Tapi ternyata ketika tumbuh dewasa, saya sadar betapa kebiasaan itu bukanlah sekedar ritual petang hari. Dibawah sadar kami, Â doa itu menjadi kebutuhan kami. Nafas hidup kami. Menjadi kekuatan kami ketika menjalani hidup.
Ketika kami satu per satu lulus sekolah dan pergi kuliah ke tempat lain yang jauh dari kampung halaman, beliau mendoakan kami satu per satu, setiap pagi.
Adik saya yang bungsu dan paling lama tinggal di rumah, menceritakan bagaimana ibu berdoa dari jam 4 pagi sampai jam 5 pagi, setiap hari, menyebut nama setiap anak dalam doanya. Â
Dan doa itulah yang menembus kemustahilan demi kemustahilan. Kami berhasil mengenyam pendidikan yang bagus dan kehidupan yang lebih baik, bukan karena ayah ibu yang bergelimang harta atau banyak koneksinya, Â tapi karena doa-doa yang membuka setiap pintu kesempatan yang tak terduga.
Ibu saya mengentaskan kami satu per satu melalui doa-doanya yang tak pernah putus. Menjaga kami dari segala pengaruh buruk saat berada diluar kota atau benua, dengan doanya. Iman yang diwariskannya, nyaris tanpa kata, tapi mengukir jiwa raga.
Ibu mewariskan batu karang itu.
Tahun-tahun hidupnya menceritakan bagaimana badai boleh datang dan pergi, gelombang tinggi boleh menerpa, tapi diatas batu karang yang teguh, kita tetap mampu kokoh berdiri.
2. Pegas
Jangan menjadi seperti telur, yang sedikit saja ditekan akan hancur. Jadilah seperti pegas, semakin ditekan semakin melenting ke atas.
Pernah dengar nasehat itu ? Â Saya pernah membacanya, entah dimana.
Ibu tidak pernah mengucapkan nasehat itu, tapi sikap hidupnya benar-benar seperti pegas.