Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Labirin Komunikasi dan Kebijakan Publik

6 Maret 2020   12:05 Diperbarui: 8 Maret 2020   04:28 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gelap dan berliku. Proses panjang pengelolaan urusan publik, seringkali tidak berada di ruang yang terang benderang. Hasilnya, negosiasi dan kompromi, penuh dengan kepentingan, serta menghilangnya ruang partisipasi publik itu sendiri.

Polemik yang kemudian menjadi bagian dari pembicaraan publik, selain corona, tentu saja UU Cipta Kerja -Cika. Sebelumnya, UU ini bernama Cipta Lapangan Kerja, disingkat sebagai Cilaka. Karena berkonotasi negatif, maka aspek penamaan dirubah. Berubah nama, tidak mengubah esensi.

Skema Omnibus Law yang dianggap menjadi upaya sapu jagat, dalam melakukan sinkronisasi kebijakan, perlu dikaji dengan lebih serius dampak terkaitnya. 

Deregulasi dan harmonisasi dari berbagai peraturan yang menumpuk, baik antar departemen, ataupun terkait dengan urusan pemerintah pusat serta daerah, perlu dilakukan.

Hambatan terkait dengan pengembangan usaha di dalam negeri, salah satunya adalah kerancuan peraturan. Tidak hanya tumpang tindih, tetapi juga terkadang saling berlawanan. 

Tidak hanya itu, dalam kekacauan regulasi seringkali timbul tawaran fast track. Lantas muncul biaya siluman, added cost yang menyebabkan inefisiensi bisnis, disebabkan tambahan biaya tidak langsung dari proses produksi.

Berkenaan dengan substansi UU Cika, tentu kita serahkan kepada pihak tim perumus, bersangkut dengan para pihak terkait. Catatan utamanya, jangan tinggalkan pula para pihak yang berkepentingan atas terbentuknya UU tersebut. 

Pelibatan sebanyak mungkin elemen publik yang bersinggungan, dapat memperkaya khazanah peraturan yang akan dibuat. Meminimalisir potensi dampak buruk. Prinsipnya, partisipasi menuju emansipasi.

Proses Black Box
Kotak hitam adalah simbol, bagaimana benda yang dipasang di pesawat udara ini bekerja secara diam-diam. Proses pengambilan keputusan atas persoalan publik kerap terjadi secara tertutup, tersembunyi dan luput dari pantauan publik. 

Kesepakatan terjadi hanya antar pemilik kepentingan. Revisi UU KPK adalah bentuk konkrit yang terlihat.

Secara bersamaan, publik juga menyimpan memori kolektif, sebagaimana fungsi kotak hitam di dalam alam sadar publik itu sendiri. Jika kekuasaan tidak mampu menampilkan proses selanjutnya secara transparan dan terbuka, bukan tidak mungkin akumulasi memori buruk akan menjadi bom waktu sosial. 

Periode krisis semakin terasa. Pandemi corona menjadi momentum uji coba.

Diproyeksikan akan terjadi penyusutan pertumbuhan ekonomi dunia. Kemungkinan dan besar potensinya akan terdapat dampak pada ekonomi nasional. Di sini daya tahan tubuh, berkorelasi dengan daya beli masyarakat, adalah sebuah hal yang logis. 

Kekuasaan harus mampu menciptakan suasana pertumbuhan yang kondusif di tingkat lokal, untuk melakukan counterbalance atas imbas di level dunia.

Hal terpenting dalam situasi ini, adalah menciptakan mutual trust. Pelibatan kekuatan publik adalah keharusan. Keterpaduan gerak langkah pemerintah dan publik menjadi bentuk kebersamaan untuk bisa keluar dari situasi yang pelik. 

Fungsi stimulan solidarity maker, harus lebih dimainkan, dibandingkan sebagai kanal kepentingan politik semata.

Ironi Negara Maju
Sekurangnya, prestasi yang tidak banyak dibahas adalah peningkatan status Indonesia sebagai negara maju. Penetapan peringkat ini, dilakukan oleh Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR). Sikap kita masih ambigu, apakah menerima atau menolaknya.

Terdapat berbagai konsekuensi logis atas pemberian predikat baru tersebut. Pertama: dimaknai sebagai pengakuan, bahwa Indonesia memang telah menjadi negara maju, besar dan berpengaruh.

Indikatornya, persis sebagaimana asumsi USTR yakni, (i) kontribusi agregat dari perdagangan dunia diatas 0.5 persen, (ii) tergabung dalam organisasi negara-negara maju G20. Meski ada perbedaan dalam mengukur kapasitas pendapatan per kapita.

Bila diukur menggunakan kacamata Bank Dunia, maka income per kapita hanya sebesar 4 ribu dollar. Angka yang terbilang jauh dari kriteria negara maju, dengan nilai 12 ribu dollar AS. Tetapi bila menggunakan Purchasing Power Parity -PPP, maka angka itu terlewati. Kontroversial.

Kedua, merupakan upaya negara adidaya Paman Sam untuk melakukan penyeimbangan neraca perdagangan. Disebabkan berbagai negara berkategori menengah mulai menggerogoti kapasitas industri Amerika Serikat.

Pemerintah belum bersikap secara serius atas hal tersebut, apakah menerima pengakuan dan berbangga, karena impian menjadi negara maju bahkan lebih cepat dari 2045. Ataukah menolaknya karena label tersebut tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya?

Respon resmi pemerintah tentu ditunggu, terlebih untuk melihat seperti apa kebijakan yang akan dibuat dengan perubahan status tersebut. Julukan dan panggilan, dalam sebuah format komunikasi, hendak menempatkan setting posisi negosiasi, antara kedua pihak yang berkomunikasi.

Menyandang status negara maju, bukan perkara main-main. Pada perihal komunikasi, maka pesan yang disampaikan memiliki makna dan tujuan. 

Samar-samar tujuan pemberian predikat itu terbaca, tetapi kita belum melihat seperti apa sikap pemerintah akan hal tersebut. 

Karena dibanding kemajuan, kita justru tampak mundur dalam membangun komunikasi publik, dengan semakin luasnya ruang remang-remang dalam pengambilan kebijakan pada persoalan publik. Entahlah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun