Melihat serta mempertanyakan dampak sosial, politik, ekonomi, kehilangan esensi dari urgensi kedaruratan soal nyawa itu sendiri. Kita memang makhluk fana.
Kerja mesin birokrasi yang meliputi luas wilayah secara berjenjang, membuat tata urutan kelola pekerjaan berada pada mata rantai yang panjang. Terlebih sebuah keputusan, membutuhkan penjabaran teknis dalam upaya implementasinya.
Hal-hal yang menjadi kekosongan aturan segera diisi agar tidak ada celah yang dapat dimanfaatkan free rider dalam situasi bencana. Kelambanan merespon mengakibatkan masalah baru.
Komunikasi Harapan
Pada sebuah situasi krisis, maka harus mampu dibangun harapan terbaik. Melalui harapan tersebut, publik menaruh kepercayaan, membangkitkan semangat, memberi dukungan penuh.
Pengubahan alih fungsi wisma atlet sebagai rumah sakit darurat, pembelian alat tes dalam jumlah besar, bahkan obat yang akan dijadikan sebagai antivirus, membawa kelegaan. Terdapat secercah impian akan harapan.
Jangan sampai hanya efek plasebo, sebuah kondisi kosong yang seolah nyata, meski sebaliknya. Harapan itu dinegasikan melalui kenyataan, seperti sulitnya akses publik ke pusat rujukan.Â
Termasuk soal kekurangan peralatan medis pendukung, bagi pemberian layanan tersebut. Situasi ini jelas membuat tenaga medis rentan tertular, dan dapat menulari. Realitas yang mengecewakan.
Harapan yang berbeda dari kenyataan, membuat ketidakpercayaan. Keputusan penetapan status kedaruratan, serta pemberian stimulus dan insentif ekonomi bagi kehidupan publik, jadi harapan baru.
Jangan sampai, angka-angka indah itu hanya sekedar pemuas statistik. Apalagi bila pada praktiknya tidak sampai ke publik. Terlebih diboboti terlalu banyak persyaratan untuk memperolehnya.Â
Mengaktifkan Mesin Sosial