Melalui inisiatif spontan, publik merespon kondisi wabah untuk saling berbagi. Kesedihan dirasakan semua pihak. Bahkan tanpa menunggu instruksi birokrasi, membangun kerjasama saling membantu.
Mesin sosial ini menjadi keunggulan. Kontribusi dan keterlibatan publik terjadi dalam bentuk Homo Homini Socius -manusia adalah sahabat bagi yang lainnya. Menciptakan solidaritas dan kebersamaan.
Pada situasi seperti ini, kerja birokrasi sebagai mesin negara diuji. Sesuai Daron Acemoglu & James A. Robinson dalam Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty, 2012, negara mengalami kegagalan dikarenakan tidak berfungsinya peran kelembagaan dalam hajat publik.
Pada negara gagal, institusi kelembagaan secara politik dan ekonomi bersifat ekstraktif. Hal ini mencerminkan elitisme, lengkap dengan perilaku koruptif. Kebijakan terpisah dari kepentingan publik.
Sebaliknya, pada negara inklusif yang mampu mengadaptasi diri selaras dengan pemenuhan hajat publik, memastikan proses terbuka dan partisipatif menuju emansipasi, mempergunakan prinsip demokrasi.
Kita tentu memiliki harapan pandemi segera berlalu, dan pengambilan kebijakan, memperhatikan apa yang menjadi prioritas kebutuhan publik. Tentu kita tidak berkeinginan menjadi negara gagal.
Dalam posisi tersebut, sudah selayaknya dan menjadi kewajiban para pemangku kekuasaan, untuk mampu mewujudkan kepentingan publik sebagai hal yang utama. Karena harapan tanpa kenyataan, adalah kesia-siaan belaka.
Bekerjalah secepat mungkin, hanya itu yang bisa dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H