Mohon tunggu...
Yulia Rahmawati
Yulia Rahmawati Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis, Editor, Blogger, Peneliti

Freelancer

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menuju Pilkada DKI Jakarta

18 April 2016   10:29 Diperbarui: 18 April 2016   10:48 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan Daerah DKI Jakarta masih setahun lagi, tetapi gaungnya sudah menyita perhatian berbagai media massa dan media sosial dalam mempublikasikannya. Hampir setiap halaman media sosial menyajikan tentang Pilkada DKI Jakarta.

Berbicara politik, tidak lepas dari opini publik, sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang menganung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya. 

Dan Nimmo (1989) menyebutkaan bahwa pikiran, perasaan, dan kesudian subjektif yang menyusun citra orang tentang politik itu berguna, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilihat pada sudut pandang tersebut. Diantaranya, pertama, betapa pun benar atau kelirunya, lengkap atau tidaknya pengetahuan orang tentang politik, hal itu memberi jalan kepadanya untuk memahami peristiwa politik tertentu. Kedua, kesukaan dan tidaknya umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objektif. Dan ketiga, citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain.

[caption caption="Diskusi FBI"][/caption]

Membicarakan politik seperti membicarakan iklim atau cuaca, tak ada yang melalukan apa pun tentang perubahan iklim tersebut. Demikian pula dengan opini publik, berbicara politik bisa dilakukan oleh siapa saja, dari politikus, pengamat politik, anggota pers, bahkan warga yang sedang santai bermalas-malasan bisa membicarakan tentang politik. Keanekargaman komunikator politik dapat ditandai dengan apa yang dilakukan oleh mereka terhadap opini publik.

Seperti diskusi politik yang saya ikuti beberapa hari lalu, Kamis, 15 April 2016, bertempat di Restoran Omah Sendok, Jakarta, saya berkesempatan mengikuti diskusi Forum Berbagi Ilmu, kali ini bertema ekspresi warga terhadap kepemimpinan Ahok. Hadir sebagai pembicara, Eddy Soeparno sebagai Sekjen PAN, Ridwan Saidi sebagai ahli sejarah&budayawan Betawi, dan Airlangga Pribadi sebagai pengamat politik.
 Eddy Soeparno, memaparkan bahwa Pilkada DKI Jakarta sangat menarik. DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia merupakan etalase nasional dengan segala kompleksitas dan heterogenitas penduduknya bisa menjadi cerminan pada pemilihan daerah. Salah satu kriteria pemimpin untuk DKI Jakarta adalah mampu merangkul penduduk DKI Jakarta yang heterogen.

Eddy Soeparno mengungkapkan bahwa dirinya berbicara tentang Pilkada DKI Jakarta tidak mewakili pandangan politik partainya dan dia tidak akan menyorot pada tokohnya, seperti Ahok, Yusril atau Sandiago Uno. Selama ini yang mencuat ke berbagai media, baik media mainstream maupun media sosial lebih mengedepankan sosok bakal calon, bukan tentang gagasan atau konsep dari pemikiran mereka untuk Jakarta dan penduduknya.

Pertarungan ide atau gagasan konsep sangat menarik dari para bakal calon Gubernur DKI Jakarta, karena masyarakat harus tahu konsep yang direncanakan oleh bakal calon gubernur. Misalnya, ketika para bakal calon gubernur mengungkapkan konsep tentang Smart City Jakarta, masyarakat harus tahu akan ide dan konsep tersebut.

Ketika berbicara kepemimpinan dan kebijakan Ahok, Eddy Soeparno menyebutkan bahwa Ahok merupakan pemimpin yang telah menerapkan reformasi birokrasi, e-goverment,, tegas dan berani melakukan terobosan. Hanya saja dalam berkomunikasi, Ahok belum mampu mengontrol ucapannya dan sering eksplosif yang kadang mengusik hati. Bagaimana pun, seorang pemimpin itu adalah teladan. Dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengedepankan tata krama.

Menarik ketika menyimak pembicara Eddy Soeparno, yang menekankan pentingnya konsep pemikiran bakal calon gubernur terhadap Jakarta dan penduduknya. Senada dengan Eddy, Airlangga Pribadi, pengajar politik Fisip Universitas Airlangga, mengatakan bahwa dalam Pilkada ini yang akan dia soroti adalah kebijakan. Bukan membahas pro atau kontra sosok Ahok, tetapi melihat kebijakan yang diterapkan oleh Ahok selama ini, karena Ahok sebagai bakal calon gubernur berikutnya.

Dalam melihat kebijakan, ada beberapa poin sebagai tolak ukur dalam melihat kebijakan tersebut, seperti ketika dibuat kebijakan, apakah mengakomodasi semua lapisan masyarakat, siapa yang dimarginalisasikan atau yang mendapatkan untung dan rugi? Lalu, bagaimana dengan legitimasi kebijakan, siapa yang diuntungkan?

Airlangga mengambil contoh kasus tentang kebijakan reklamasi oleh Ahok. Siapa yang diuntungkan dengan reklamasi pantai Jakarta pada 17 pulau yang melibatkan 9 pengembang. Secara perhitungan harga jual, ketika hasil reklamasi itu dijual paling rendah dengan harga Rp.3,77 milyar, ada berapa orang dari warga Jakarta yang dapat mengakses tanah tersebut? Belum lagi dengan problem ekologis. Dengan rekalamasi tersebut, akan adanya perlambatan air sungai yang mendorong terjadinya banjir, pengerukan pasir di banyak tempat, dan tanah untuk reklamasi diambil dari tanah bekas tambang di Bangka. Siapa yang diuntungkan dalam rekalamasi tersebut?

Hal yang sangat menarik ketika Airlangga membahas kebijakan dalam satau unsur yang perlu dilihat dari bakal calon gubernur, terutama jika gubernur incumbent turut mencalonkan diri untuk menjadi gubernur berikutnya. Ketika berbicara kebijakan dalam kepentingan bisnis, maka itu tidak lepas dari membicarakan kepentingan publik.

Ridwan Saidi, mantan anggota DPR tahun 1977-1987, ahli sejarah dan budayawan Betawi menyoroti tiga hal dalam kebijakan yang dilakukan oleh Ahok, yaitu penggusuran pasar ikan, penggusuran Luar Batang dan rekalamasi Jakarta. Ridwa Saidi melihat pada sudut sejarah. Dia menyebutkan bahwa pasar ikan sebagai fish market sejak tahun 1846. Adapun Luar Batang, pada tahun 1738, datanglah Tuan Said dari Yaman yang membeli tanah di sana, setahun kemudian membangun masjid.

Pada dasarnya, fenomena penggusuran penduduk pantai ini menjadi salah satu hal yang dapat mengancam pertahanan dan keamanan negara. Dan adanya reklamasi di pantai Jakarta, Ridwan Saidi melihatnya sebagai bentuk ancaman pertahanan dan keamanan negara Indonesia. 

Diskusi ini menjadi salah satu referensi saya dalam mendapatkan kekayaan wawasan tentang opini publik dalam menyoroti kasus Pilkada DKI Jakarta. Dari sini saya melihat bahwa orang yang mempunyai kepercayaan mempersepsi hubungan antara dua hal atau antara sesuatu dengen karakteristiknya, maka di sana masih ada kepercayaan personal dalam politik. Lalu, bagaimana opini Anda tentang Pilkada DKI Jakarta?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun