Tentara di Indonesia menganggap bahwa dirinya tidak dilahirkan melalui "rahim" pemerintah. Proses kelahiran tentara tidak dilakukan secara sistematis oleh pemerintah, melainkan lahir secara "spontan" dan "mandiri" dengan didorong oleh motivasi untuk memperjuangkan negara dan rakyat agar mampu bangkit dari penjajahan---serta pula karena keraguan dari pemimpin sipil untuk segara membentuk organisasi militer.
Oleh karena itu, tentara lebih merasa bahwa dirinya bertanggungjawab kepada negara dan rakyat, ketimbang kepada pemerintah dan politisi yang sedang memegang jabatan.
Proses kelahiran tentara tersebut membawa konsekuensi untuk kedepannya. Pertama, tentara merasa bahwa dirinya otonom. Karena tidak dilahirkan oleh pemerintah, rezim politik, maupun kekuatan politik tertentu, maka tentara merasa tidak memiliki "beban", "keterikatan", dan "tanggung jawab" terhadap pihak-pihak tersebut. Beban, keterikatan, dan tanggung jawab mereka ditandaskan kepada negara dan rakyat, tempat asal mereka lahir. Akibatnya, mereka relatif otonom serta bebas dalam menentukan nasib mereka sendiri.
Kedua, munculnya perasaan self created yang menciptakan suatu persepsi diri bagi tentara bahwa mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan golongan sipil. Persepsi ini muncul akibat kelahiran tentara yang cenderung "mandiri" dan tak dibidani oleh pemerintah sipil, melainkan berasal dari rahim masyarakat sipil. Oleh karena itu, tentara memiliki anggapan bahwa semua yang menjadi hak sipil, juga merupakan hak tentara, termasuk dalam politik. Persepsi inilah yang kemudian juga menjadi justifikasi bagi eksistensi sistem Dwifungsi ABRI kelak.
Dalam perjalanannya, terdapat satu peristiwa yang dapat menjadi contoh bagaimana otonomi tingkat tinggi dari tentara berjalan. Peristiwa tersebut dapat ditunjukkan melalui penunjukkan Panglima Besar Sudirman menjadi Panglima TKR. Otonomi tentara dalam hal ini dapat ditunjukkan melalui fakta bahwa Panglima Besar Sudirman dipilih oleh para Panglima Divisi dan Komandan Resimen TKR sendiri. Bukan oleh pemerintah sipil berkuasa.
Sebenarnya, sebelum Panglima Besar Sudirman dipilih sendiri oleh para bawahannya, pemerintah telah menunjuk Shodanco Supriyadi menjadi Panglima TKR. Tetapi sebenarnya, setelah memimpin pemberontakan PETA di Blitar, Shodanco Supriyadi tidak diketahui keberadaannya, bahkan hingga saat ini, keberadaannya tetap tidak jelas.
Oleh tentara, kebijakan pemerintah yang tetap menunjuk Shodanco Supriyadi yang tak diketahui keberadaannya ini dinilai tidak mengandung arti keseriusan. Padahal di sisi lain, tentara membutuhkan suatu komando dari panglimanya. Maka dari itu, pada akhirnya tentara memilih sendiri panglima mereka.
Dalam perjalanannya, Panglima Besar Sudirman banyak memberikan pedoman bagi tentara. Pedoman yang diberi tersebut banyak menyinggung tentang idealisme perjuangan, prinsip ketentaraan, sikap, serta perilaku prajurit.
Salah satu amanat Panglima Besar Sudirman yang masih dijunjung tinggi hingga kini, dan telah menjadi suatu original intent bagi TNI adalah mengenai "haluan politik" tentara, yaitu politik negara.
Penggunaan diksi "negara" menjadi begitu amat penting ketimbang menggunakan diksi "pemerintah". Hal ini digunakan untuk secara jelas membedakan orientasi politik tentara dan politik golongan sipil. Bahwa siapapun yang menjadi seorang penguasa, tentara hanya akan setia dan mengabdi terhadap negara. Bukan terhadap pribadi seorang penguasa pemerintahan, partai, atau golongan tertentu.
Amanat Panglima Besar Sudirman tersebut menegaskan jati diri tentara sebagai alat negara, bukan merupakan suatu alat kekuasaan semata. Mengkooptasi tentara sebagai suatu alat kekuasaan sesungguhnya tidak hanya bertentangan dengan amanat Panglima Besar Sudirman, namun juga menurunkan wibawa dan harga diri tentara. Tentara dibentuk untuk memperjuangan negara dan rakyat, yang tentu sifanya objektif. Bukan secara subjektif membela kekuasaan suatu pihak di satu sisi.