Mohon tunggu...
Yuanita Pratomo
Yuanita Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - Mommy

Daydreammer, as always

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Membuang Sampah adalah Cerminan Etika Bangsa, Bukan Sekedar Kebiasaaan Belaka

23 September 2021   13:23 Diperbarui: 8 Oktober 2021   15:57 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak tahu harus geli atau kesal, atau dua-duanya tiap kali melewati pinggir jalan besar itu.

Dibawah papan bertuliskan: "Jangan buang sampah disini !" , justru banyak tumpukan sampah. Prank di level tertinggi :)

Setiap kali dibersihkan, ada lagi yang buang sampah di situ dan tempat itu kembali dihiasi tumpukan sampah.

Curiga saja, jangan-jangan banyak orang mengartikan kata "jangan" dengan "mari" atau "ayo".

Jangan buang sampah disini = Mari buang sampah disini. Bisa jadi, khan ? :D

Atau jangan-jangan banyak yang masih buta aksara, sehingga tak bisa membaca apa yang tertulis di papan-nya, dan begitu saja mengasumsikannya sebagai tempat pembuangan sampah.

Ada banyak kemungkinan.

Tapi oke-lah, karena itu dipinggir jalan, pasti ada banyak kemungkinan.

Lantas bagaimana kalau terjadi disekitar kita ? Kemungkinan, kitalah pelakunya :)
Hayooo !

Kalau kita mau menertibkan, beranilah membayar harganya.

Dan itu tidaklah mudah di negeri ini. Padahal sudah tujuh puluh enam tahun merdeka.

Saya pernah menegur petugas kebersihan yang membuang sampah plastik ke tanah kosong, bukan ke tempat sampah. Dan beliau-nya sewot dengan saya. Kenapa ? Karena kebiasaan.

Biasa dibiarkan.

Didepan rumah yang waktu itu akan kami tempati ada lahan kosong, dan saat kami bersiap pindah, kontraktor pun membersihkannya karena ada sisa2 bahan bangunan yang dibuang disitu. Waktu kami sudah mulai menempati, salah seorang tetangga lama menyarankan supaya lahan kosong itu dibersihkan lagi dengan membayar petugas kebersihan, karena masih banyak sampah plastik dll. yang tertinggal. Kami setuju, dan mengeluarkan uang dari kantong sendiri, demi lingkungan yang bersih.

Ternyata, tetap ada sampah dibuang disitu. Hiks.

Saking gemesnya melihat sampah-sampah plastik bertebaran di jalanan depan rumah plus di pinggiran lahan kosong itu, dan karena terinspirasi oleh Mahatma Ghandi yang mengedukasi  rakyat India dengan turun tangan sendiri membersihkan sampah (Saya tahunya dari buku putri saya :D), saya pun merelakan diri membersihkannya sendiri setiap pagi mengumpulkannya di tempat sampah saya, dan lalu diangkut petugas sampah.

Sebenarnya ada petugas kebersihan sendiri, karena ada biaya retribusi kebersihan dan keamanan yang kami bayarkan rutin setiap bulannya. 

Tapi waktu itu saya berpikir lebih efektif kalau mengedukasi langsung dengan perbuatan, dan juga dengan harapan kalau saya sendiri yang membersihkan, mereka yang membuang sampah sembarangan itu akan sungkan. Dan berhenti melakukannya.

Dan sepertinya, cukup mempan. Paling tidak, lambat laun sampah plastik dll. yang dibuang disitu semakin berkurang, tidak sebrutal sebelumnya. Masih ada beberapa, mungkin lupa, atau terbawa angin senja :)

Lingkungan tempat saya tinggal sebenarnya cukup bagus dan terdidik, sehingga hanya diperlukan sedikit niat dan usaha untuk melalukan perubahan. Hanya perlu reminder :) 

Masalahnya, siapa yang bersedia jadi reminder-nya?

Karena, selalu ada kemungkinan message yang kita sampaikan disalah pahami. 

Masalah klasik sebenarnya. 

Kebiasaan. 

Mungkin karena beberapa lama terbiasa saya bantu bersih-bersih, petugas kebersihan jadi suka lupa kalau sebenarnya adalah tugas beliau menyapu dan membersihkan area disitu. Saya hanya membantu menginisiasi dan menginspirasi, tidak bermaksud menggantikan tugas beliau :)

Karena kemungkinan salah paham itu, jadilah saya terpaksa beberapa kali meluruskannya ke pihak management yang mengelola masalah retribusi.

Ternyata, memang diperlukan tenaga, waktu dan kesabaran kalau kita mau merubah sesuatu. Sebaik apapun niatnya, tetap saja tidak segampang membalik tangan.

Tidak heran, tujuh puluh enam tahun merdeka, kita masih bergulat dengan hal sederhana seperti membiasakan membuang sampah di tempatnya, ketika negara-negara lain sudah sibuk dengan disiplin menyortir sampah rumah tangga dan mengembangkan teknologi tinggi untuk mengelola dan mendaur ulangnya.

Belajarkah anak-anak kita PPKN disekolah? Jawabnya : Iya!  
Diajarikah mereka membuang sampah pada tempatnya?
Jawabannya : Iya!
Tapi kenapa masih ada yang membuang sampah sembarangan?
Karena kebiasaan. 

Kebiasaan disekolah, ketika pelajaran hanya dihafalkan bukan untuk dimengerti dan diamalkan.

Belajar hanya demi ulangan, bukan untuk kehidupan.

Belajar hanya untuk menghafal itu sudah ketinggalan jaman, nak. 

Ayo amalkan!
Ayo, jangan ketinggalan!

Merdeka!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun