Kondisi ini ditenggarai oleh mahalnya biaya melanjutkan pendidikan ke bangku SMA bagi masyarakat Mandalamekar. Menurut penerima Seacology Award 2011 ini, biaya untuk mengenyam pendidikan jenjang SMA sama seperti biaya kuliah di perguruan tinggi. Para anak-anak muda ini harus ke luar dari Mandalamekar dan tinggal jauh dari rumahnya.
Tentunya, anak yang tinggal jauh dari rumah membuat orang tuanya harus mengeluarkan biaya tambahan untuk akomodasi dan konsumsi sehari-hari buah hatinya di perantauan. Belum lagi, tambahan biaya transportasi harian bila ternyata sang anak harus menaiki angkot untuk mencapai sekolahnya.
Oleh karena itu, kesempatan untuk mengecap pendidikan jenjang SMA ini hanya dapat dirasakan oleh sebagian kecil keluarga menengah ke atas desa Mandalamekar. Sedangkan sebagian besar sisanya, menurut kang Irman, hanya memiliki pendapatan 10-15 ribu Rupiah per hari. “Jangankan untuk sekolah (SMA) ke luar Mandalamekar, untuk makan mereka sehari-hari saja tidak cukup,” tandas kang Irman.
Guna mewujudkan tekad besar ini, kang Irman bersama pak Yana Noviadi, sang kakak sekaligus Kepala Desa Mandalamekar, beserta keluarga besarnya mendirikan Yayasan Umar Sanusi Afidin. Nama yayasan sendiri diambil dari nama ayah mereka.
Pak Umar sendiri merupakan putra asli Mandalamekar. Beliau kembali ke Mandalamekar pada era 1960-an untuk membangun desa tersebut. Sebelumnya, beliau bersama keluarga hijrah ke Jakarta setelah desa tersebut hangus dibakar oleh gerombolan Negara Islam Indonesia (NII) pimpinan Kartosuwiryo pada era 1950-an.
Meskipun begitu, niat pak Umar untuk mencerdaskan dan memajukan masyarakat desa Mandalamekar belum jua terwujud, hingga akhir hayatnya. Beruntung, visi beliau diteruskan oleh anak-anaknya yang kembali ke desa Mandalamekar setelah lama merantau di kota-kota besar, termasuk kang Irman dan pak Yana. Dalam bidang pendidikan, niat pak Umar terwujud dengan mulai beroperasinya SMK Karya Putra Manggala pada 2014 lalu.
Saat pertama kali berdiri, SMK ini memiliki 5 ruang kelas dengan 12 guru, termasuk bu Pipit. Meskipun berada di tengah hutan, tetapi justru jurusan yang tersedia adalah TKJ yang dikenal juga sebagai Teknik Komputer Jaringan.
Ditanya mengenai hal ini, kang Irman mengakui bahwa keputusan tersebut telah melalui proses dan diskusi yang sangat panjang. Awalnya, kang Irman dan para pengurus lainnya merencanakan untuk membuat SMK di bidang peternakan atau kehutanan. Naas, ketika dibuka pendaftaran, tidak ada satu pun lulusan SMP yang mendaftar. “Masyarakat menilai bahwa jurusan tersebut (kehutanan dan peternakan) tidak memiliki masa depan yang baik di era modern ini,” kisah kang Irman.
Atas respon masyarakat ini, kang Irman dan pihak yayasan pun akhirnya memilih jalan tengah. SMK Karya Putra Manggala kemudian membuka jurusan TKJ. Meskipun begitu, dalam kurikulumnya, para siswanya belajar untuk beternak, bertani, dan mengolah hasil hutan. Diharapkan, pada masa yang akan datang, para lulusannya mampu mengoptimalkan potensi Mandalamekar dan membuka jejaring yang lebih luas dengan memanfaatkan teknologi informasi.
***
Tak lama menunggu, akhirnya adzan maghrib pun tiba. Saya perlahan-lahan menikmati manisnya kolak pisang yang tersaji sembari mendengarkan cerita bu Pipit setahun terakhir ini di Mandalamekar. Sayangnya, kisah bu Pipit untuk mendobrak jurang kebodohan di Mandalamekar tidak semanis menu berbuka puasa kami sore itu.