Viralitas tinggi. Pandemi adalah status yang disematkan pada problem kesehatan dengan daya tular sangat cepat di tingkat global. Perlu upaya serupa dari mesin birokrasi untuk mengimbanginya.
Virus ini bergerak dan menular, dari satu manusia ke manusia lain. Interaksi manusia yang semakin banyak, memang tabiat sebagai makhluk sosial -Homo Socius. Berkumpul, bergerombol cirinya.
Dalam kerumunan itu, renik tidak kasat mata ini berpindah. Diperantarai cairan tubuh manusia, menempel di permukaan benda, dan berpindah melalui kontak dengan manusia lain.
Begitu cepat transmisi terjadi dan secepat itu pula kerja virus di dalam organ tubuh manusia menyebabkan kegagalan fungsi pernafasan. Berakibat fatal menimbulkan kematian.
Hal yang tersisa adalah ketakutan dan kepanikan. Jenis penyakit ini baru dan belum ada penangkalnya. Bila tidak segera diatasi, premis Homo Homini Lupus terjadi, manusia menjadi serigala bagi yang lain.Â
"Pandemi adalah status yang disematkan pada problem kesehatan dengan daya tular sangat cepat di tingkat global. Perlu upaya serupa dari mesin birokrasi untuk mengimbanginya."Â
Melampaui Kerja Virus
Dalam kehidupan sosial modern, manusia menjadi organisme yang menyusun dan mengatur dirinya, dalam sebuah entitas bernama negara. Fungsi negara menjadi pengatur gerak hidup bersama.
Keberadaan status pandemi, menciptakan kekacauan sosial, dan karena itu intervensi negara harus hadir, dengan tujuan menyelamatkan nyawa publik.
Mesin birokrasi harus bekerja dengan cepat, dalam membuat keputusan. Menimbang secara bijaksana, guna merumuskan kebijakan. Format kerjanya harus melampaui kecepatan penularan penyakit.
Virus bekerja tanpa banyak tanya, sementara keputusan kebijakan seringkali menjadi sulit diambil justru karena banyak pertanyaan bagi kekuasaan.Â
Melihat serta mempertanyakan dampak sosial, politik, ekonomi, kehilangan esensi dari urgensi kedaruratan soal nyawa itu sendiri. Kita memang makhluk fana.
Kerja mesin birokrasi yang meliputi luas wilayah secara berjenjang, membuat tata urutan kelola pekerjaan berada pada mata rantai yang panjang. Terlebih sebuah keputusan, membutuhkan penjabaran teknis dalam upaya implementasinya.
Hal-hal yang menjadi kekosongan aturan segera diisi agar tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan free rider dalam situasi bencana. Kelambanan merespon mengakibatkan masalah baru.
Komunikasi Harapan
Pada sebuah situasi krisis, maka harus mampu dibangun harapan terbaik. Melalui harapan tersebut, publik menaruh kepercayaan, membangkitkan semangat, memberi dukungan penuh.
Pengubahan alih fungsi wisma atlet sebagai rumah sakit darurat, pembelian alat tes dalam jumlah besar, bahkan obat yang akan dijadikan sebagai antivirus, membawa kelegaan. Terdapat secercah impian akan harapan.
Jangan sampai hanya efek plasebo, sebuah kondisi kosong yang seolah nyata, meski sebaliknya. Harapan itu dinegasikan melalui kenyataan, seperti sulitnya akses publik ke pusat rujukan.Â
Termasuk soal kekurangan peralatan medis pendukung, bagi pemberian layanan tersebut. Situasi ini jelas membuat tenaga medis rentan tertular, dan dapat menulari. Realitas yang mengecewakan.
Harapan yang berbeda dari kenyataan, membuat ketidakpercayaan. Keputusan penetapan status kedaruratan, serta pemberian stimulus dan insentif ekonomi bagi kehidupan publik, jadi harapan baru.
Jangan sampai, angka-angka indah itu hanya sekedar pemuas statistik. Apalagi bila pada praktiknya tidak sampai ke publik. Terlebih diboboti terlalu banyak persyaratan untuk memperolehnya.Â
Mengaktifkan Mesin Sosial
Melalui inisiatif spontan, publik merespon kondisi wabah untuk saling berbagi. Kesedihan dirasakan semua pihak. Bahkan tanpa menunggu instruksi birokrasi, membangun kerjasama saling membantu.
Mesin sosial ini menjadi keunggulan. Kontribusi dan keterlibatan publik terjadi dalam bentuk Homo Homini Socius -manusia adalah sahabat bagi yang lainnya. Menciptakan solidaritas dan kebersamaan.
Pada situasi seperti ini, kerja birokrasi sebagai mesin negara diuji. Sesuai Daron Acemoglu & James A. Robinson dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, 2012, negara mengalami kegagalan dikarenakan tidak berfungsinya peran kelembagaan dalam hajat publik.
Pada negara gagal, institusi kelembagaan secara politik dan ekonomi bersifat ekstraktif. Hal ini mencerminkan elitisme, lengkap dengan perilaku koruptif. Kebijakan terpisah dari kepentingan publik.
Sebaliknya, pada negara inklusif yang mampu mengadaptasi diri selaras dengan pemenuhan hajat publik, memastikan proses terbuka dan partisipatif menuju emansipasi, mempergunakan prinsip demokrasi.
Kita tentu memiliki harapan pandemi segera berlalu, dan pengambilan kebijakan, memperhatikan apa yang menjadi prioritas kebutuhan publik. Tentu kita tidak berkeinginan menjadi negara gagal.
Dalam posisi tersebut, sudah selayaknya dan menjadi kewajiban para pemangku kekuasaan, untuk mampu mewujudkan kepentingan publik sebagai hal yang utama. Karena harapan tanpa kenyataan, adalah kesia-siaan belaka.
Bekerjalah secepat mungkin, hanya itu yang bisa dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H