Nuraeni Antara Penjara Kebon Waru dan Jatuh Cintanya Hendra Gunawan
Kleung dengklek buah kopi rarang geuyan
Keun anu dewek ulah pati diheureuyan
Cing cangkeling manuk cingkleung cindeten
Plos kakolong bapak satar buleneng.....
Sang mayoret yang semula diam, tiba-tiba sambil tersenyum mengerdipkan matanya. Sebuah kode isyarat bahwa penampilan drumbandnya dimulai.
Cing Cangkeling yang biasanya dilagukan pada waktu bermain ucing-ucingan atau petak umpet, digubah menjadi alunan nada-nada yang dimaikan pada marching bell. Tak ketinggalan snare, tenor, dan bass drum serta terompet bersaut-sautan mengikuti instruksi sang mayoret. Pecahlah suasana di stadion Senayan Jakarta kala itu.
Tepuk tangan dan riuhnya teriakan-teriakan semakin membakar isi stadion. Bung Karno yang sejak awal takjub menyaksikan parade drumband asal Bandung ini seketika menaruh kesan mendalam, terutama pada sang mayoret. Dialah Nuraeni, gadis Bandung yang berperan sebagai field commander dan mayoret. Nuraeni yang waktu itu juga turut memimpin dalam mengiringi lagu Indonesia Raya, sangat mustahil untuk tidak disapa Bung Karno. Maka, benarlah adanya, Bung Karno turun menyapa Nuraeni dan pasukannya.
Siapapun pasti akan terpesona pada Nuraeni. Mayoret berkulit sawo matang gelap itu semakin terlihat eksotis dengan baju mayoretnya yang berwarna ungu, putih dan bertabur merah. Gerakan Nuraeni sangat lincah dan cekatan, ia mampu melempar tongkat ke atas sejauh delapan meter, serta melakukan manuver dengan beragam gerak koreografi hasil ciptaannya sendiri.
Nuraeni memang terlatih, dan juga pelatih di group marching band Pemuda Rakyat Bandung. Karena sangat terlatihnya, ia bisa mengenali kesalahan anggota groupnya bila tidak tepat memukul instrument drumbandnya atau tidak sesuai dengan notasinya.
Nuraeni begitu penuh semangat bila sedang latihan maupun tampil dalam parade. Meski banyak menyita tenaga dan pikiran, ia tidak pernah mengeluh sedikitpun. Pada curahan jiwa seni yang totalitas itulah ia percaya talentanya bisa ditunjukkan. Nuraeni memang bukan terpelajar layaknya sebagian anggota drumbandnya. Dirinya hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas 3 di SMP10 Bandung, tapi mampu membuktikan tidak ada halangan dalam menunjukkan jati dirinya.
Apakah yang bisa dibanggakan dari gadis yang menggantungkan harapannya pada jalan kesenian ini?. Melihat kemampuan dan kekuatan hatinya, seakan tidak ada sesuatu yang tidak mungkin. Kecuali musibah atau bencana yang membawanya menjadi tahanan politik di penjara Kebon Waru Bandung.
Nuraeni tidak menyangka sama sekali bahwa jalan keseniannya harus sirna. Ia mulai menjalani hari-harinya dengan menghirup udara dalam terali besi. Ia hanya pasrah menjalani kisah nestapa dalam penjara.
Di penjara Kebon Waru Nuraeni sering murung dan melamun. Beruntung teman sesama tahanan ada yang menghibur dan memberikan kegiatan. Nuraeni mulai mau ikut menganyam kulit bambu. Dari kebersamaan sesama tahanan yang saling mengisi kegembiraan, perlahan-lahan ia menemukan jalan pulang untuk kembali menembang.Â
Nuraeni sudah tidak sedih lagi, ketika ia menembang seakan bisa melupakan penderitaan hidup sebagai tahanan. Penderitaan yang semula menempel pada pikiran dan jiwanya, seolah terbang bersama alunan demi alunan tembangnya.
***
Waktu seakan tahu Nuraeni harus kemana. Kesendirian serasa sirna tiba-tiba. Sejak ada seorang tahanan suruhan orang yang memiliki pengaruh besar di penjara Kebon Waru menemuinya. Ia mulai merasa hidupnya ada yang memperhatikan. Oleh orang itu Nuraeni dibujuk untuk datang ke ruang dimana ia bekerja, dan menghabiskan hari-harinya untuk melukis. Nuraeni dibujuk untuk belajar melukis, namun bujukan itu seketika ditolaknya. Bagi Nuraeni menolak adalah sikap jujurnya, bahwa memang dirinya tidak mampu. Itulah jiwa Nuraeni yang memiliki prinsip tetap menjunjung kebenaran.
Sebagaimana setiap kejadian harus direnungkan, Nuraeni mencoba ingin mengenal lebih dekat sosok orang yang mengajaknya, dan orang itu ternyata memang telah ia kenal dan kagumi semasa di Pemuda Rakyat. Orang itu adalah Hendra Gunawan.
Pertemuan kembali dengan Hendra Gunawan seolah membangunkan jiwa seninya yang telah redup. Bagai menyusuri semak-semak berduri, pertemuan itu seakan mengubah dirinya menjadi taman bunga yang siap berbagi keharuman karena baunya. Jiwa yang kaku pada sikap kuat seketika menjadi rebah. Sikap Nuraeni telah meringankan pikiran Hendra Gunawan yang menaruh perhatian sejak awal tiba di penjara Kebon Waru.
Jeruji besi penjara yang halus karena sering dipegangi penghuninya, seperti ikut tersenyum mana kala menyaksikan dirinya berjalan menuju kamar tahanan tempat Hendra Gunawan melukis. Tangan-tangan para tahanan lainnya melambai-lambai sambil memanggil Nur-nur berulang-ulang, membuat dirinya tertunduk malu sambil menyimpan senyuman.Â
Di penjara Kebon Waru, Nuraeni memang bercahaya seperti lampu mercusuar yang memancarkan sinarnya di malam hari. Maka, tak heran bila perjalanan menuju ruangan melukis Hendra Gunawan banyak mengundang kekaguman penghuni lainnya. Seperti Dewi Ratih sosok Nuraeni dalam berjalan selalu penuh pesona dan membelalakkan mata para raksasa kurawa.
Nuraeni tidak sendiri, bersama lima orang tahanan lainnya ia mengikuti tahapan demi tahapan belajar dari Hendra Gunawan. Sang guru ternyata bukanlah pria yang penuh dengan kesabaran dalam membimbing muridnya. Ia adalah sosok yang disiplin, keras dan tidak mengenal maaf atas kesalahan muridnya.
Dari lima murid yang belajar, satu persatu mulai memutuskan berhenti tidak melanjutkan belajar. Hanya Nuraenilah yang bertahan, selanjutnya menjadi murid satu-satunya. Nuraeni cepat menyerap segala ilmu dan keahlian yang dimiliki Hendra Gunawan.
Selama menjadi murid, ternyata alam pikiran Nuraeni telah menemukan jiwa-jiwa merdeka. Ia terus melukis dan melukis seperti apa yang disuruh gurunya. Lukisan demi lukisan yang telah ia buat, ternyata telah mampu menghantarkan jiwanya keluar dari penjara. Ia seakan bisa berkelana menyusuri masa lalunya, dari desa kelahirannya sampai perjumpaan dengan orang-orang yang disayanginya.
Hendra Gunawan yang sejak semula menaruh perhatian akan bakatnya, sangat yakin bahwa kelak Nuraeni akan menjadi pelukis yang bisa diandalkan. Nuraeni melukis memang tidak langsung menggunakan cat-cat minyak. Sama halnya seperti Hendra Gunawan, ia melukis dengan tahapan-demi tahapan, mulai membuat sketch, mewarnai, menumpuk warna, membuat tekstur serta meletakkan jiwa ke dalam kanvasnya.
Karena kemampuannya yang lebih itulah, Hendra Gunawan sering meminta Nuraeni untuk membantu mengisi warna lukisannya, membuat awan, mengisi warna-warna pada kulit, kuku, rambut, alis, mata, hidung, bibir serta busana dari instruksi yang disampaikan Hendra Gunawan. Dari pengalaman mendampingi membuat sketch sampai melukis bersama, Nuraeni secara tak sadar telah banyak terpengaruh oleh corak atau style Hendra Gunawan.
Secara teknik, dan warna kadang kala Nuraeni memiliki keinginan untuk mencoba lari dari style yang diajarkan Hendra Gunawan. Namun tanpa sadar ternyata ia tidak mampu menghindar. Kembali dan kembali lagi pada gaya lamanya. Hendra Gunawan yang memahami cara dan maksud pelarian Nuraeni yang melanggar logika perspektif melukis, hanya bisa tersenyum dan tidak jarang meledeknya.
***
Malam kala itu sekan telah berubah menjadi penuh janji. Baik Nuraeni dan Hendra Gunawan mulai gelisah menanti pagi. Matahari pagi yang dulu tak begitu penting mereka nanti, kini telah menjadi penanda berbunga-bunganya hati.
Hendra Gunawan mulai menghafal suara langkah demi langkah kaki Nuraeni ketika menuju ruang melukisnya. Termasuk cara batuknya pun ia ingat dengan sangat baik. " Ah Nur telah tiba", kata Hendra Gunawan kenang Nuraeni.
Jalinan murid dan guru telah menjadi bagian penting bagaimana mereka berinteraksi. Hati Nuraeni mulai menangkap kebaikan Hendra Gunawan yang membuat getaran hatinya. Bagaimanapun Hendra Gunawan masih tetap ia anggap seperti orang tuanya. Hormat dan penuh kesopanan tetap ia pegang. Nuraeni memang priyayi Sunda, begitu pula Hendra Gunawan. Maka, tatakrama masih tetap saling mereka kedepankan.
Saat melukis bersama Hendra Gunawan, Nuraeni sudah mulai merasakan seakan dirinya telah berada di luar penjara. Dirinya juga berasa hidup bersama di alam lukisan yang mereka saling ciptakan. Tanpa disadari, figur-figur Nuraeni satu-persatu telah hadir dalam ruang-ruang hati dan kanvas Hendra Gunawan. Nuraenipun menyadari bahwa kehadiran itu semata-mata memang sebagai bentuk kedekatan dan perhatian Hendra Gunawan padanya.
***
Sulit mengatakan, bagaimana kebersamaan antara Nuraeni dan Hendra Gunawan saling mewarnai di setiap kelahiran karyanya. Termasuk sesulit bagaimana keduanya sampai jatuh hati.
Nuraeni sedang tidak berada pada hatinya yang memberontak, ia lebih memperhatikan bagaimana menjaga nama besar dan diri Hendra Gunawan. Ia sering merenungkan siapa yang kelak menjaga karya-karya dan nama besarnya. Karena ia sangat paham bagaimana kondisi fisik dan usia Hendra Gunawan.Â
 Baik Nuraeni dan Hendra Gunawan sepertinya tak ingin lagi hidup dalam kesendirian, mereka memang sedang seperti awan yang terbang saling berpasangan, dan manakala tiba waktunya mereka juga sama-sama menjatuhkan air mata hujan sebagai bentuk belas kasihan. Mereka terus terbang dalam keindahan.
Kelahiran karya-karya Hendra Gunawan selanjutnya adalah buah cinta besama Nuraeni, bahkan status tahanan politik tak mampu menguburkan mereka yang saling jatuh cinta. Penjara tak lagi menjadi gerah bila tiba di muara asmara, mereka merasakan hidupnya kini telah berubah, hanya berserah antara mencinta dan dicinta.
Cinta sepertinya telah menuntun Nuraeni yang kala itu berusia 21 tahun dan Hendra Gunawan 49 tahun, menemukan kalangan berupa padang dengan bulan terang. Pada tanggal 5 Mei 1968 merekapun menikah, dua orang dari pihak kepolisian militer (CPM) penuh haru menjadi saksi dari petualangan cinta mereka, akhirnya berlabuh juga.
***
Setelah pernikahan itu, kebersamaan Nuraeni dan Hendra Gunawan mulai menjelma menjadi mahligai kehidupan baru. Mereka tak mengenal istilah bulan madu, karena mereka menyadarai dengan sepenuhnya masih terikat dan menjalani sebagai tahanan politik di Penjara Kebon Waru.
Bagaimanapun sebagai istri ke dua Hendra Gunawan yang baru dinikahi, Nuraeni masih menempatkan dirinya sebagai murid yang terus belajar dari gurunya. Begitu pula perasaan Hendra Gunawan, bahwa ia sedang mengajari belahan hatinya untuk menjadi pelukis yang hebat.Â
Nuraeni semakin menempa dirinya dalam ruang rasa dan perasaan, bahwa suaminya memang sedang memerlukan dirinya. Kalaupun ia dipuji atau sedang bersitegang itu adalah jalan seni. Nuraeni menyadari itulah nafas sepenuh jiwa Hendra Gunawan yang selalu membimbingnya melalui jalan seni. Pada diri Hendra Gunawan ia banyak melihat dan merasakan keunggulan pemikiran-pemikirannya. Suaminya bukan sekedar meletakkan keindahan dalam kanvas-kanvas kosong yang sering ia bantu, suaminya telah memadukan jiwa dari pengalaman batinnya yang melaju. "Sering sekali Pak Hendra Gunawan meminta saya untuk menjadi model figur yang memerankan suasana hatinya, dan saat itu pula Pak Hendra dengan mudah memindahkannya dalam bentuk sketch di atas kanvasnya", kata Nuraeni.
Kehidupan di Penjara Kebon Waru telah menjadikan Nuraeni sebagai sosok penting dalam pergulatan kesenimanan Hendra Gunawan. Sebagai istri ia telah pula menjadi subjek yang menepikan pengkelanaan batin-batin suaminya. Nuraeni merasakan dan menyadari bahwa Hendra Gunawan dengan kehadirannya memang membuat proses penciptaan karyannya jadi mudah mengalir. Hendra Gunawan memang mencintai subjek yang dilukisanya, sama mencintai Nuraeni sebagai istri yang sedang memerankannya.
Baik Nuraeni dan Hendra Gunawan adalah seorang seniman yang tidak suka tenggelam dalam kesendirian. Kenyataan ini sangat membekas di hati Nuraeni, manakala ia harus keluar dari Penjara Kebon Waru lebih duluan. Tahun 1972 menjadi kenyataan pilu antara bahagia dirinya babas dari penjara dan kecemasan meninggalkan suami yang dicintainya.
Nuraeni terus menyambung hidupnya sambil membesarkan dan mengasuh buah hatinya. Untuk menafkahi kebutuhan sehari-harinya ia masih mendapatkan kiriman karya-karya Hendra Gunawan yang dijualnya pada kolektor-kolektor yang menyenangi karya suaminya. Baginya yang terpenting saat itu adalah menunggu dan menunggu Hendra Gunawan dibebaskan.
Tahun 1978 menjadi momen haru bagi diri Nuraeni, karena saat itu pula Hendra Gunawan dibebaskan. Ia kini bisa menatap belahan jiwanya di setiap waktu, dan mengisi hari-harinya bersama putranya dengan penuh kasih sayang. Nuraeni tak ingin melewatkan kebahagian itu, kendati stigma sebagai mantan tahanan politik yang masih berat ia rasakan, baginya hidup harus terus berjalan.
Perjalanan hidup Nuraeni sepenuhnya diabdikan pada sang suami tercinta, ia pun harus membangun kehidupan baru di Pulau Bali pada awal tahun 1980. Selama lima tahun setelah Hendra Gunawan dibebaskan ia terus berkarya bersama. Nuraeni memang ditakdirkan untuk mengabdi dan menjaga suami tercintanya, dalam segala hal, baik duka dan suka cita sampai detik terakhir sang suami maestro seni lukis Indonesia itu dipanggil sang Pencipta. [Yudha Bantono, Bali. 04.07.2023]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI