Namun kenyataan gambaran tentang hidup yang kemudian ia dapati semakin membenamkan dirinya pada pengalaman-pengalaman masa lalunya.
Ia menyadari dalam seukuran usianya bila menekuni spiritual, maka bukan saatnya untuk memutuskan sekarang, karena secara fisik badannya dengan usianya sampai usia 75 tahun masih bisa digunakan untuk yang lain, katanya.
Dan setelah itu mungkin dirinya akan melanjutkan pada fase berikutnya yang harus ia jalani. Kesadaran ini sudah ia siapkan sejak umur 60 tahun, termasuk regenarasi bisnis bagi generasi penerusnya.
Bukan masalah menyamakan persepsi dalam menempuh perjalanan yang jauh, namun lebih pada partner adalah penemuan dalam membaca dirinya sendiri.
Cuaca panas yang menyengat selama perjalanan menjadi ketidaklaziman untuk ukuran temperatur normal yang biasa ia rasakan. Kesan-kesan yang datang silih berganti, seolah meratapi diantara jalan keindahan itu ada kesusahan. Dan di kesusahan itu ia menemukan pertolongan. Menurut Gus Ngurah Wijaya disitulah ia menemukan makna kehidupan yang sesungguhnya.
Di jalanan India yang panas sekali, ia berjumpa dengan banyak orang yang menyediakan air untuk minum. Air-air itu diwadahi dalam gentong yang diletakkan di tepi jalan.
Seperti di ketahui perbedaan tingkatan sosialita kehidupan yang masih bersandar pada kasta menjadi perenungan panjang di mana dirinya yang terlahir dari keluarga Brahmana. Melalui air ia membaca kecairan akan pemaknaan sejatinya hidup itu sejatinya memerlukan orang lain.
Gus Ngurah Wijaya mendapat kesulitan ketika partnernya harus mendapat perawatan karena dehidrasi, dan kembali pertolongan Tuhan hadir, menurutnya. Di pelayanan Unit Gawat Darurat di India ia mendapatkan pelayanan medis yang maksimal dan tanpa dipungut biaya sepeserpun.
Nampaknya ketika cuaca terik dan ada pasien yang terkena dehidrasi maka sudah menjadi prosedur untuk ditolong dengan tanpa bayaran. Gus Ngurah Wijaya saat itu hampir tidak bisa mengungkapkan perasaannya, betapa ia semakin peka dan akrab dengan lingkungan kemanusiaan.