Ketika menginjak Jakarta, saya selalu takjub ketika berada di dalam TransJakarta dan Kereta Rel Listrik. Pasalnya, di kedua moda transportasi publik tersebut, perilaku masyarakat Jakarta berubah 180 derajat.Â
Bila di luar sana, rakyat Jakarta dan sekitarnya kerap identik dengan kesemrawutan dan ketidakaturan. Di dalam moda transportasi publik termaju di tanah air tersebut, para penghuni ibu kota justru mampu berlaku tertib dan manusiawi.
Bila tak percaya, cobalah tengok bagaimana mereka mengantre satu per satu di pintu masuk, baik di TransJakarta maupun Kereta Rel Listrik. Mereka rela mengantre dan membentuk satu barisan panjang ke belakang serta menyediakan sedikit ruang untuk para penumpang yang turun. Pun mereka berusaha mendahulukan para penumpang berkategori prioritas: ibu hamil, pembawa anak, lansia, dan penyandang kebutuhan khusus.
Jangan coba-coba melawan "hukum alam" dalam kedua transportasi publik tersebut. Bila kita melanggar, para penumpang lainnya dengan ringan menegur kita tanpa tedeng aling-aling. Bila kita masih saja membandel, para petugas akan senang hati memperingatkan kita. Tidak sampai memaksa untuk turun, sih. Namun, mendapatkan peringatan para petugas saja sudah membuat diri ini ciut dan malu.
Barangkali, teguran dan peringatan tersebutlah yang membuat para penumpang TransJakarta dan KRL tetap menjaga sikap santun di dalam transportasi publik. Faktor lainnya, ini kesimpulan saya pribadi, alam bawah sadar para pengguna transportasi publik ini juga nyaman dengan keteraturan dan ketertiban di dalam kereta dan bus. Tampaknya, hal ini pula lah yang mendorong mereka untuk menjaga keteraturan dan ketertiban di dalam kedua moda transportasi publik tersebut.
Kondisi yang saya paparkan tersebut tidaklah ringan dan kilat. Para inisiator dan pengelolanya harus bekerja keras dan telaten agar mampu menjaga pelayanannya tetap prima. Pun durasi kerja kerasnya bukan hanya sehari-dua hari, tetapi sampai berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Dan karenanya, kini wajah ibu kota mulai membaik dan menyuguhkan secercah harapan bagi transportasi di Indonesia.
TransJakarta, Si Rapid Khas Ibu Kota
Berbicara tentang keteraturan di ibu kota, rasanya, kita perlu merujuk moda transportasi yang satu ini sebagai bahan perbincangan. Pasalnya, inisiatif untuk membangun moda transportasi yang manusiawi dengan keteraturan publik di dalamnya bermula dari TransJakarta.
Dalam paparan Litbang Kompas, layanan milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini pertama kali meluncur ke publik pada 1 Februari 2004 silam. Kala itu, TransJakarta baru melayani koridor Blok M-Stasiun Kota yang mondar-mandir mengangkut penumpang dengan menyusuri rute sejauh 12,9 kilometer setiap harinya.Â
Sebanyak 56 bus beroperasi dari jam lima pagi hingga jam 22 pada malam harinya. Harga tiket sebesar Rp 2.500 sekali jalan membuat bus merah-oranye dengan logo burung elang bondol tersebut laris dipadati penumpang.
Moda transportasi TransJakarta sendiri merupakan adaptasi dari Bus Rapid Transit (BRT). Konsep ini pertama kali berkembang di Kota Curitiba di Brasil pada tahun 1974. Terobosan lebih modern dengan sistem bus elektronik hadir di Quito 22 tahun setelahnya. Kemudian, konsep ini menular ke kota-kota lainnya di Amerika Latin. Pada awal milenium ketiga, demam BRT kemudian melanda Asia, termasuk Jakarta.
Lima belas tahun setelah meluncur ke publik, TransJakarta masif berkembang hingga memiliki 13 koridor dari 15 koridor yang direncanakan. Hari ini, TransJakarta memiliki 155 rute dengan 260 halte yang berjarak tempuh mencapai 251,2 kilometer, hampir 20 kali lipat panjang rute pada awal kemunculannya.Â
Jumlah bus yang beroperasi pun melonjak lebih dari 30 kali lipat, hingga mencapai 1.600 bus pada Juli 2018 silam. Jam beroperasi bus pun menjadi 24 jam untuk 11 koridor pertama. Menariknya, harga tiketnya hanya terpaut seribu rupiah dari tiket 2004.
Jumlah penumpang pun semakin bertambah banyak setiap tahunnya. Pada 2004 silam, TransJakarta mencetak 15,9 juta penumpang dalam satu tahun. Jumlah ini meningkat lebih dari 10 kali lipat pada tahun 2018 menjadi 187,8 juta penumpang. Area jangkauannya pun mencapai 438,8 kilometer persegi, atau setara dengan 58 persen luas wilayah DKI Jakarta.
Bagi sebuah kota, BRT merupakan layanan transportasi publik yang strategis. Alasan pertama, layanan ini memiliki biaya pembangunan yang jauh lebih murah dibandingkan dengan angkutan berbasis rel. Untuk nilai saat ini, biaya pembangunan BRT berkisar 10-50 miliar rupiah per kilometernya. Adapun angkutan berbasis rel menyedot dana hingga 10 kali lipatnya, atau sekitar 100-500 miliar rupiah per kilometernya.
Kedua, moda transportasi ini bisa terwujud dalam jangka waktu yang relatif singkat, yaitu kurang dari dua tahun sejak fase desain, persiapan, hingga tahapan pembangunan. Sedangkan LRT dan MRT mensyaratkan durasi waktu yang jauh lebih lama.Â
Alasan ketiga, BRT sanggup mengangkut cukup banyak penumpang dibandingkan moda transportasi darat berbasis jalan lainnya, seperti taksi dan angkutan kota. Daya angkut bus TransJakarta sendiri mencapai 42 orang untuk bus sedang, 82 orang untuk bus besar, serta 140 orang untuk bus gandeng.
Anehnya, kota-kota lain di Indonesia gagal untuk mengadaptasi konsep BRT. Bandung sendiri pernah meluncurkan konsep serupa untuk melayani penumpang sepanjang Jalan Soekarno-Hatta semasa Wali Kota Dada Rosada. Pada hari pertama peluncurannya, proyek ini gagal total dihadang demonstrasi supir angkot.
Wali Kota penggantinya pun tidak pernah mampu mewujudkan layanan serupa TransJakarta di Bandung. Padahal, puluhan halte bus banyak dibangun di berbagai sudut jalan besar di Kota Bandung. Ujung-ujungnya, halte-halte tersebut malah rusak tak karuan dan berbagai fasilitasnya hilang entah ke mana.
KRL, Zaman Kolonial hingga Era Millenial
Berbeda dengan TransJakarta yang baru menginjak usia remaja, menurut catatan Visual Interaktif Kompas (VIK), Kereta Rel Listrik (KRL) justru sudah ada sebelum Indonesia merdeka.Â
Kereta Rel Listrik sendiri pertama kali melayani publik Batavia pada tahun 1926. Kereta Api Bonbon, begitu publik mengenalnya, melayani masyarakat ibu kota hingga setengah abad lamanya.
Pengelolanya masih membiarkan para penumpangnya naik ke atas atap KRL Ekonomi. Para pedagang juga masih bebas berjualan di dalam gerbong kereta api dan wilayah peron di masing-masing stasiun.
Wajah KRL Jabodetabek sendiri mulai berubah seiring terbentuknya PT Commuter Jabodetabek (KCJ) pada 19 Mei 2009. Sesuai namanya, PT KAI memang mengkhususkan anak perusahaan ini untuk mengelola KRL yang terbentang hingga Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Perlahan tapi pasti, keberadaan PT KCJ mulai menuai hasil yang signifikan bagi kualitas layanan KRL di Jabodetabek.
Pada 2011, PT KCJ menerapkan pola single operation dan loop line operation. Pola single operation sendiri membuat seluruh jenis layanan KRL menjadi hanya satu layanan berjuluk KRL Commuter Line yang berhenti di setiap stasiun. Adapun pola loop-line operation menyederhanakan rute KRL sekaligus menerapkan sistem transit.
Selain membenahi operasi kereta api, PT KCJ juga mulai menertibkan pedagang liar dan kios-kios di area stasiun pada akhir 2012 hingga pertengahan 2013. Penertiban sendiri diselenggarakan secara bertahap di seluruh stasiun di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi.
PT KCJ juga berusaha untuk menertibkan para penumpang yang "hobi" bertengger di atap kereta. Caranya pun bermacam-macam: mulai dari menuangkan oli di atap kereta, memasang kawat berduri di atas peron, menyemprotkan cat berwarna, memasang bola besi penghalang, hingga memanggil pemuka agama dan memutar rekaman dakwah. Semuanya mereka lakukan untuk membersihkan atap kereta dari penumpang.
Langkah yang paling efektif, pengelola setiap stasiun menahan setiap kereta rel listrik yang masih terdapat penumpang di atap gerbongnya. Sontak, ancaman ini membuat para penumpang lainnya memaksa para penghuni atap gerbong kereta untuk turun. Hasilnya, seluruh penumpang mulai tertib berada di dalam gerbong, hingga hari ini.
Terobosan lainnya, PT KCJ mulai menerapkan sistem tiket elektronik pada pertengahan 2013 dengan menggantikan tiket kertas menjadi kartu elektronik. Pada pertengahan 2015, sistem ini mulai berkembang dengan menawarkan tiket dalam bentuk lain selain kartu, seperti: gelang, stiker, dan gantungan kunci.
Guna menekan angka antrean di loket, PT KCJ juga menyediakan vending machine di setiap stasiun. Mesin ini berfungsi untuk melayani pembelian tiket kereta rel listrik secara mandiri dan otomatis. Menariknya, mesin ini mampu bertransaksi tunai dengan menggunakan uang kertas. Hal ini semakin mempermudah penumpang yang tidak memiliki kartu AMT atau kartu kredit untuk bertransaksi membeli tiket elektronik kereta api rel listrik.
Setelah 8 tahun berdiri, PT KCJ kembali bertransformasi diri. Kali ini, mereka mengganti namanya menjadi PT KAI Commuter Indonesia, yang disingkat PT KCI. Tampaknya, penggantian nama ini seiring dengan harapan perusahaan untuk mengembangkan layanannya hingga ke wilayah Indonesia lainnya.
Lingkaran Kebaikan Transportasi Publik
Bagi saya pribadi, rasanya kita perlu berterima kasih kepada TransJakarta dan KAI Commuter Indonesia (KCI) atas wajah manusiawi transportasi publik di Jakarta. Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir ini, mereka sudah berusaha untuk membangun dan mempertahankan tradisi baik dan positif masyarakat ibu kota, minimal di dalam bus TransJakarta dan kereta rel listrik.
Dalam kacamata saya, tanggung jawab mereka bukan hanya sekedar mengantarkan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya. Lebih dari itu, mereka juga turut mengemban amanah untuk membangun peradaban masyarakat Jakarta.Â
Dari sudut pandang ini, baik TransJakarta maupun PT KCI tengah melakukan strategi kebudayaan guna membangun kebiasaan positif publik ibu kota: tertib, teratur, dan menghargai manusia.
Bercermin dari kesimpulan di atas, tidak heran bila negara-negara mapan di belahan dunia utara memiliki transportasi publik yang maju. Dalam hemat saya, moda transportasi publik yang baik turut mewujudkan masyarakat dengan kebiasaan yang baik. Pun, rakyat yang baik turut mendorong terwujudnya transportasi publik yang baik pula.
Seperti lingkaran sebab-akibat yang saling memengaruhi satu sama lain secara terus menerus, transportasi publik dan kualitas masyarakat pun menyiratkan hal yang sama. Keduanya saling memengaruhi dan saling dipengaruhi oleh satu sama lainnya. Lingkaran kebaikan seperti inilah yang diharapkan terjadi antara TransJakarta dan PT KCI dengan publik Jakarta.Â
Semoga... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H