Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Bailout" Setengah Hati BPJS Kesehatan

21 September 2018   05:58 Diperbarui: 21 September 2018   06:06 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Menyisakan ragu! Hasil keputusan akan nasib defisit program BPJS Kesehatan tahun ini final sudah. Injeksi 4.9T menjadi tambalan atas kondisi lesu darah BPJS Kesehatan. 

Tapi hal itu masih jauh panggang dari api. Estimasi kekurangan dana BPJS Kesehatan ditaksir mencapai sekitar 16.5T. Bila mengacu angka tersebut, maka masa depan BPJS Kesehatan menjadi semakin suram.

Penyelesaian ini menjadi sangat temporal, bersifat jangka pendek. Efeknya terjadi tunggakan diseluruh institusi rumah sakit, hingga kelangkaan obat. 

Padahal kasus seperti ini terus berulang setiap tahun, seolah kita tidak pernah belajar dari situasi serupa. Keputusan kali ini seolah menjadi bom waktu yang menunggu terpicunya hululedak persoalan meletus. Efek snowball -guliran masalah yang membesar akan terjadi.

Jika kemudian asumsi internal BPJS Kesehatan akan nilai defisitnya dikoreksi dengan menggunakan berbagai mekanisme bauran kebijakan, dan berkurang katakanlah hingga 5T sekalipun, maka nilai dana talangan yang ditambahkan ke dalam arus kas keuangan hanya mengcover kurang dari separuh nilai defisit yang akan terjadi. 

Kita juga belum mengetahui bagaimana dampak atas rancangan bauran kebijakan yang dibuat? Akankah efektif dalam melakukan reduksi defisit?.

Persoalan defisit sejatinya buah dari senjang jarak pendapatan dan belanja yang tidak seimbang, pokok persoalannya terletak pada awal muasal penetapan premi dan manfaat. 

Pada titik tersebut, penentuan nilai premi tidak dihitung melalui prosedur aktuaria, berdasarkan prinsip ekonomi yang melibatkan kalkulasi statistik kependudukan dan jumlah tingkat kesakitan. Disini petaka itu bermula.

Program yang "Sakit"

Sebut saja apa yang dialami oleh BPJS Kesehatan kali ini sebagai kondisi sakit, akibat lesu darah dan membutuhkan vitamin, bahkan bisa jadi perlu transfusi darah. Maka renungan reflektifnya adalah, mungkinkah kita percayakan urusan pengelolaan orang yang sakit pada program yang "sakit"?.

Jika ujung identifikasi persoalan telah dipahamkan, sebagaimana diatas, maka pengambil kebijakan harus mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi sebagai antisipasi.

Ketika nilai premi dipatok tanpa adopsi aktuaria, bahkan lebih rendah dari nilai keekonomian, maka situasi defisit adalah konsekuensi logis. 

Dengan demikian, pemerintah telah merubah ruang kesetimbangan ekonomi menjadi domain politik. Hal ini normal dan wajar saja, karena dalam politik persoalan kemaslahatan publik dan citra populis saling berdampingan. Tetapi hal itu akan menjadi problematika, jika dampaknya secara bersamaan tidak mampu diakseptasi.

Secara rasional dalam urutan logika, ketika pendapatan lebih besar dari alokasi belanja yang dilakukan, maka kita sudah harus bersiap membongkar celengan sebagai dana cadangan tambahan, jelas saja, karena memang kita belanja lebih banyak dari biasanya. Kini pemerintah dalam posisi yang sangat menentukan untuk menyikapi situasi defisit BPJS Kesehatan.

Sesungguhnya, saat kebijakan politik nan populis diterapkan, maka back up atas kebijakan itu hanya terletak pada komitmen dan political will pemerintah saja.

 Sebagai bukti sekaligus pertanda keseriusan memandang persoalan ini. Paradigma yang harus berubah adalah melihat akar kesehatan bukan sebagai biaya sosial, melainkan investasi sumberdaya manusia sekaligus hak perlindungan atas kehidupan warga negara.

Jika tidak, maka pemerintah harus legowo untuk memastikan jenis asuransi sosial BPJS Kesehatan mulai menerapkan kaidah aktuaria melalui rasio ekonomi.

Dengan jumlah cakupan kepesertaan yang besar, dan penyusunan strategi yang mumpuni, baik dalam wilayah pengelolaan serta pengaturan kewajiban dan manfaat layanan, lantas dilakukan secara profesional, agaknya nilai premi dan faedahnya akan lebih berdampak. 

Preminya tentu akan lebih rendah dari asuransi komersial, dan bisa dipergunakan oleh seluruh warga negara.

Perhatikan bahwa dengan kondisi keterlambatan pembayaran klaim rumah sakit dan hak dokter, maka ada bahagian dari publik juga yang mendapatkan ketidakadilan, diluar persoalan lain tentang imbal jasa layanan yang masih jauh dari nilai kewajaran. 

Tentu menyedihkan, tunggakan pencairan tagihan BPJS Kesehatan menyisakan kendala teknis, bisa jadi hingga penurunan kualitas layanan bagi pasien.

Rokok bagi Kesehatan

Salah satu langkah yang diajukan sebagai penutup kebocoran anggaran BPJS Kesehatan dengan mengambil sebagian hasil dari cukai rokok, ada paradoks disana. 

Masyarakat paham bahwa rokok dan merokok memiliki korelasi yang kuat dengan penurunan kondisi kesehatan. Lantas bila defisit BPJS Kesehatan diambil dari cukai rokok, maka para perokok sesungguhnya menjadi pahlawan bangsa.

Secara tidak langsung, kita hendak berkata, "merokoklah karena itu membantu program negara". Jelas kontraproduktif untuk melawan efek candu rokok dan dampak kesehatannya, yang jelas dikemudian hari akan mengambil kembali manfaat dari program BPJS Kesehatan itu sendiri karena sakit.

Selama ini, BPJS Kesehatan menyoal over utilisasilayanan penyakit berat katastropik -berbiaya besar, tetapi tidak melihat bahwa kondisi tersebut adalah realita dari apa yang ada dalam keseharian kita, termasuk soal merokok.

Bila kemudian tambahlan defisit kali ini diperoleh melalui shortcut cukai rokok, hendaknya pemerintah memastikan skematik alokasi tambahan dari alternatif lain, serta memberi bobot tambahan yang tinggi atas cukai rokok sebagai akibat dari dampaknya pada kondisi kesehatan publik, sehingga secara efektif dan bersamaan dapat mereduksi jumlah perokok aktif. Kebanyakan konglomerat kakap itu, ya pengusaha rokok dengan bisnis yang telah menggurita.

Kembali kepada masalah defisit BPJS Kesehatan dan bailout setengah hati kali ini, pemerintas harus memiliki kemauan yang sama kuatnya seperti mengapresiasi kesuksesan cakupan kepesertaan BPJS Kesehatan, yang sesuai Pidato Presiden pada HUT RI 73 yang telah meliputi 199 juta warga dengan target 2019 implementasi nasional.

Sesungguhnya sukses terbesar bukanlah sekedar jumlah peserta, tetapi tentang keberlanjutan program, yang didalamnya terdapat peran dan tanggungjawab pemerintah, termasuk soal tambalan defisit. Jangan lempar batu lantas sembunyi tangan!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun