Mohon tunggu...
Yudaningsih
Yudaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan dan Politik

Pemerhati bidang sosial budaya, pendidikan dan politik mengantarkan dirinya menjadi kolumnis media lokal dan nasional. Pernah mengenyam pendidikan di MTs-MA YTI Sukamerang Cibatu Garut, S1 PBA Tarbiyah IAIN SGD Bandung dan S2 Ikom Unpad. Mediator bersertifikat dari PMI MM UGM, Arbitrase Kanaka Yogyakarta juga legal drafting dari Jimly School of Law and Government Jakarta. Istri dari F.Saad dan Ibu 3 anak ini pernah mengemban amanat sebagai Dosen di beberapa PTS atl: STIKOM Bdg, Institut Manajemen Telkom, APIKES Bdg, STABA (Sekolah Tinggi Analis Bhakti Asih Bandung), Fikom Universitas Sangga Buana dan Telkom University. Pernah aktif di beberapa lembaga negara atl: 2010-2012 Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) Kec Cimenyan Kab Bdg; 2013-2018 Komisioner KPU Kab Bdg; 2019-2024 Komisioner Komisi Informasi Provinsi Jawa Barat. Ketua Persma Suaka IAIN SGD Bandung juga Presidium Forum Pers Mahasiswa (FPMB) Bandung 1997/1998 ini aktif juga di Dewan Pakar ICMI Orwil Jabar dan ICMI Kota Bandung, Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhamadiyah Jabar juga Majlis Pembinaan Kader Pimpinan Wilayah 'Aisyiyah Provinsi Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jejak Di Balik Pintu

21 Januari 2025   12:00 Diperbarui: 21 Januari 2025   18:01 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://arsitekdepok.com

Ruang rapat kantor lembaga negara itu dipenuhi bisik-bisik. Para staf sedang menunggu pengumuman resmi sembilan besar seleksi calon komisioner. Bu Yuni, sosok perempuan tangguh yang telah menjadi panutan banyak orang di kantor itu, duduk di pojok ruangan dengan ekspresi tenang. Namun, dalam hatinya, ia tak bisa membohongi diri. Ada kegugupan.

Ketika daftar nama diumumkan, suasana menjadi hening seketika. Nama Bu Yuni tidak ada di sana.

"Mustahil," bisik salah satu staf yang duduk di belakang.

Beberapa orang melirik Bu Yuni dengan penuh rasa simpati. Namun, seperti yang mereka duga, Bu Yuni hanya tersenyum kecil. Ia berdiri dan mengucapkan selamat kepada mereka yang berhasil lolos.

Namun, ketika Bu Yuni meninggalkan ruangan, langkahnya terasa berat. Di balik senyum itu, ia tidak bisa memungkiri rasa kecewa yang menggulung hatinya.

Tiga bulan sebelumnya, nama Bu Yuni menjadi pembicaraan hangat. Rekam jejaknya sebagai pemimpin yang tegas, jujur, dan penuh dedikasi membuat banyak pihak mendukung pencalonannya. Bahkan, beberapa kolega menyebutnya sebagai kandidat yang layak melanjutkan kembali berkhidmat di lembaga negara itu.

Namun, tidak semua orang menyukai kehadiran Bu Yuni. Ada desas-desus bahwa kandidat lain, yang didukung oleh seorang pejabat daerah, merasa terancam oleh idealisme dan popularitas Bu Yuni.

"Bu, saya dengar ada yang sengaja bermain di belakang layar," kata Zei, salah satu staf kepercayaan Bu Yuni, beberapa minggu sebelum pengumuman.

Bu Yuni hanya menggeleng. "Zei, kita tidak bisa mengontrol apa yang orang lain lakukan. Yang bisa kita lakukan adalah tetap bekerja dengan hati dan integritas. Selebihnya, biarkan Tuhan yang mengatur."

Zei menghela napas panjang " Rasanya berat ditinggal Ibu. Ibu lah yang selalu jadi alasan kenapa aku semangat kerja."

"Zei, kamu harus lebih percaya diri, ya. Jangan ragu menyuarakan ide-ide hebatmu. Kamu harus percaya bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan punya nilai besar jika dilakukan dengan sepenuh hati" Pesan Bu Yuni pada Zei.

Bu Yeni bukan sekedar atasan. Ia seperti sosok ibu kedua bagi Zei dan kawan-kawanya. Ramah, cerdas dan selalu siap mendengar. Saat Zei pertama kali bekerja di lembaga tersebut, ia sempat merasa minder. Tapi Bu Yuni, dengan sabar, membimbing dan mengajarinya.

"Setiap orang punya potensi, Zei. Yang penting, jangan takut untuk mencoba," kata Bu Yuni suatu waktu, saat Zei hampir menyerah pada sebuah proyek besar. Berkat dorongan tersebut, proyek tersebut sukses besar, dan Zei mulai percaya pada kemampuannya.

Malam setelah pengumuman, Bu Yuni duduk di rumahnya. Lampu meja kerjanya menyala redup, menerangi beberapa dokumen dan buku catatan yang telah ia persiapkan untuk seleksi.

"Apa aku kurang berusaha? Atau mungkin aku terlalu percaya diri?" pikirnya dalam diam.

Namun, pikiran itu segera ia tepis. Ia tahu, terus meratapi kegagalan hanya akan membuatnya terpuruk. Ia menutup buku catatannya dan berkata pada dirinya sendiri, "Ini bukan akhir. Ini adalah awal untuk sesuatu yang lebih baik."

Hari terakhir Bu Yuni di kantor itu menjadi momen yang penuh haru. Para staf berkumpul untuk mendengarkan kata-kata perpisahannya.

"Saya tahu, mungkin banyak dari kalian kecewa atas hasil seleksi ini. Jujur, saya juga sempat merasa demikian. Tapi, saya yakin, ini adalah skenario terbaik dari Tuhan," katanya dengan suara tegas namun lembut.

Ia melanjutkan, "Saya ingin kalian ingat satu hal: lembaga ini tidak bergantung pada satu orang saja. Kalian semua adalah bagian dari tim yang hebat. Tetaplah semangat, tetaplah kompak, dan jadilah pilar yang membuat lembaga ini lebih berwibawa dan berintegritas. Jadilah cahaya di tempatmu berada. Jangan ragu untuk terus belajar, melangkah dan berbagi"

"Terimaksih atas dukungannya selama ini. Saya akan kembali ke kampus setelah  tidak berkhidmat lagi di lembaga ini. Semoga kita semua terus melangkah maju. Sambutlah para komisoner yang baru, dukung mereka tuk sama-sama mengharumkan nama lembaga. Mereka terpilih karena mereka punya kompetensi yang mumpuni juga atas kehendak Ilahi," tegas Bu Yuni mengakhiri perpisahan.

Suasana ruangan menjadi hening. Beberapa staf menundukkan kepala, mencoba menahan air mata. Bu Yuni akan selalu terpatri meski fisiknya kini jauh. Dirinya telah meninggalkan jejak yang kuat bahwa kerja keras, kemandirian dan kepedulian adalah kunci untuk terus maju. Bu Yuni telah menanamkan sesuatu yang tidak akan pernah hilang: Inspirasi untuk terus melangkah, apapun yang terjadi. Menginspirasi mereka untuk bekerja sepenuh hati, menghargai satu sama lain, dan terus update diri dan upgrade diri."

Sebulan setelah meninggalkan kantor, Bu Yuni mulai menemukan ritmenya kembali. Ia kembali ke kampus, mengajar mahasiswa dengan semangat yang sama seperti dulu. Selain itu, ia mulai aktif menulis lagi, menyuarakan pemikirannya tentang integritas dan kepemimpinan. Tulisan bukan hanya karya, melainkan caranya menyalurkan perasaan dan pemikiran yang mendalam.

Sementara itu, di kantor lembaga negara, para staf masih sering menyebut nama Bu Yuni. Motivasi yang ia berikan menjadi api semangat bagi mereka untuk bekerja lebih baik.

Namun, di balik layar, rumor tentang permainan politik yang menjegal Bu Yuni perlahan terungkap. Beberapa pihak merasa malu, tapi Bu Yuni sudah tidak peduli. Baginya, yang terpenting adalah ia tetap berjalan di jalur yang benar.

Dan, seperti yang selalu ia yakini, ada banyak lahan pengabdian yang telah Tuhan siapkan untuknya.

Suatu pagi di kampus, Bu Yuni tengah bersiap mengajar. Ia sedang memeriksa bahan ajar ketika ponselnya bergetar. Pesan dari seorang kolega di lembaga negara muncul di layar:

"Bu, kami merindukan cara Ibu memimpin. Kantor terasa sepi. Banyak yang berubah sejak Ibu pergi, tapi tidak semuanya ke arah yang lebih baik."

Bu Yuni membaca pesan itu dengan perasaan campur aduk. Ia tersenyum kecil, tetapi rasa haru menyusup ke dalam hatinya. Ternyata, kehadirannya di lembaga itu masih membekas.

Namun, ia tahu dirinya tidak boleh larut dalam nostalgia. Ia sudah memutuskan untuk melangkah ke depan.

Beberapa hari kemudian, kabar mengejutkan datang dari lembaga negara. Seorang staf senior secara anonim mengungkapkan dalam sebuah forum online bahwa seleksi sembilan besar waktu itu tidak sepenuhnya berjalan adil. Ada intervensi dari pihak-pihak tertentu untuk menjegal beberapa kandidat yang dianggap terlalu berpotensi, termasuk Bu Yuni.

Kabar ini cepat menyebar dan menjadi bahan diskusi di media. Nama Bu Yuni kembali disebut-sebut sebagai salah satu korban dari permainan politik itu. Namun, ketika wartawan mencoba menghubunginya untuk dimintai komentar, ia dengan tegas menolak memberikan pernyataan.

"Biarkan kebenaran berbicara dengan sendirinya," ujar Bu Yuni kepada Nisa, salah satu mahasiswanya yang menanyakan kabar itu. "Saya tidak ingin membuang waktu membahas masa lalu. Lebih baik saya fokus pada apa yang bisa saya lakukan sekarang."

Suatu malam, ketika sedang menyiapkan materi kuliah, sebuah e mail masuk ke kotak masuknya. Pengirimnya anonim, tetapi isinya mengejutkan: 

"Bu Yuni, saya meminta maaf. Ada permainan yang tidak adil dalam seleksi itu. Saya tahu Ibu layak lolos, tapi beberapa orang takut idealisme Ibu akan menghalangi agenda mereka. Saya harap Ibu tetap semangat. Dunia masih membutuhkan orang seperti Ibu." 

Bu Yuni membaca e mail itu dengan tenang. Alih-alih marah atau merasa dendam, ia justru tersenyum. "Ternyata benar," gumamnya pelan. Tapi di hatinya, ia merasa tenang. Kebenaran, baginya, tidak selalu harus diumumkan atau dibuktikan. 

Ia menutup laptopnya dan mengambil buku catatan. Di halaman kosong, ia menulis: 

"Ketika pintu tertutup, itu bukan akhir. Tuhan selalu memiliki rencana yang lebih besar, yang mungkin belum bisa kita pahami sekarang. Saya belajar bahawa setiap pintu yang tertutup adalah jalan menuju pintu lain yang lebih besar. Kita tidak selalu tahu rencananya Tuhan, tetapi saya yakin, setiap langkah kita punya tujuan"  quotes of the day Bu Yuni di salah satu laman acount medsosnya.

Bu Yuni semakin aktif di dunia akademik dan literasi. Salah satu tulisannya tentang kepemimpinan perempuan menjadi viral, bahkan dibahas di beberapa seminar nasional. Banyak mahasiswa dan kolega yang mengagumi caranya mengolah kata, menyampaikan pesan tanpa menyudutkan, tetapi tetap penuh makna.

Suatu hari, ia mendapat undangan untuk berbicara di sebuah forum internasional tentang integritas dalam kepemimpinan. Undangan itu datang dari lembaga independen yang terinspirasi oleh kisahnya.

Di panggung forum itu, Bu Yuni berbicara dengan tenang namun penuh kekuatan. Ia tidak menyebut tentang kegagalannya di seleksi lembaga negara secara langsung, tetapi ia memberikan pesan yang kuat:

"Integritas adalah cermin diri. Tidak peduli apa yang orang lain lakukan terhadap kita, yang terpenting adalah bagaimana kita menjaga nilai-nilai itu tetap hidup dalam tindakan kita."

Sementara itu, di lembaga negara B, gejolak mulai muncul. Beberapa pejabat yang diduga terlibat dalam manipulasi seleksi mulai kehilangan kepercayaan dari publik. Salah satu kandidat yang berhasil masuk sembilan besar, yang didukung oleh pejabat daerah, akhirnya mundur setelah banyak pihak mempertanyakan kredibilitasnya.

Beberapa staf lama yang masih ingat cara Bu Yuni memimpin mulai membandingkan situasi saat ini dengan masa lalu. "Andai Bu Yuni yang ada di sini," gumam salah seorang staf.

Suatu pagi, saat mengajar di kelas, Bu Yuni mendapat telepon dari seorang kolega lama di lembaga negara. Mereka berbicara cukup lama, membahas perkembangan lembaga itu dan bagaimana semangat integritas yang ia tanam masih hidup di hati beberapa staf.

Setelah menutup telepon, Bu Yuni menatap jendela ruang kelas. Ia tidak merasa dendam atau menyesal. Sebaliknya, ia merasa lega karena apa yang telah ia mulai di lembaga itu masih diteruskan oleh orang-orang yang ia percayai.

"Bu, kenapa Ibu tidak kembali ke lembaga itu?" tanya salah satu mahasiswanya.

Bu Yuni tersenyum. "Karena saya percaya, Tuhan sudah menyiapkan jalan yang lebih baik untuk saya. Setiap tempat adalah lahan pengabdian, dan di sini, saya bisa mengabdi dengan cara lain."

Ia menutup kelas hari itu dengan pesan yang sama seperti yang ia sampaikan kepada stafnya dulu:

"Bukan di mana kita berada yang menentukan siapa kita, tetapi apa yang kita lakukan di mana pun kita berada."

Dan, seperti biasa, Bu Yuni melangkah maju dengan kepala tegak, meninggalkan jejak kebaikan di mana pun ia pergi.

Noted: Kisah hanya fiktif tidak ada di dunia nyata. 

Gegerkalong, 23 Januari 2025. 

Untuk kalian yang selalu di hati. Teruslah melangkah dengan penuh semangat dan sepenuh hati untuk mengabdi niatkan ibadah karena Iahi. Tunaikan kewajiban melebihi semestinya. Jangan ambil hak di luar semestinya. Trimakasih atas persahabatan dan persaudaraan yang telah terjalin. Semoga silaturahim terus terjaga sampai kapan pun jua,Amiin

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun