Perubahan terjadi dalam lanskap komunikasi antar manusia. Intermediasi perangkat teknologi menjadi dominan. Aspek kecepatan menjadi faktor penentu.
Dulu, frame berpikir dalam komunikasi bahwa informasi adalah sumber terpenting sebagai raja, kini menjadi kecepatan informasi merupakan penentu kekuasaan. Secara tidak langsung, abad digital mendemokratiskan panggung komunikasi.
Sekat-sekat sosial dalam dunia nyata, seolah menghilang tanpa batas otoritas. Pola komunikasi vertikal kemudian bergeser menjadi horisontal, bersifat interaktif.
Banyak disrupsi yang terjadi, memudahkan kita dalam banyak sisi kehidupan. Disamping hal-hal tersebut, ada pula dampak turunan yang turut hadir dari adopsi teknologi pada ranah komunikasi, tanpa kita sadari terjadi sebagai bentuk budaya baru.
Dunia maya menghadirkan ruang virtual, menjadikan panggung komunikasi menjadi lebih datar dan setara, tanpa terkecuali. Bersaman dengan itu, terjadi ketimpangan baru, ada etika yang hilang di jagad online.
Perlu waktu untuk sampai pada konsensus umum terkait etika, karena memang kita tengah berada pada fase adaptasi dunia digital, seiring dengan perkembangan teknologi melalui proses difusi.
Ketidakadilan Akses
Ruang demokratis jejaring internet, menurut Habermas disebut sebagai public sphere, adalah keterwujudan atas hadirnya tempat yang memungkinkan budaya komunikasi setara dan sebanding berlangsung secara dialogis.
Persoalannya, pada praktik ditingkat dunia, kemampuan negara-negara maju dan kaya, dibandingkan negara berkembang dan dunia ketiga belum memformulasikan keadilan.
Kemampuan akses internet dinegara maju meninggalkan dua kelompok negara lain, dengan demikian problem ketimpangan bukan lagi terletak pada akumulasi ilmu pengetahuan, melainkan pada persoalan kemampuan mengakses ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pada proses konsentrasi dan akumulasi kecepatan akses internet tersebut, dominasi dan hegemoni terjadi menimbulkan bentuk penindasan serta ketergantungan dalam format baru.
Ketidakmampuan bersaing, tidak dikontribusi oleh aspek internal, melainkan lebih disebabkan karena ketidakadilan dalam kemampuan akses informai melalui kecanggihan distribusi jaringan internet, khususnya bagi negara berkembang dan dunia ketiga.
Padahal, pada kedua kategori negara tersebut, memiliki modalitas kekayaan alam yang akhirnya harus diserahkan penguasaannya pada negara maju.
Kehilangan Identitas
Pada tinjauan aspek komunikasi digital yang dimoderasi melalui komputer atupun smartphone, individu semakin melesap kedalam wilayah kerumunan.
Skema komunikasi many to many, menyebabkan individu kemudian seolah tenggelam didalam kerumunan. Kehilangan identitas dan jati diri di dunia maya, terjadi karena sifat komunikasinya sekaligus dikarenakan terdapatnya ruang pilihan privacy.
Opsi untuk bersifat anonymous dimungkinkan dalam space virtual. Tidak hanya itu, kita dapat menyusun karakter semu -pseudo, menggunakan avatar yang kita pilih sesuai dengan kehendak dan pilihan citra yang hendak kita tampilkan kehadapan publik.
Meski masih adapula sebagian lainnya yang tampil sebagaimana identitas diri yang nampak serupa dengan apa yang ada didunia nyata.
Konstruksi identitas, juga akan muncul seiring dengan update upload seorang individu didunia maya. Meski sangat mungkin berbalik dengan kenyataan sebenarnya, tetapi dunia maya menghadirkan potensi untuk menjadi apapun, seperti apa yang kita bayangkan.
Ruang virtual, menjadi tempat bereksperimentasi dan bertindak seolah-olah, tidak ubahnya simulacra ala baudrillard yang fana sebagai upaya simulasi tanpa substansi hakikat. Kita kemudiwn tampil dalam hiperrealitas.
Memudarnya Komunitas
Kemudahan itu melenakan. Dan abad digital yang massif menghilangkan dasar ke eradaan manusia sebagai homo socious dalam makna sebenarnya, yang saling berkumpul dan membantu satu dengan yang lain.
Meski kondisi yang sedemikian dimungkinkan terjadi pada dunia maya, tetapi kolektifitas komunitas menjadi lebih berisat cair, distimulasi secara kasuistik melalui persetujuan atas sebuah isu.
Ketidakhadiran pemimpin dalam makna fisik, digantikan oleh para opinion leader yang memiliki kemampuan interpretasi sesuka hati. Tafsir yang keliru akibat simpang siur hoaks sangat mungkin terjadi, dan bagi gerombolan yang tanpa struktur maupun bentuk tersebut, tidak memerlukan nilai-nilai rigid dalam membangun komunitas maya, memang selayaknya alam gaib.
Pola ini, menjadi ambigu. Kita nampak ramai, bising dan selalu ribut didunia maya, tetapi justru kerap terlihat adem ayem dalam dunia yang sesungguhnya.
Algoritma teknologi menumpulkan naluri berkelompok secara makna harafiah.kita kerap sibuk dengan dunia sendiri bahkan ketikaberada didunia nyata, menjadi sangat sibuk didunia maya, namun sesungguhnya memiliki banyak waktu luang.
Kemunculan Cybersex
Seksualitas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari realitas keberadaan manusia,kemudian beralih dalam transformasi digital. Dibeberapa negara yang memberikan kebebasan industri pornografi, tentu hal ini menjadi sebuah hal yang terbilang biasa. Namun bagi beberapa negara yang memiliki standar etika dan moralitas tentu hal tersebut menjadi sebuah masalah baru.
Kemudahan akses informasi, tidak hanya terjadi pada hal-hal positif, melainkan juga pada faktor-faktor negatif. Bahaya terbesarnya justru terletak pada situasi setelah cybersex itu merebak, yakni human trafficking, sebuah bencana sekaligus degradasi nilai kemanusiaan atas nama industri seks dan kemudahan pada abad digital kali ini.
Kemudahan menjadi populer dengan mengumbar potensi syahwat jelas dangat dimungkinkan ketika protokol ketentuan terkait belum kuat melakukan pengaturan dan sensor.
Ada ruang yang sebaiknya dibatasi bagi kepentingan kemanusiaan itu sendiri. Dalam kerangka teori konspirasi peradaban, bukan tidak mungkin hal-hal demikian justru diabaikan, sebagai konstruksi kepentingan kuasa negara maju.
Kecenderungan Adiksi
Lembaga kesehatan dunia, menempatkan gangguan kesehatan yang diakibatkan gawai teknologi, secara kejiwaan ataupun fisik. Mulai dari dampak terhadap paparan sinar dan radiasi,hingga perubahan postur jari jemari, hingga ketegangan otot akibat memelototi gadget yang kita miliki.
Hal itu termasuk perasaan was-was karena kurang update, merasa fomo -fear of missing out. Kita justru merasa bersalah ketika kehilangan smartphone dibandingkan hal-hal lain dalam hidup kita.
Belum lagi terkait depresi yang terjadi sebagai akibat kita menjadi homo update yang always on. Bayangkan berapa banyak perceraian dan perselingkuhan terjadi akibat dunia digital?.
Adiksi gadget semakin menjadi sesuai dengan keterlekatan kita pada benda tersebut. Ketergantungan yang tidak terpisahkan itu, menyebabkan manusia seolah diperalat oleh perangkat yang diciptakan sebagai alat bantu pada awal keberadaannya.
Pertanyaan reflektifnya, kini siapa yang diperalat oleh siapa? Kita patut merenungkan situasi ini.
Meleburnya Frasa Bahasa
Keterhubungan dalam jejaring yang meluas, menembul batas wilayah teritori kedaulatan negra mengharuskan warga digital mengembangkan kemampuan berkomunikasi diantara mereka.
Netizen membangun konsensus bersama, merumuskan konsensus tata baku berbahasa. Interkoneksi teks, disusun ulang, tidak hanya kaidah berbahasa tulis tetapi juga melibatkan unsur ekspresi.
Kesepahaman emoji dan pola berkomunikasi tekstual, adalah bentuk baru dari relasi yang terjadi diantara para digital native. Sementara itu generasi sebelumnya yang menjadi digital migrant akan berupaya mengadaptasi perubahan tersebut.
Jika dahulu yang muda mengambil pelajaran dari kelompok senior, maka di era digital justru yang terjadi sebaliknya, kaum tua belajar dari pemuda.
Bahkan dalam kerangka makro, bukan tidak mungkin terjadi pelesapan atas keragaman bahasa, dikarenakan penggunaan bahasa tunggal secara monolitik dalam era masyarakat online.
Bahasa Inggris sebagaimana bahasa tutur internasional menjadi pemersatu, sementara itu perpanjangan bahasa masing-masing negara yang terkoneksi, menjadi aksesoir dari bahasa internasional yang dipergunakan.
Domestifikasi Gender
Problem yang agaknya mengulang posisi sebagaimana yang terjadi didunia nyata, adalah tentang ketertundukan gender. Subordinasi feminis dari dominasi maskulinitas pada persoalan penguasaan teknologi semakin mengukuhkan posisi pria. Bahkan sejak usia dini, domestifikasi terjadi, game komputer dan gadget menjadi realita keseharian anak lelaki dibanding anak perempuan.
Perjuangan emansipasi kelompok perempuan kemudian harus direkonstruksi ulang, meski demikian sesungguhnya pertukaran identitas kelamin didunia digital bukanlah batas bergaris hitam putih melainkan wilayah abu-abu yang dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan sang subjek indovidu itu sendiri. Namun demikian, representasi bahwa ruang digital itu beraroma maskulin tidak dapat ditolak.
Satu hal yang pasti pengelompokan kepentingan gender, dalam hal ini feminis perlu direformulasi kembali, termasuk menyusun agenda perjuangan kesetaraan dalam ruang maya.
Sekali lagi baik buruk kehadiran ruang digital, akan sangat bergantung pada cara pandang dan sudut pandang yang dipergunakan. Sehingga jadilah end user yang terhormat dengan penuh kesadaran mempergunakan media digital, di era online melalui abad internet ini, sebagai upaya mendorong pemahaman mendasar tentang hakikat diri, masyarakat dan terlebih kemerdekaan kemanusiaan itu sendiri.
Siapkah kita? Sebab dalam budaya baru kali ini, mengharuskan terdapatnya metode-metode baru guna memuliakan kehidupan kita bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI