Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Memahamkan Kalkulasi Kenaikan Premi BPJS Kesehatan

3 September 2019   22:09 Diperbarui: 4 September 2019   05:40 884
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi BPJS Kesehatan (Kompas.com/ Luthfia Ayu Azanella)

Pembahasan soal sumber daya manusia, diperkuat pada pidato kenegaraan 2019 dan dengan sangat kuat terbaca. Dalam konteks kebutuhan untuk mencapai loncatan global, pengelolaan talenta manusia Indonesia perlu dilakukan, untuk memastikan terciptanya "Indonesia Maju". 

Dikaitkan dengan narasi dalam kedua teks pidato tersebut, tidak dapat ditolak jika sektor pendidikan dan kesehatan menjadi sebuah program yang seharusnya ditopang serta didukung secara kuat oleh pemangku kebijakan.

Bila demikian, prinsip kebijakan akan bersifat proaktif dan responsif, bertindak mendahului dalam mencari solusi, bukan sekedar reaktif menjawab persoalan setelah masalah semakin membesar.

Nada Tinggi Pejabat Publik

Sebenarnya, tindakan setengah hati pemangku kebijakan terlihat dari berbagai nada argumen yang muncul terkait dengan defisit BPJS Kesehatan. Seolah risih bila dihadapkan pada persoalan BPJS Kesehatan. Padahal program kesehatan selalu diandalkan untuk menjadi bagian dari strategi kampanye semua aktor politik.

Sebelum sampai pada keputusan mendorong kenaikan premi, kita pernah mendengar nada tinggi Menteri Sri Mulyani menanggapi soal defisit BPJS Kesehatan, dengan pernyataan bahwa dirinya bukan Menteri Keuangan Kesehatan. Seolah masalah program tersebut adalah masalah Direksi BPJS Kesehatan semata. Seakan terlupakan bahwa fungsi perbendaharaan adalah memastikan arus lalu lintas keuangan bagi seluruh program negara.

Bukan hanya itu, bahkan Presiden pun sempat menyebut sebagai persoalan yang "kebangetan", bila urusan keterlambatan pembayaran klaim rumah sakit pun harus sampai kepadanya.

Aspek delegasi kerja memang perlu dilakukan, tetapi dalam konteks tanggung jawab simbolik, maka petinggi negeri harus memiliki sikap untuk menerima seluruh beban tugas yang terkait, dan tidak berlepas tangan.

Bila pejabat publik tampil dengan nada tinggi, bahkan untuk urusan hajat publik, tentu ada hal yang perlu dipertanyakan.

Apa yang menjadi kegusaran tersebut sehingga marah menjadi ekspresi yang mengemuka?

Bisa jadi hal itu adalah wujud dari kebuntuan untuk menghadirkan solusi, atau memang kas negara sangat terbatas. Lebih jauh lagi, secara substantif, marah untuk urusan publik bagi pejabat publik adalah bentuk dari ketidakpedulian itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun