Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Labirin Komunikasi dan Kebijakan Publik

6 Maret 2020   12:05 Diperbarui: 8 Maret 2020   04:28 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Periode krisis semakin terasa. Pandemi corona menjadi momentum uji coba.

Diproyeksikan akan terjadi penyusutan pertumbuhan ekonomi dunia. Kemungkinan dan besar potensinya akan terdapat dampak pada ekonomi nasional. Di sini daya tahan tubuh, berkorelasi dengan daya beli masyarakat, adalah sebuah hal yang logis. 

Kekuasaan harus mampu menciptakan suasana pertumbuhan yang kondusif di tingkat lokal, untuk melakukan counterbalance atas imbas di level dunia.

Hal terpenting dalam situasi ini, adalah menciptakan mutual trust. Pelibatan kekuatan publik adalah keharusan. Keterpaduan gerak langkah pemerintah dan publik menjadi bentuk kebersamaan untuk bisa keluar dari situasi yang pelik. 

Fungsi stimulan solidarity maker, harus lebih dimainkan, dibandingkan sebagai kanal kepentingan politik semata.

Ironi Negara Maju
Sekurangnya, prestasi yang tidak banyak dibahas adalah peningkatan status Indonesia sebagai negara maju. Penetapan peringkat ini, dilakukan oleh Kantor Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (USTR). Sikap kita masih ambigu, apakah menerima atau menolaknya.

Terdapat berbagai konsekuensi logis atas pemberian predikat baru tersebut. Pertama: dimaknai sebagai pengakuan, bahwa Indonesia memang telah menjadi negara maju, besar dan berpengaruh.

Indikatornya, persis sebagaimana asumsi USTR yakni, (i) kontribusi agregat dari perdagangan dunia diatas 0.5 persen, (ii) tergabung dalam organisasi negara-negara maju G20. Meski ada perbedaan dalam mengukur kapasitas pendapatan per kapita.

Bila diukur menggunakan kacamata Bank Dunia, maka income per kapita hanya sebesar 4 ribu dollar. Angka yang terbilang jauh dari kriteria negara maju, dengan nilai 12 ribu dollar AS. Tetapi bila menggunakan Purchasing Power Parity -PPP, maka angka itu terlewati. Kontroversial.

Kedua, merupakan upaya negara adidaya Paman Sam untuk melakukan penyeimbangan neraca perdagangan. Disebabkan berbagai negara berkategori menengah mulai menggerogoti kapasitas industri Amerika Serikat.

Pemerintah belum bersikap secara serius atas hal tersebut, apakah menerima pengakuan dan berbangga, karena impian menjadi negara maju bahkan lebih cepat dari 2045. Ataukah menolaknya karena label tersebut tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun