Ketika mulai mengabdi di Mandalamekar setahun yang lalu, bu Pipit benar-benar terguncang mendapati kemampuan membaca siswanya yang masih setara anak-anak kelas satu sekolah dasar di perkotaan. Kala itu, dia baru saja mendapatkan kiriman 13 buku dari temannya di Jakarta.
Dengan segera, beliau memanggil siswanya yang masih berjumlah 13 orang. Ketika mulai membaca, para siswa masih harus mengeluarkan suara agar mampu memahami isi bacaannya. “Tidak bisa bila tidak bersuara, bu,” ungkap bu Pipit, menirukan jawaban siswanya kala itu.
Setelah satu halaman selesai, bu Pipit meminta siswanya membaca kembali dari halaman pertama. Kali ini, beliau mengingatkan mereka untuk membaca “dalam hati”. Dari ketiga belas siswanya, hanya satu orang yang masih harus mengeluarkan suara untuk membaca. Selain itu, mereka pun mengeluhkan beberapa kata yang mereka tidak pahami. Setelah diminta untuk menuliskannya, beberapa kata tersebut cukup umum bagi masyarakat perkotaan, seperti: menengok, souvenir, exit, dan mencecap.
Sepulangnya ke rumah, bu Pipit menangis usai mengetahui kondisi siswanya tersebut. Beliau begitu prihatin dengan rendahnya kemampuan membaca para siswanya yang merupakan lulusan SMP. Tantangan tersebut membuat tekadnya semakin bulat untuk mengabdi di Mandalamekar dan menghancurkan rantai kebodohan masyarakat, khususnya kaum muda.
Usai peristiwa tersebut, beliau langsung menghubungi kawan-kawannya yang tinggal di kota untuk mendonasikan buku-buku yang masih layak. Tak lupa, beliau juga meminta dikirimkan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai “amunisi” baginya mengajar di SMK Karya Putra Manggala, Mandalamekar.
Menurutnya, pangkal masalah tersebut adalah minimnya akses buku dan bacaan untuk para siswa di Mandalamekar. Bahkan, buku bacaan yang sangat lumrah untuk anak-anak perkotaan, sangat diminati di sini. Bu Pipit mencontohkan dengan buku kisah Aladin dan ensiklopedia “Mengapa Belalai Gajah Panjang?”. “Kedua buku itu sampai menjadi rebutan anak-anak di sini,” ungkap alumni SMA Negeri 2 Tasikmalaya angkatan 1990 ini.
Usaha bu Pipit untuk membangun budaya literasi di Mandalamekar tidak hanya sebatas kepada siswa-siswanya semata. Dia juga berusaha untuk membangun budaya literasi masyarakat Mandalamekar, dari anak-anak sampai orang dewasa. Caranya, melalui gerakan Pramuka Buku Hidup alias Prabuhi.
Gerakan ini dimotori langsung oleh siswa-siswa SMK Karya Putra Manggala. Setiap pekannya, mereka harus membacakan dan menceritakan buku-buku ke masyarakat Mandalamekar. Targetnya pun luas, mulai dari anak-anak kecil, remaja, orang dewasa, sampai orang tua dan kakek-nenek. Hasilnya, para siswa ini semakin senang membaca dan menceritakan buku ke orang-orang yang mereka temui. “Bahkan, anak-anak yang diceritakan buku merasa ketagihan dan ingin selalu diceritakan lagi,” cerita bu Pipit.
Kini, bu Pipit selalu berpesan untuk membawa buku bagi masyarakat Mandalamekar, khususnya siswa SMK Karya Putra Manggala. Pesan ini disampaikannya kepada teman-temannya yang notabenenya berada di perkotaan. Tak jarang, pesan ini juga disampaikan kepada para tamu yang berkunjung ke Mandalamekar. “Kalau ada buku bekas, kami menerimanya dengan senang hati,” tuturnya kepada saya.
Khusus kepada para tamu, bu Pipit juga selalu meminta mereka berbagi pengetahuannya kepada para siswanya. Seperti yang disampaikan kepada mahasiswa dari Badan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (BPSP3) Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tengah berkunjung ke Mandalamekar. Mereka diminta untuk berbagi pengetahuan tentang pesawat nirawak kepada para siswa. “Kegiatan berbagi ini diharapkan mampu membuka wawasan anak-anak desa Mandalamekar,” harap bu Pipit.
Prabuhi sendiri merupakan gerakan yang digagas oleh Pramuka Indonesia. Gerakan ini fokus untuk membangun budaya literasi di masyarakat. Caranya sendiri cukup mudah. Para anggota Pramuka yang tergabung dalam Prabuhi harus membacakan dan menceritakan buku kepada masyarakat dalam berbagai jenjang usia.