GEMPAR! Penangkapan petinggi partai politik untuk kasus korupsi terjadi lagi. Meski bukan pertama kalinya, tetapi hal ini terjadi dalam konteks ruang serta waktu yang secara politik hanya sejengkal lagi menuju fase pemilihan di bilik suara.
Banyak pertanyaan yang kemudian dikaitkan, akankah kasus ini akan berdampak secara langsung kepada asosiasi kandidat yang diusung pada Pilpres? Atau pada tahap yang paling mendasar, bagaimana nasib partai politik ini menghadapi Pileg yang menjadi penentu masa depan organisasi tersebut?.
Diluar tanya tersebut, situasi pasca OTT KPK kali ini memberikan dua ilustrasi penting, yaitu; (a) pertukaran pengaruh yang didapat melalui kedekatan jarak dengan kekuasaan, lalu dipergunakan untuk memperoleh pundi-pundi kekayaan, dan (b) perlu dibangun mekanisme respon atas manajemen kondisi krisis partai politik bagi kejadian extra ordinary.
Tentu saja, apa yang kembali terjadi melalui penangkapan ketua partai politik kali ini, menjadi isyarat yang keras bagi perubahan dalam tata kelola partai.Â
Pepatah umumnya menyebut bahwa "power tends to corrupt" menggambarkan perlu adanya balancing power, termasuk membenahi sektor fundamental kepartaian di dalamnya.
Sebagian publik mungkin menyikapi bahwa kejadian ini bersifat kasuistik dan individual, sebagian lagi mengungkapkan keberhasilan pembuktian independensi KPK.Â
Sementara itu, bagi kubu yang bersaing dalam pentas politik nasional memandang secara berbeda, bagi kelompok petahana sebagai pihak yang terasosiasi pada ketua partai yang tertangkap, maka upaya KPK diapresiasi sekaligus mematahkan tuduhan soal tebang pilih.Â
Sedangkan, kubu oposisi menuding kasus ini sebagai representasi kegagalan dalam membersihkan kursi kekuasaan, dari perilaku buruk korupsi kelompok, yang ada disekeliling kekuasaan.
Mari kita uraikan secara perlahan.
Ujian Ketangguhan Elektabilitas
Partai dengan simbol yang merepresentasikan lambang keagamaan ini, memiliki sejarah panjang. Mampu bertahan pasca reformasi 98, bahkan kejadian ini bukan yang pertama kali bagi partai tersebut. Ini adalah ketua partai kedua dalam riwayat partai itu yang dicokok KPK.Â
Daya tahan partai masih terbilang bagus, bahkan dapat bertahan. Pada kontestasi 2014, partai ini ada dalam koalisi yang berbeda dengan hari-hari ini. Setelah kalah dalam.mengusung kandidat, angin berhembus kencang, kehilangan figur ketua partai dan faksionalisasi internal menguat.
Lantas partai terombang-ambing, dalam kepemimpinan dua nahkoda yang saling berseteru. Lalu mendekat pada kekuasaan, menjadi kelompok pendukung, serta mendapat kompensasi di kabinet pemerintahan. Hingga pada akhirnya merupakan partai pengusung petahana untuk kembali berkompetisi pada Pilpres kali ini.
Tidak hanya sebagai pelengkap pasif, tetapi sang ketua partai menjadi pemain kunci yang aktif. Pada waktu yang tidak lama menjelang pencoblosan, OTT KPK adalah isu yang berpotensi menggerus dukungan bagi paslon Pilpres, sekaligus bagi partai itu sendiri. Jelas bahwa konsolidasi koalisi akan terganggu.
Kegoncangan partai harus ditangani dengan seksama, cermat dan terukur, termasuk memastikan mata rantai basis terbawah tidak tercerai-berai, serta berkoordinasi dengan pihak koalisi untuk kembali menyelaraskan fungsi kerja kampanye yang memasuki tahap final. Turbulensi ini adalah bentuk ujian ketangguhan partai. Pada saat bersamaan menjadi sarana dalam menguji performa elektabilitas partai, koalisi dan paslon.
Membenahi Partai Politik
Mekanisme multipartai dalam sistem demokrasi kita adalah sebuah realitas. Pengalaman penerapan fusi partai merupakan pengalaman buruk dimasa lalu. Tetapi era multipartai tidak juga membawa kualitas demokrasi kita menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Perlu ada konsensus, melalui format multipartai terbatas, sehingga partai politik tidak seperti cendawan yang patah tumbuh hilang berganti sesuai musim. Selain itu pembiayaan politik dengan mengandalkan internal funding sebagai komitmen dalam berpolitik, perlu di audit publik secara terbuka pada aspek keuangan partai politik.
Tambahan subsidi negara atas partai politik masih mungkin dilakukan, dengan bentuk non tunai, berupa infrastruktur fasilitas kepartaian pusat dan daerah. Mungkinkah efektif mengeliminasi korupsi? Sangat tergantung dinamikanya. Terlebih politik saat ini bukan semata idealisme, tetapi sekaligus menjadi profesi yang berorientasi materi.Â
Politik sebagai mata pencaharian, adalah bentuk degradasi fungsi politik yang seharusnya mengelola kepentingan publik. Hal ini yang membuat jalur politik, dipergunakan dalam memperbesar akses bagi sumberdaya langka kehidupan bernegara, yaitu power and authority.Â
Ditingkat tataran praktis, kekayaan didapat melalui transaksi pengaruh atas kekuasaan yang dimiliki, dengan kepentingan bernilai ekonomis, baik bagi individu maupun partai politik, sekaligus menjadi modalitas bagi upaya memastikan keberlangsungan kekuasaan. Padahal, politik yang ditopang semata oleh kekuatan finansial, tidak akan bersifat permanen.
Atasi Kendala melalui Kendali
Bagi kepentingan partai politik, hal ini menjadi pembelajaran yang berharga, setidaknya pada dua level; (a) memperteguh komitmen integritas individu dalam organisasi, serta (b) memastikan berjalannya manajemen krisis sebagai mitigasi risiko atas bencana politik yang tidak terduga.Â
Hal ini penting, termasuk mengatasi kendala melalui upaya pengendalian yang terukur. Sikap yang over defensif atau bahkan terlalu reaktif jelas tidak akan menghadirkan simpati publik. Pilihan yang tersedia adalah bersikap jujur dan terbuka.
Pada tahap ini, rotasi pergantian posisi bisa tertangani dengan baik, maka yang harus segera dilakukan adalah menjalin komunikasi internal dan eksternal dari waktu ke waktu. Identifikasi psikologis organisasi tentu mengalami kegoncangan, sehingga perlu kerja stabilisasi dalam tempo yang singkat, pemilihan tokoh senior di dalam partai terbilang tepat, untuk mendapatkan efek ketokohan.
Tampuk kuasa internal partai yang telah berpindah, membutuhkan arahan baru, di bawah kendali pelaksana tugas. Mengingat tidak banyak waktu tersisa, maka konsentrasinya adalah memastikan tidak terpecahnya dukungan yang telah ada, karena sulit membayangkan kemungkinan untuk menarik simpati baru dalam termin yang pendek.
Keuntungan bagi Oposisi?
Sedikit banyak, efek penurunan elektoral paslon yang terasosiasi dengan tokoh politik yang tertangkap pada kasus korupsi, memberikan tambahan amunisi bagi pihak oposisi. Ingat bahwa dalam momentum krisis terdapat pula situasi peluang bagi pihak lain yang jeli melihat ruang kosong yang tidak terkelola.
Kasus OTT KPK menjadi tidak berdampak bagi para die hard kedua kubu, pemilih loyal dan tradisional. Kemungkinan mampu menggoyahkan posisi pemilih rasional. Tetapi harus dilihat seberapa kuat hal ini juga mempengaruhi undecided voters.Â
Apakah dengan blunder ini, justru semakin menambah kekecewaan publik dengan tidak mengambil bagian dari partisipasi politik alias golput. Ataukah kubu oposisi akan dapat menikmati situasi ini?. Jawabnya sangat bergantung pada kemampuan mengelola emosi ketidakpuasan publik.
Krisis menghadirkan fenomena ketidakpercayaan, distrust timbul dan kemudian mendekonstruksi perspektif positif publik dari periode politik kali ini. Dibutuhkan kelihaian kubu oposisi, dalam menjelaskan apa yang terjadi melalui kondisi ini, serta komitmen untuk tetap menjaga marwah koalisi dan partai, sekaligus mengajukan tawaran atas realitas politik yang terjadi, hal itu dapat menjadi sarana sekaligus instrumen menarik simpati.
Jangan sampai kubu oposisi hanya terjebak pada kerangka pembangunan aspek emosional semata, karena dalam posisi limbung koalisi petahana, maka kombinasi light jab, hook dan uppercut yang diarahkan terfokus, akan membantu merobohkannya!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H