Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Daydreammer, as always

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

The Joy Of Reading Series: Ada, Gadis Cilik yang Selamat karena Perang

3 Januari 2024   19:57 Diperbarui: 4 Januari 2024   15:58 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun baru, series baru. 

Setelah the Joy of Learning Series, terbitlah the Joy of Reading Series. 

Ini adalah salah satu resolusi tahun baru saya, sekaligus menjawab kerisauan tentang kenyataan betapa melek literasi tetap menjadi PR kita hari ini. 

Problema anak-anak kita hari ini bukanlah terbatasnya sumber bacaan seperti jaman saya kecil dulu, tapi justru berlimpahnya sumber bacaan. Saking berlimpahnya sampai bingung mau baca yang mana, dan berakhir dengan tidak baca apa-apa. Seperti peribahasa bagaikan tikus mati dilumbung padi.

Sayang sekali bukan?

Nah, mumpung tikusnya belum banyak yang mati dan lumbung padinya masih ada, saya memutuskan membuat series ini. Setidaknya, ada referensi buku-buku apa saja yang bagus, menarik dan layak dibaca buah hati kita semua.

Saya pun sudah mengobrak-abrik rak buku putri saya, memilih buku-buku favoritnya. Jadi, semua buku yang akan saya tuliskan ini adalah hasil rekomendasi si cantik.

Yuk, kita mulai buka buku pertama kita.

Judulnya, "The War That Saved My Life" karya Kimberly Brubaker Bradley.

Perang yang menyelamatkan hidupku. Dari judulnya saja sudah kontroversial nggak, sih? Bukan selamat dari perang, tapi selamat karena perang

Inilah alasan saya waktu itu mencomotnya dari rak toko buku dan membelikannya untuk putri saya. Penasaran dengan judulnya, hehehe.

Buku ini berlatar belakang Perang Dunia Kedua, ketika Hitler memutuskan menjadi orang nomor satu di dunia, walaupun endingnya gagal. Tokoh utamanya bernama Ada, gadis kecil berusia 9 tahun, yang kakinya cacat.

Ada tinggal di pemukiman miskin di London. Ia menempati apartemen kecil dan kumuh bersama Ibu dan Jamie, adiknya yang baru berusia 6 tahun.

Sepanjang ingatan Ada, dunia yang dikenalnya hanyalah sekotak mungil apartemen tempat tinggalnya. Ia tidak pernah keluar rumah sama sekali. Ibunya melarangnya karena malu dengan kondisi Ada yang cacat.

Ada hanya bisa mengenali dunia luar dari balik kaca kusam di apartemen, terperangkap dalam kondisi yang memilukan.

Karena kondisinya yang cacat, ia tidak pernah berjalan normal dengan dua kaki, ia merangkak seperti bayi. Ia menjalankan semua tugas hariannya dari membersihkan rumah, memasak dan menjaga adiknya dengan merangkak. Tangannya sangat kuat dan terampil tapi kakinya sangat lemah.

Ada menderita clubfoot di kaki kanannya. Clubfoot adalah cacat pada kaki, di mana telapak kaki muntir keatas. Bisa dibayangkan betapa menyedihkan kondisinya, apalagi jika sejak lahir sama sekali tidak pernah dilatih atau mendapatkan terapi.

Ketika Jamie sudah mulai bersekolah, Ada semakin kesepian. Ia ingin bisa keluar rumah tapi ia tidak bisa berjalan, Ibunya pun akan marah besar kalau tahu ia belajar berjalan dan berencana keluar rumah.

Tapi Ada menguatkan tekad untuk diam-diam belajar berjalan dengan kakinya yang cacat. Sama sekali tidak mudah. Kulit ari punggung kakinya yang tipis terkelupas dan berdarah-darah. Sakitnya pun tanpa ampun. Tapi Ada menanggung semua itu dengan gagah berani, demi kebebasan yang dirindukannya.

Hari kebebasan itu akhirnya tiba. Hari ketika pasukan Hitler menghujani kota-kota di Inggris dengan bom. Pemerintah Inggris berencana mengevakuasi anak-anak sekolah keluar kota London.

Jamie akan dievakuasi bersama teman-teman sekolahnya. Ada juga ingin pergi, tapi ibu marah besar dan melarangnya pergi.

Dini hari, di hari yang ditentukan evakuasi akan dilakukan, ketika ibu masih terlelap, Ada dibantu Jamie, diam-diam terseok-seok berjalan menuruni tangga apartemen. Berdua mereka menyusuri jalanan yang sunyi. Jamie kecil yang diliputi kecemasan dan Ada dengan kaki berdarah-darah dan tekad membara.

Begitulah, Ada meninggalkan masa kelamnya, menjemput kebebasannya. Meskipun jalan yang ditempuh luar biasa terjal. Bahkan ketika di tempat pengungsian, tak ada satu pun calon orang tua asuh yang mau menerima mereka. Satu-satunya yang mau hanya wanita aneh super introvert, itu pun dengan sedikit paksaan dari petugas evakuasi yang sudah putus asa.

Tapi inilah titik awal Ada menemukan dirinya, menemukan persahabatan, menemukan kembali kasih sayang yang tak pernah didapatkan dalam hidupnya, dan lebih penting lagi menemukan harapan dan masa depannya.

Buku ini mengaduk-aduk emosi sejak awal, tapi lebih daripada itu, nilai-nilai yang digelontorkan sepanjang cerita membuat saya tak pernah menyesal membelikannya untuk Putri saya.

Buku ini mengajarkan tentang banyak hal, saking banyaknya tidak mungkin dikupas satu per satu. Kita bahas beberapa saja ya.

Pertama: Pentingnya Tidak Menunda

Kalau saja Ada terus menunda-nunda untuk belajar berjalan, ia tidak akan pernah bisa menjemput kebebasannya.

Sering kali kita menunda-nunda belajar atau melakukan sesuatu hal, karena merasa belum perlu atau mustahil kesempatan akan datang. Tapi seperti pepatah bilang, kesuksesan adalah ketika kesempatan bertemu dengan kesiapan.

You never know.

Kedua: Pentingnya Tahan Banting

Berada di posisi Ada benar-benar bisa menghancur-leburkan mental. Ibu yang abusive, tubuh yang cacat, dan ketiadaan support system sama sekali.

Tapi Ada menghadapi hari-harinya dengan tabah. Ia tidak berusaha mengakhiri hidupnya atau melakukan hal-hal yang negatif. Ia melakukan hal positif yang dia bisa. 

Kesehatan mental menjadi salah satu isu populer abad ini. Tapi banyak orang akhirnya jatuh pada ekstrem terlalu mudah depresi lalu menyakiti diri sendiri dan orang lain.

Buku ini mengajarkan seni tahan banting untuk tidak gampang menyerah dan tetap melakukan hal-hal yang positif, bahkan ketika situasi mengimpit, menekan dan membuat tidak berdaya.

Ketiga, One Step At A Time

Mimpi besar Ada adalah bisa berjalan dan melihat dunia luar tapi situasi yang dihadapinya tidak bisa membuat dia mewujudkan mimpi itu begitu saja. Bahkan terkadang untuk bertahan saja sudah cukup menguras energi.

Tapi dia tidak putus asa karena tak bisa membuat lompatan besar. Ia mengisi hari-harinya dengan langkah-langkah kecil. Sampai akhirnya sampai pada ujung lorong dan menggapai impiannya.

One step at a time.

Bukankah kadang hidup seperti itu? Terlalu gelap lorong yang dilalui, cahaya diujung terlalu samar bahkan tidak kelihatan sama sekali. Terlalu lemah untuk melompat.

Kita sering lupa betapa langkah demi langkah sekecil apapun tetap akan membawa kita pada akhir perjuangan, meskipun bukan lompatan dahsyat seperti yang kita harapkan.

Itu baru sebagian yang bisa saya bagikan. Silakan menemukan sendiri permata-permata kehidupan lainnya yang tersembunyi di balik halaman-halaman buku ini.

Buku ini memang lumayan tebal, terutama kalau anak kita belum terbiasa membaca. Tapi seperti poin ketiga artikel ini, one step at a time. Bacalah sehari satu bab saja, tentunya bersama sang buah hati.

Karena melek literasi adalah hak setiap anak.

Semoga bermanfaat.

Seperti biasa, si cantik melengkapi artikel ini dengan lukisannya. Terima kasih cantik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun