri kesehatan.

Bagian dalam artikel tersebut, mempergunakan The Lancet yang agak kedodoran dalam melakukan kurasi dan verifikasi penelitian, sebagai alat potong serta penyangkalan persoalan pandemi.

Lebih jauh lagi, kondisi ini memperlihatkan adanya kegagalan melihat Covid19 sebagai sebuah kasus baru dalam khasanah ilmu pengetahuan manusia modern, sehingga bisa jadi ada keterbatasan referensi.

Dalam kerangka pandemi, kita tidak memiliki keistimewaan waktu sebagaimana periode normal, karena itu pula proses produksi vaksin dilakukan dalam tahapan serta kaidah percepatan untuk mengatasi problem wabah.

Kecolongan publikasi ilmiah The Lancet, mungkin bisa dipahami dalam keterbatasan ilmu dan waktu, hingga soal integritas peneliti, tetapi tentu tidak menghilangkan esensi terkait dampak wabah yang demikian ganas dan berbahaya.

Apakah pandemi ini skenario berlebihan? Konspirasi elit global? Nyatanya, skala statusnya pandemi dan dialami lebih dari 200 negara di dunia, termasuk para negara super power yang memiliki privilege teknologi dan finansial. Masih percaya Covid19 itu mitos atau khayalan imajiner?

Artikel Ratna juga melakukan pengambilan sampel komparasi angka TBC pada anak, dengan case Covid19 pada anak, yang dalam perimbangan kasus justru memperlihatkan bila TBC sebagai problem kesehatan menjadi lebih material, padahal minim ekspose.

Pola perbandingan ini kurang sensitif melihat dampak. Tentu semua sepakat bila nyawa bukan soal ukuran jumlah angka, konsepnya adalah kemampuan menyelamatkan jiwa. Pokok gagasannya, keselamatan rakyat adalah hal utama -salus populi suprema lex esto.

Beda Perspektif

Pada artikel selanjutnya, Andrinof A Chaniago, Memaknai Arti Satu Nyawa, (Kompas, 22/6) telah dengan terang menjelaskan bagaimana seharusnya data statistik yang dikumpulkan diberi bobot nilai pada sudut pandang pencegahan korban jiwa, sehingga kita akan lebih berfokus pada upaya-upaya yang serius dalam menyelamatkan nyawa manusia.

Meski kemudian Andrinof juga jatuh pada penyederhanaan kasus per daerah, dengan membandingkan angka kematian sebagai basis kalkulasi, dibagi dengan bilangan jumlah penduduk.

Hal ini kemudian seolah tampak riil memperlihatkan posisi provinsi dengan dampak terburuk, padahal juga bisa dilihat dengan cara pandang serta kacamata berbeda menggunakan bobot faktor risiko, yakni: (i) mobilitas sosial, dan (ii) densitas penduduk.

Kenapa begitu? Penularan terjadi karena interaksi manusia, maka dengan melihat kedua faktor tersebut, akan mampu menjelaskan lebih rigid posisi kota-kota besar dalam berhadapan dengan konsekuensi penularan yang lebih tinggi, dibandingkan daerah-daerah lain. 

Prinsipnya jaga jarak-jaga kesehatan, bagaimana bila daerah padat penduduk? Tentu menjadi lebih rumit.

Kekeliruan ini pula yang agaknya menjadi persoalan, ketika diajukan usulan lomba antar daerah, untuk memberi insentif dalam rangka simulasi new normal termasuk lomba menekan laju penyebaran Covid19.

Model pemberian dukungan finansial dengan format lomba, mengabaikan bahwa apa yang sebelumnya sudah secara tepat dikemukakan dalam artikel Andrinof tentang orientasi nyawa.

Ada mislead dari bentuk program lomba tersebut, dari tujuan besar untuk melawan wabah, dengan memusatkan diri pada kepentingan penyelamatan eksistensi manusia. Selain itu, peran pemerintah pusat untuk memberikan dukungan kepada daerah-daerah, sebaiknya tidak dibatasi hanya karena menang-kalah perlombaan.

Bisa jadi daerah yang tidak ikut serta dalam perlombaan, justru tengah kelimpungan mengatasi persoalan di tingkat lokal, karena pertambahan kasus. 

Begitu pula sebaliknya, daerah yang menang lomba dan mendapatkan insentif, bisa jadi memang sudah dalam fase decline, sehingga bisa lebih berfokus untuk berlomba. Disini ada letak penting untuk memahami duduk soal pandemi, serta menentukan program yang urgent dan prioritas.

Statistik dan Perang Psikologis

Tulisan ini disusun untuk menjadi pengkayaan ragam pemikiran yang boleh jadi berbeda. Tidak ada soal untuk keluar dari mindset arus utama, tetapi sekali lagi kita butuh kepaduan dan kebersamaan untuk keluar dari belitan pandemi.

Situasi ini tidak ubahnya bagaikan perang psikologis, manakala kita lemah dalam menguatkan sugesti untuk menang melawan wabah, kita justru akan saling berperang sendiri.

Dalam teori Kubler Ross, kita mengenal tahapan depresi -depression menuju negosiasi -bargaining yang kerap diisi oleh fluktuasi emosional, bahkan menuding kesalahan orang lain -blaming. Tetapi kita harus terus menuju fase selanjutnya yakni belajar -learning dan berubah -change, untuk bisa melangkah maju secara bijak.

Jangan menyerah kalah, sebelum perang berakhir. Meski berbekal ilmu yang terbatas dan pengetahuan wabah secara minim, keunggulan homo sapiens selain berpikir adalah berkelompok -homo socius, maka tanggung jawab kita untuk menuntaskan pandemi secara bersama-sama.

Angka-angka dalam ilmu statistik tidak berbicara untuk dirinya sendiri. Deretan angka itu, dipergunakan untuk menemukan titik persoalan, sekaligus merumuskan kebijakan. Dengan begitu, angka-angka berubah memiliki kepentingan, ketika hendak dinarasikan, diinterpretasi sesuai persepsi pada tujuan yang hendak dicapai. Sekali lagi, bobotnya harus ditempatkan pada kepentingan publik secara meluas.

Dalam hal itu, menarik untuk membaca ulang buku terbitan LP3ES, yang ditulis Soetjipto Wirosardjono, Angka-Angka Berbicara: Perbincangan tentang Statistik di Indonesia, 2007, kerapkali angka itu memang dipergunakan untuk diselaraskan dengan selera dan keinginan.

Tidak aneh bila kebijakan menjadi tidak sinkron dalam tahap operasionalisasi, justru dengan menggunakan legitimasi angka-angka statistik, itulah dilema angka dihadapan kekuasaan. Menjadi sebuah kesulitan tersendiri untuk mempertanggungjawabkan angka-angka statistik tersebut secara etik.

Meski dalam kasus pandemi kali ini, kita sulit menemukan angka-angka lain selain rilis resmi harian dari satuan gugus tugas, kita tentu mendasarkan asumsi bila data yang disajikan tersebut valid dan dapat diandalkan -reliable, sekalipun masih mungkin membuka ruang kritis.

Tetapi kita memiliki serta menjaga harapan terbaik, agar pandemi ini segera berlalu, seiring dengan membaca angka dan data statistik tersebut, sebab hanya setitik harapan itu pula yang akan dapat membawa sinar cerah menatap masa depan. Semoga!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun