Nama Bung Karno (1921-1970) menempati posisi yang istimewa pada konstelasi politik hingga sejarah Indonesia. Bahkan lebih dari itu, kebesaran dan reputasinya juga layak disandingkan dengan tokoh-tokoh penting dunia sepanjang masa.Â
Penempatan tersebut tentu bukan sekadar omong kosong dan klaim semata. Hal tersebut dapat kita lihat dari banyaknya nama situs di dunia yang menggunakan identitas Bung Karno. Di Mesir misalnya, nama Bung Karno diabadikan sebagai suatu nama jalan.Â
Di Kuba, nama dan foto Bung Karno diabadikan sebagai perangko resmi negara yang diluncurkan untuk memperingati ulang tahun ke-80 Presiden Fidel Castro. Nama Bung Karno bahkan juga diabadikan sebagai sebuah nama pohon di Arab Saudi.Â
Tanpa mengerdilkan peranan para tokoh lain yang telah ikut berjuang dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno tentu merupakan seorang pemimpin dan pemikir politik progresif yang sangat prominen. Bung Karno merupakan sosok yang amat dikenal luas dan dikagumi oleh masyarakat Indonesia.Â
Bung Karno di IndonesiaÂ
Saya sendiri mengenal Bung Karno melalui rentetan buku dan pemikirannya. First impression saya terhadap Bung Karno dibentuk melalui kesan yang muncul dari hasil pembacaan terhadap buku miliknya yang berjudul Indonesia Menggugat---buku pertama milik Bung Karno yang saya baca.Â
Sulit bagi saya untuk tidak menanggalkan kesan pemberani, gahar, dan patriotik terhadap Bung Karno setelah membaca buku tersebut.Â
Bagaimana tidak, buku yang sejatinya diangkat dari pidato pledoi Bung Karno ketika diadili di Pengadilan (landraad) Bandung tersebut menyuratkan banyak pertentangan tanpa kompromi dari Bung Karno terhadap perilaku kolonialisme dan imperialisme Belanda yang menyengsarakan masyarakat Indonesia.
 Terlebih lagi, pledoi tersebut disampaikan olehnya di hadapan muka hakim kolonial.Â
Bung Karno muda kala itu belum genap berusia 30 tahun, namun pidatonya dengan mengutip banyak pendapat ahli dan profesor kenamaan mampu menciptakan suatu dalil ilmiah mengapa ia tidak seharusnya bersalah.Â
Bung Karno juga membongkar bagaimana cara Belanda menyengsarakan masyarakat Indonesia melalui operasi kapitalisme pertanian yang mereka bangun. Bahkan lebih jauh lagi, pidato tersebut juga menyuratkan keyakinannya atas kemerdekaan bangsa.Â
Pada esensi dari pidato Indonesia Menggugat-nya, Bung Karno meletakkan keyakinan bahwa kemerdekaan haruslah diakui sebagai hak segala bangsa, yang tidak satupun bangsa lain dapat merampas hak itu.Â
Keyakinan atas kemerdekaan bangsa tersebut menjadi salah satu legacy yang selalu ditampilkan oleh Bung Karno melalui beragam karyanya. Melalui keyakinan tersebut pula, Bung Karno menunjukkan progresivitas atas pemikirannya pada masa itu. Politik anti-kolonialisme dan imperialisme yang dibalut melalui keyakinan atas hak kemerdekaan tiap bangsa memang menjadi salah satu basis utama dan ciri khas dari pemikiran Bung Karno.Â
Pemikiran dan paradigma Bung Karno terbentuk atas persepsi dan tanggapannya terhadap situasi bangsa Indonesia kala itu yang diselimuti penjajahan oleh negara kolonialis dan imperialis. Maka dari itu, pemikirannya diorientasikan terhadap bagaimana Indonesia harus keluar dari jeratan penjajahan tersebut.Â
Oleh karenanya, selain berdiri di atas politik anti-kolonialisme dan imperialisme, pemikiran dan tindakan Bung Karno juga didasari oleh politik sosialisme, suatu paham politik yang dapat didefinisikan sebagai bentuk perlawanan dari politik kolonialisme dan imperialisme.Â
Implementasi pemikiran politik sosialisme Bung Karno salah satunya tercermin melalui keberadaan paham marhaenisme. Marhaenisme adalah suatu pemikiran politik otentik dari Bung Karno yang muncul pasca ia melakukan serangkaian kontemplasi di umur 20 tahun.Â
Dalam merumuskan paham marhaenisme tersebut, Bung Karno merefleksikan antara nilai-nilai sosialisme dengan status quo bangsa Indonesia. Alhasil, marhaenisme kerap disebut sebagai "sosialisme ala Indonesia".Â
Pada tataran substansial, marhaenisme juga disebut sebagai "bibit" atau "embrio" dari Pancasila. Pasalnya, apabila marhaenisme itu dibedah, maka kita akan menemukan poin-poin yang juga mendasari berdirinya Pancasila.Â
Memang, salah satu yang menjadi kelebihan dari Bung Karno adalah kepiawaiannya dalam mengkonfigurasi dan merelevansikan antara satu pemikirannya dengan pemikirannya yang lain, antara satu zaman dengan zaman yang lain.Â
Kepiawaian tersebut dapat kita lihat dari keterkaitan antara nilai-nilai pada Pancasila, Trisila, hingga Ekasila. Ketiganya merupakan perasan dari esensi pemikiran yang sama. Bahkan, esensi dari ketiganya juga masih relevan bagi kehidupan masyarakat Indonesia pada saat ini. Inilah yang saya maksud dengan progresivitas pemikiran Bung Karno.Â
Saya percaya, semakin tinggi suatu pohon, maka akan semakin besar angin yang menimpanya. Besaran angin tersebut mampu menggoyahkan pohon itu, merontokkan ranting-rantingnya, bahkan hingga merobohkan dan mencabut inti akarnya.Â
Begitu pula yang terjadi kepada Bung Karno. Eksistensi dan peranannya sebagai salah satu Bapak Pendiri Bangsa tetap tidak mampu menampik munculnya berbagai ketidaksukaan terhadap dirinya.Â
Kesan ketidaksukaan terhadap Bung Karno muncul dari berbagai tindakan yang sifatnya berupaya untuk mendegradasi peran dan citranya. Upaya tersebut secara populer dinamai dengan de-sukarnoisasi.
Apabila dirunut, serangan terhadap Bung Karno sejatinya sudah muncul sejak era peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Kala itu, Jenderal Suharto---penguasa Orde Baru, memiliki kepentingan untuk mengkonsolidasikan kekuasaannya.Â
Tetapi di sisi lain, ia merasa bahwa konsolidasi kekuasaan tersebut tidak akan berjalan maksimal apabila pengaruh dan pengkultusan terhadap Bung Karno masih berjalan dengan kuat. Oleh karenanya, dilakukanlah upaya de-sukarnoisasi tersebut. Â
Namun sialnya, kebijakan de-sukarnoisasi Orde Baru menjadi suatu warisan yang tak lekang oleh zaman. Pada era ini, masih banyak upaya untuk menghacurkan karakter Bung Karno. Sebagian, merupakan upaya yang dahulu pernah diluncurkan pada era Orde Baru, dan kenyataannya, masih eksis hingga saat ini.Â
Setidaknya terdapat beberapa upaya de-sukarnoisasi yang pernah eksis: pertama, adanya upaya untuk menghapus nama Bung Karno sebagai "penggali" dari Pancasila, kedua, memvonis secara serampangan posisi dan sikap Bung Karno pada peristiwa Gestapu, dan ketiga, memvonis Bung Karno sebagai bagian dari penganut ajaran komunisme.Â
Saya tertarik untuk mengulas mengenai poin ketiga dari upaya de-sukarnoisasi di atas. Ketertarikan saya didasari oleh alasan bahwa poin ketiga tersebut lah, yang menurut saya, masih paling lestari.Â
Munculnya upaya de-sukarnoisasi pada poin tersebut menurut saya terjadi karena dua hal: pertama, merupakan kelanjutan dari vonis serampangan terhadap posisi dan sikap Bung Karno pada peristiwa Gestapu, dan kedua, adalah terkait dengan orientasi pemikiran "kiri" Bung Karno.Â
Apabila direfleksikan melalui peristiwa yang baru-baru saja terjadi, kita bisa melihatnya melalui fenomena pengajuan RUU HIP di tahun 2020 lalu. Melalui pengajuan RUU HIP tersebut, muncul suatu kemungkinan bagi DPR untuk mengubah dasar negara Pancasila, yang wacananya, akan menjadi Trisila atau Ekasila.Â
Namun bukan isu peralihan tersebut yang ingin saya bahas. Dalam kasus ini, saya memiliki posisi dan pendapat yang sama dengan warga negara lainnya: Pancasila sudah final.Â
Bagi saya ada hal yang lebih menarik untuk di bahas. Hal tersebut merupakan residu dari pembahasan utama yang sebenarnya sifatnya out of topic. Melalui perdebatan tersebut, muncul suatu upaya de-sukarnoisasi melalui bentuk stigmatisasi komunis terhadap Bung Karno.Â
Munculnya tanggapan dan respon tersebut bagi saya merupakan suatu gagal paham dan ketidaktahuan mereka tentang esensi dan keterkaitan antara Pancasila, Trisila, dan Ekasila. Mereka meyakini, Trisila dan Ekasila merupakan cerminan dari ajaran komunisme.Â
Bukankah Bung Karno telah mengatakan bahwa ketiga azas tersebut merupakan perasan antar satu dan yang lainnya? Tidakkah mereka mencoba untuk mengasah kedalaman literasi mereka terkait hal itu?Â
Memang, baik Pancasila, Trisila, hingga Ekasila sangat identik dengan pemikiran kiri. Begitu pula dengan Bung Karno sebagai perumusnya, ia bahkan mengakui bahwa dirinya adalah seorang sosialis. Kepercayaan Bung Karno terhadap sosialisme memang nampak bukan suatu masalah yang besar.Â
Namun masalahnya, di Indonesia, muncul anggapan yang memukul rata orang penganut sosialisme juga merupakan penganut komunisme. Sedangkan, ajaran komunisme merupakan hal yang amat dilarang keras di Indonesia. Padahal, terdapat garis batas yang tegas antar keduanya.Â
Adanya generalisasi tersebut juga muncul ketika era Orde Baru berkuasa. Mereka memanfaatkan momentum tersebut untuk semakin menjerumuskan masyarakat yang tidak tahu-menahu ke jurang de-sukarnoisasi yang lebih dalam.
Upaya de-sukarnoisasi tidak akan menjadi suatu masalah yang besar apabila pihak yang menerima informasi tersebut merupakan orang yang telah terlatih pada konteks ini. Namun akan menjadi suatu masalah apabila informasi tersebut mendarat di telinga yang apatis. Sehingga yang dikhawatirkan bahwa informasi tersebut akan dianggap sebagai cerita sejarah yang benar.Â
Bung Karno di Bulan JuniÂ
Di Indonesia, bulan Juni dapat dikatakan sebagai bulan yang spesial. Pada bulan ini, empat pemimpin Indonesia, lahir. Maka dari itu, bulan Juni kerap disebut sebagai bulan kelahiran pemimpin Indonesia. Termasuk, Bung Karno.Â
Pada bulan Juni ini, Bung Karno lahir. Pada bulan Juni ini pula, Bung Karno meninggal. Bung Karno juga pertama kali menyampaikan konsepsi dasar negara---kelak disebut Pancasila---pada sidang BPUPKI di bulan Juni.Â
Senyampang dengan hal-hal tersebut, banyak kelompok masyarakat di Indonesia yang menjadikan bulan Juni sebagai momentum untuk berkontemplasi terhadap eksistensi Bung Karno. Mulai dari dinamika kehidupannya, hingga yang paling utama, adalah terhadap pemikiran-pemikirannya.Â
Momentum di bulan Juni ini kerap digunakan oleh orang-orang yang memiliki "kedekatan" terhadap Bung Karno untuk melakukan serangkaian upaya sukarnoisasi. Apabila de-sukarnoisasi dimaknai sebagai upaya pendegredasian Bung Karno dari masyarakat Indonesia, maka sukarnoisasi adalah sebaliknya.
Sukarnoisasi merupakan tindakan untuk mengingat dan mencitrakan ulang secara positif Bung Karno sebagaimana semestinya kisah sejarahnya berjalan.Â
Pada bulan ini, banyak orang yang merenungkan, memikirkan, dan meletakkan kembali Bung Karno dalam gelanggang sejarah yang sepantasnya diterima dalam sejarah bangsa.Â
Pada bulan Juni inilah, aroma harum Bung Karno menyeruak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H