Sejatinya isu defisit BPJS Kesehatan adalah cerita lama. Bak benang kusut yang seolah sulit dicari ujung pangkalnya. Sekali lagi, kajian atas defisit BPJS Kesehatan menempatkan relasi supply-demand, disesuaikan dengan aspek keekonomian.
Jika merujuk pada persoalan kalkulasi biaya, maka muara persoalan akan disandarkan atas format hitung aktuaria, yang berbasis ekonomi kesehatan.
Dengan begitu, penetapan nilai premi dibawah setting nilai aktuaria -underprice, jelas membutuhkan sebuah kebijakan terpadu yang harus dipersiapkan.
Kalkulasi aktuaria mencatat proyeksi atas komponen populasi, jenis dan pola penyakit serta tingkat prediksi kesakitan masyarakat. Ahli hitungnya ada di ranah bidang kesehatan kesehatan masyarakat.
Jadi, bila selama ini nilai premi BPJS Kesehatan masih jauh dari titik normalitas aktuaria, maka seharusnya sudah terbaca jauh-jauh hari persoalan defisit di tubuh BPJS Kesehatan.
Dengan cara pandang demikian, sesungguhnya defisit bukanlah sesuatu yang hadir hari-hari ini.
Lalu bagaimana mencermati usulan Menteri Keuangan untuk menambal kas defisit BPJS Kesehatan dengan kenaikan tarif premi Kelas 1 sebesar Rp 160 ribu, menyusul peningkatan iuran berbagai kelas layanan di bawahnya, termasuk bagi Penerima Bantuan Iuran -PBI.
Pernyataan Menteri Sri Mulyani, harus didekatkan pada mekanisme dasar kalkulasi aktuaria. Bisa jadi kurang, tetapi bisa juga lebih, mengingat perubahan pola penyakit publik.
Problemnya, apakah kenaikan premi tersebut, sudah disusun dengan perhitungan aktuaria yang sesuai? Perlu penjelasan lebih lanjut.
Kas Tekor BPJS Kesehatan
Dewasa ini, pertumbuhan penyakit degeneratif sebagai pola penyakit yang terjadi seiring dengan pertambahan usia menjadi kasus dominan. Lebih jauh lagi, jenis penyakit ini juga menghabiskan biaya pengobatan yang besar, dikategorikan sebagai penyakit katastropik.Â