Boom! Video pendek itu lantas viral. Tidak lebih dari 3 menit, rekaman tentang kegusaran pemilik sebuah rumah sakit swasta itu terkait dengan keterlambatan pembayaran klaim BPJS Kesehatan, senilai Rp10.7 miliar yang telah terjadi sekurangnya 3 bulan tersebut. Tentu nilai tersebut sangat berarti bagi keberlanjutan institusi swasta, yang hidup secara swadaya atas hasil usahanya sendiri.
Benar saja, tidak seberapa lama kemudian, surat tanggapan BPJS Kesehatan yang diedarkan melalui berbagai forum whatsapp group pun, seolah menjadi counter narasi atas viralitas video tersebut. Namun banyak yang hal yang perlu diluruskan, terutama dalam cara berpikir dengan menggunakan kacamata BPJS Kesehatan tersebut.
Tentu saja titik kritis yang paling awal dalam respon surat tanggapan tersebut adalah tentang bagaimana BPJS Kesehatan gagal memberikan kepastian bagi provider pemberi layanan kesehatan. Premis awal dalam tanggapan BPJS Kesehatan adalah bahwa mekanisme "bermitra dengan pihak rumah sakit bersifat sukarela, dengan kontrak kerjasama yang saling menguntungkan".
Pernyataan tersebut, jelas keliru baik dalam konteks dan konten. Pertama, video viral tersebut berbicara tentang keterlambatan alias tunggakan pembayaran klaim, yang kemudian direspon dengan persoalan kerangka hubungan kerjasama, tentu saja tidak terjadi relasi bersinambung. Kedua, jika kemudian merujuk premis BPJS Kesehatan soal kerjasama saling menguntungkan, mensyaratkan kondisi yang seimbang, sementara dalam fakta testimonial diketahui bahwa pihak rumah sakit diminta bersabar menunggu pembayaran klaim, terang saja itu bukan sebuah keuntungan.
Jika begitu, maka siapa yang untung dan diuntungkan? Benarkah saling menguntungkan? Hal itu mudah terjawab dengan melihat, siapa yang kemudian berposisi lebih superior dan mana pihak yang terlihat dalam posisi yang lemah dalam sebuah hubungan kerjasama.
Kita kemudian beranjak bicara tentang pilihan kata dalam penempatan pada sebuah kalimat, untuk dapat menemukan wacana -gagasan, dan hal yang menarik adalah tentang sifat sukarela, sebagaimana yang disebutkan BPJS Kesehatan. Seolah kemudian, rumah sakit swasta memiliki pilihan untuk tidak terlibat dalam pelayanan program BPJS Kesehatan. Sulit untuk memahami logika tersebut dengan acuan program kesehatan nasional yang mencanangkan BPJS Kesehatan akan terintegrasi secara menyeluruh dan meluas ditingkat nasional pada 2019.
Dengan komposisi kepesertaan yang sekitar 207 juta jiwa, atau sudah diatas 75% dari total penduduk, sulit membayangkan untuk tidak tergabung dalam skema pelayanan tersebut, terlebih BPJS Kesehatan akan bertindak seolah sebagai pembeli tunggal jasa layanan kesehatan, dalam wujud program nasional tersebut pada 2019.Â
Benarkah kata sukarela itu emberikan ruang pilihan? Mungkin bisa jika terjadi diberbagai kota besar, lalu bagaimana nasib rumah sakit swasta di daerah? Situasinya tidak ubah layaknya menelan simalakama.
Masih Soal Kelirumologi
Formula sederhana atas telaah surat tanggapan BPJS Kesehatan tersebut menegaskan seolah BPJS Kesehatan adalah pihak yang menguasai apa yang dianggapnya kebenaran, sementara itu tidak mencoba melihat realitas yang sesungguhnya dari sudut pandang yang berbeda.Â
Kelirumologi terjadi ketika merasa benar dan cenderung menutup celah evaluasi. Sikap defensif dari BPJS Kesehatan, semakin memperlihatkan kekeliruan dalam kerangka berpikir tersebut.