Nuraeni Antara Penjara Kebon Waru dan Jatuh Cintanya Hendra Gunawan
Kleung dengklek buah kopi rarang geuyan
Keun anu dewek ulah pati diheureuyan
Cing cangkeling manuk cingkleung cindeten
Plos kakolong bapak satar buleneng.....
Sang mayoret yang semula diam, tiba-tiba sambil tersenyum mengerdipkan matanya. Sebuah kode isyarat bahwa penampilan drumbandnya dimulai.
Cing Cangkeling yang biasanya dilagukan pada waktu bermain ucing-ucingan atau petak umpet, digubah menjadi alunan nada-nada yang dimaikan pada marching bell. Tak ketinggalan snare, tenor, dan bass drum serta terompet bersaut-sautan mengikuti instruksi sang mayoret. Pecahlah suasana di stadion Senayan Jakarta kala itu.
Tepuk tangan dan riuhnya teriakan-teriakan semakin membakar isi stadion. Bung Karno yang sejak awal takjub menyaksikan parade drumband asal Bandung ini seketika menaruh kesan mendalam, terutama pada sang mayoret. Dialah Nuraeni, gadis Bandung yang berperan sebagai field commander dan mayoret. Nuraeni yang waktu itu juga turut memimpin dalam mengiringi lagu Indonesia Raya, sangat mustahil untuk tidak disapa Bung Karno. Maka, benarlah adanya, Bung Karno turun menyapa Nuraeni dan pasukannya.
Siapapun pasti akan terpesona pada Nuraeni. Mayoret berkulit sawo matang gelap itu semakin terlihat eksotis dengan baju mayoretnya yang berwarna ungu, putih dan bertabur merah. Gerakan Nuraeni sangat lincah dan cekatan, ia mampu melempar tongkat ke atas sejauh delapan meter, serta melakukan manuver dengan beragam gerak koreografi hasil ciptaannya sendiri.