Lelaki itu sudah bukan anak muda lagi. Telah enam puluh delapan tahun usianya. Rambutnya sudah hampir berwarna perak semua. Badan tegap yang proporsional dengan otot-otot yang kencang, terlihat berhasil menarik keriput kulit untuk ukuran orang sebayanya. Di atas motor gede (moge) ia bagai anak muda umur tiga puluhan.Â
Dan lelaki yang saya tidak yakin penuh menyebut dirinya tua ini, telah memutuskan pensiun dalam urusan bisnisnya. Sebelumnya, sehari-hari disamping ia mengelola bisnis hotel, hidupnya ia curahkan pada diri, keluarga dan kemajuan pariwisata di tanah kelahirannya.
Baginya memperhatikan dan mengerti kebutuhan sehat adalah dialog penting antara ia dan tubuhnya. Jalan kaki, makanan sehat, renang, bersepeda bukan lagi keharusan, tapi permintaan atas nama menjaga kebugaran yang bertahan hingga sekarang.
Melihat penampilan dan keceriannya, seakan tidak ada keresahan yang ia munculkan dari raut wajahnya. Keresahan kesepian dan sakit-sakitan, bahkan diam tidak memiliki kesibukan di hari tua.
Ternyata, apa yang ia lakukan selama ini telah ia persiapkan. Menurutnya, tubuh, jiwa dan pikiran tidak boleh diam semua harus berjalan sesuai ukuran atau takaran dalam keseimbangan. Tidak lebih atau tidak kurang.
Keberhasilan yang mengguncangkan jagad dunia petualangan dengan kendaraan roda dua ini justru menunjukkan semuanya bukan serba mengalir. Kesemuanya penuh perhitungan. Â
Dan setelah melakukan perjalanan mengelilingin Asia yang di awali dari Bali menuju Kathmandu (Nepal), negara-negara kecil pecahan Rusia seperti Kyrgystan, Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan, Gurun Gobi, Mongolia, Pakistan, India dan Tionkok.
Kini ia mulai mengingat kembali peristiwa di mana bukan saja keindahan alam dan tradisi budaya serta kehidupan masyarakat yang ia temui, namun juga saat-saat sulit harus meminta bantuan atau ditolong orang. Dialah Ida Bagus Ngurah Wijaya, pemilik Hotel Segara Village Sanur dan mantan ketua Bali Tourism Board.
Dari manakah Gus Ngurah Wijaya sapaan akrabnya memperoleh keberanian berkelana itu? Keberanian itu tidak datang dengan sendirinya, lebih-lebih memiliki fasilitas yang mendukungnya. Keberanian itu adalah buah dari keprihatinan hidupnya dahulu.
Ketika masa Sekolah Dasar ia habiskan di SD Cikini Jakarta dan menginjak SMP tahun 1965 ia mulai dipisahkan dengan kedua orang tuanya yang tinggal di Jakarta.
Kedua orang tuanya hanya ingin dirinya mulai mandiri. Gus Ngurah Wijaya selanjutnya menetap di Malang Jawa Timur di rumah keluarga ajudan ayahnya. Gus Ngurah Wijaya hanya mampu meratapi keadaan dan terpaksa mengikuti kemauan orang tuanya.
Sejak saat itu, Gus Ngurah Wijaya sudah mengenal arti kesendirian, mencari kedamaian yang penting baginya ia bahagia. Pada diri ayahnya ia menemukan "hakekat hidup", bahwa ada saatnya menjalani kehidupan itu harus berjarak dengan keperluan yang cukup, baik materi dan kasih sayang.
"Di Malang untuk membunuh kesepian, saya sering berjalan di sepanjang rel kereta api, berteman dengan  para buruh dan tukang becak bahkan orang-orang yang tidak pernah saya kenal di jalanan. Mulai belajar mengenal orang, berkomunikasi sampai menjadi sahabat baik dengan mereka. Saya menemukan kebahagiaan mana kala saya harus berjalan, ketemu orang yang tidak dikenal dan saling bertegur sapa", tutur Gus Ngurah Wijaya.
Gus Ngurah Wijaya dilahirkan dari pasangan Ida Bagus Kompiang dan Anak Agung Mirah Astuti. Ida Bagus Kompiang yang kemudian dikenal dengan Ida Pedanda Ngurah Karang adalah pionir pariwisata Bali.
Ayahanda Gus Ngurah Wijaya memulai bisnis perhotelan pada tahun 1956 dengan mendirikan Hotel Segara Village. Setelah hotel ini berdiri kemudian hotel-hotel di sepanjang pantai Sanur berdiri termasuk Hotel Inna Grand Bali Beach yang dibangun tahun  1963.
Sebagai pebisnis perhotelan, ayahanda Gus Ngurah Wijaya kala itu sudah meletakkan dasar atau konsep bagaimana mengembangkan pariwisata yang berpihak pada rakyat dan berkelanjutan. Kini dua konsep ini sedang menjadi isu penting dalam pembangunan pariwisata di tanah air.
Kemandirian adalah pangkal utama dalam mengubah prilakunya ketika harus mengingat masa lalunya. Perasaan dalam kesunyian ketika jauh dari orang-orang yang dicintainya harus ia ubah menjadi kententraman, dan rasa itu tanpa ia sadari sering ia tuangkan dalam berkelana.
Suatu ketika Gus Ngurah Wijaya mengajak teman-temannya numpang truk dengan tinggal di bak belakang agar bisa sampai ke Kota Surabaya dengan gratis.Â
Tentu apa yang dilkakukannya tanpa sepengetahuan orang tuanya. Bahkan, ketika untuk meredam emosi sehabis dimarahi ibunya ia pun menempuh jalan sunyi dengan menyusuri tepi pantai dan menyebarangi banyak muara sampai menuju Klungkung.
Ketika sudah bisa menaiki sepeda motor dan memiliki Honda CB 200 Twins ia kerap melakukan perjalanan ke kota-kota di Jawa. Nampaknya pengalaman masa lalu memang banyak memberikan inspirasi bagi Gus Ngurah Wijaya untuk menciptakan perjalanan-perjalanan sebagai bagian kebahagiannya.
Namun kenyataan gambaran tentang hidup yang kemudian ia dapati semakin membenamkan dirinya pada pengalaman-pengalaman masa lalunya.
Ia menyadari dalam seukuran usianya bila menekuni spiritual, maka bukan saatnya untuk memutuskan sekarang, karena secara fisik badannya dengan usianya sampai usia 75 tahun masih bisa digunakan untuk yang lain, katanya.
Dan setelah itu mungkin dirinya akan melanjutkan pada fase berikutnya yang harus ia jalani. Kesadaran ini sudah ia siapkan sejak umur 60 tahun, termasuk regenarasi bisnis bagi generasi penerusnya.
Bukan masalah menyamakan persepsi dalam menempuh perjalanan yang jauh, namun lebih pada partner adalah penemuan dalam membaca dirinya sendiri.
Cuaca panas yang menyengat selama perjalanan menjadi ketidaklaziman untuk ukuran temperatur normal yang biasa ia rasakan. Kesan-kesan yang datang silih berganti, seolah meratapi diantara jalan keindahan itu ada kesusahan. Dan di kesusahan itu ia menemukan pertolongan. Menurut Gus Ngurah Wijaya disitulah ia menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya.
Di jalanan India yang panas sekali, ia berjumpa dengan banyak orang yang menyediakan air untuk minum. Air-air itu diwadahi dalam gentong yang diletakkan di tepi jalan.
Seperti di ketahui perbedaan tingkatan sosialita kehidupan yang masih bersandar pada kasta menjadi perenungan panjang di mana dirinya yang terlahir dari keluarga Brahmana. Melalui air ia membaca kecairan akan pemaknaan sejatinya hidup itu sejatinya memerlukan orang lain.
Gus Ngurah Wijaya mendapat kesulitan ketika partnernya harus mendapat perawatan karena dehidrasi, dan kembali pertolongan Tuhan hadir, menurutnya. Di pelayanan Unit Gawat Darurat di India ia mendapatkan pelayanan medis yang maksimal dan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Nampaknya ketika cuaca terik dan ada pasien yang terkena dehidrasi maka sudah menjadi prosedur untuk ditolong dengan tanpa bayaran. Gus Ngurah Wijaya saat itu hampir tidak bisa mengungkapkan perasaannya, betapa ia semakin peka dan akrab dengan lingkungan kemanusiaan.
Ketika di Mongolia Gus Ngurah Wijaya hampir tidak menemukan desa, karena masyarakatnya hidupnya nomaden. Justru ini menariknya, antara kehidupan dari tenda ke tenda, katanya.Â
Mereka menjalani kehidupan yang bergantung pada alam. Semesta telah menjanjikan berkah kehidupan. Terlihat masyarakat Mongol hidup dengan keriangan, bahkan tak jarang ia selalu tersenyum ketika berpapasan.
Bisa dirasakan, perjalanan dari daerah ke daerah di Asia telah menjadi teks penting untuk belajar tanpa ada instruksi. Di setiap daerah ia menemukan perbincangan yang menarik.
Ketika masuk India, kebanyakan masyarakatnya bertanya tentang berapa harga motor, berapa kilometer bisa lari dan sebagainya yang kesemuanya berkaitan dengan benda. Namun ketika di Pakistan pertanyaan masyarakatnya lebih pada agamamu apa, asalmu dari mana dan untuk apa melakukan perjalanan jauh.
Inilah humanity dan religi serta spiritualitas yang ia jumpai sebenarnya, ada kontradiksi yang ditunjukkan di mana kesemuanya penuh kehangatan.Â
Gus Ngurah Wijaya mengenal India sebagai daerah spiritual yang sangat terkenal, tapi disisi lain masyarakatnya juga banyak yang depresi. Kehidupan sangat keras penuh persaingan dalam usaha dan pekerjaan, menjadikan masyarakatnya penuh responsif.
***
Sepulang perjalanan, Gus Ngurah Wijaya mulai mengingat-ingat kembali bahwa perjalanan keling Asia sejatinya telah membuatnya terasa tenteram.Â
Catatan-catatan kejadian ia rekam dalam memori pikirannya yang kadang membuatnya harus diam. Ia terus merenungkan ketenteraman suasana batinnya.Â
Bagai perasaan penyerahan diri yang penuh ketentraman hati ia menyadari bahwa di perjalannya ia telah menemukan Tuhan yang menjelma dalam pertolongan maupun ketakjuban kehidupan orang-orang dan alam yang ia telah temui dan lalui.
Di tepi Pantai Segara di restaurant hotelnya Senin siang itu, Gus Ngurah Wijaya telah menjelaskan rencananya untuk melakukan perjalanan kembali, yakni berpetualang di Benua Amerika. Dalam petualangan kali berikutnya ini ia hendak melanjutkan kembali kisah pengembaraannya.Â
Kembali pada kisah pengembaraan yang bukan sekedar mengembara, sepertinya Gus Ngurah  akan terus mengejar pertanyaan hakekat dari  "siapakah dirinya sebenarnya dalam pengembaraan yang ia akan jalani kembali?". Hanya Gus Ngurah Wijaya-lah yang akan menemukan jawaban jalan pulang untuk dirinya. (Yudha Bantono, Sanur Natal 2019)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI