Jumlah bus yang beroperasi pun melonjak lebih dari 30 kali lipat, hingga mencapai 1.600 bus pada Juli 2018 silam. Jam beroperasi bus pun menjadi 24 jam untuk 11 koridor pertama. Menariknya, harga tiketnya hanya terpaut seribu rupiah dari tiket 2004.
Jumlah penumpang pun semakin bertambah banyak setiap tahunnya. Pada 2004 silam, TransJakarta mencetak 15,9 juta penumpang dalam satu tahun. Jumlah ini meningkat lebih dari 10 kali lipat pada tahun 2018 menjadi 187,8 juta penumpang. Area jangkauannya pun mencapai 438,8 kilometer persegi, atau setara dengan 58 persen luas wilayah DKI Jakarta.
Bagi sebuah kota, BRT merupakan layanan transportasi publik yang strategis. Alasan pertama, layanan ini memiliki biaya pembangunan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan angkutan berbasis rel. Untuk nilai saat ini, biaya pembangunan BRT berkisar 10-50 miliar rupiah per kilometernya. Adapun angkutan berbasis rel menyedot dana hingga 10 kali lipatnya, atau sekitar 100-500 miliar rupiah per kilometernya.
Kedua, moda transportasi ini bisa terwujud dalam jangka waktu yang relatif singkat, yaitu kurang dari dua tahun sejak fase desain, persiapan, hingga tahapan pembangunan. Sedangkan LRT dan MRT mensyaratkan durasi waktu yang jauh lebih lama.Â
Alasan ketiga, BRT sanggup mengangkut cukup banyak penumpang dibandingkan moda transportasi darat berbasis jalan lainnya, seperti taksi dan angkutan kota. Daya angkut bus TransJakarta sendiri mencapai 42 orang untuk bus sedang, 82 orang untuk bus besar, serta 140 orang untuk bus gandeng.
Anehnya, kota-kota lain di Indonesia gagal untuk mengadaptasi konsep BRT. Bandung sendiri pernah meluncurkan konsep serupa untuk melayani penumpang sepanjang Jalan Soekarno-Hatta semasa Wali Kota Dada Rosada. Pada hari pertama peluncurannya, proyek ini gagal total dihadang demonstrasi supir angkot.
Wali Kota penggantinya pun tidak pernah mampu mewujudkan layanan serupa TransJakarta di Bandung. Padahal, puluhan halte bus banyak dibangun di berbagai sudut jalan besar di Kota Bandung. Ujung-ujungnya, halte-halte tersebut malah rusak tak karuan dan berbagai fasilitasnya hilang entah ke mana.
KRL, Zaman Kolonial hingga Era Millenial
Berbeda dengan TransJakarta yang baru menginjak usia remaja, menurut catatan Visual Interaktif Kompas (VIK), Kereta Rel Listrik (KRL) justru sudah ada sebelum Indonesia merdeka.Â
Kereta Rel Listrik sendiri pertama kali melayani publik Batavia pada tahun 1926. Kereta Api Bonbon, begitu publik mengenalnya, melayani masyarakat ibu kota hingga setengah abad lamanya.
Pengelolanya masih membiarkan para penumpangnya naik ke atas atap KRL Ekonomi. Para pedagang juga masih bebas berjualan di dalam gerbong kereta api dan wilayah peron di masing-masing stasiun.