Pemilihan Daerah DKI Jakarta masih setahun lagi, tetapi gaungnya sudah menyita perhatian berbagai media massa dan media sosial dalam mempublikasikannya. Hampir setiap halaman media sosial menyajikan tentang Pilkada DKI Jakarta.
Berbicara politik, tidak lepas dari opini publik, sebagai proses yang menggabungkan pikiran, perasaan, dan usul yang diungkapkan oleh warga negara secara pribadi terhadap pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat pemerintah yang bertanggung jawab atas dicapainya ketertiban sosial dalam situasi yang menganung konflik, perbantahan, dan perselisihan pendapat tentang apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.Â
Dan Nimmo (1989) menyebutkaan bahwa pikiran, perasaan, dan kesudian subjektif yang menyusun citra orang tentang politik itu berguna, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilihat pada sudut pandang tersebut. Diantaranya, pertama, betapa pun benar atau kelirunya, lengkap atau tidaknya pengetahuan orang tentang politik, hal itu memberi jalan kepadanya untuk memahami peristiwa politik tertentu. Kedua, kesukaan dan tidaknya umum pada citra seseorang tentang politik menyajikan dasar untuk menilai objektif. Dan ketiga, citra diri seseorang memberikan cara menghubungkan dirinya dengan orang lain.
[caption caption="Diskusi FBI"][/caption]
Membicarakan politik seperti membicarakan iklim atau cuaca, tak ada yang melalukan apa pun tentang perubahan iklim tersebut. Demikian pula dengan opini publik, berbicara politik bisa dilakukan oleh siapa saja, dari politikus, pengamat politik, anggota pers, bahkan warga yang sedang santai bermalas-malasan bisa membicarakan tentang politik. Keanekargaman komunikator politik dapat ditandai dengan apa yang dilakukan oleh mereka terhadap opini publik.
Seperti diskusi politik yang saya ikuti beberapa hari lalu, Kamis, 15 April 2016, bertempat di Restoran Omah Sendok, Jakarta, saya berkesempatan mengikuti diskusi Forum Berbagi Ilmu, kali ini bertema ekspresi warga terhadap kepemimpinan Ahok. Hadir sebagai pembicara, Eddy Soeparno sebagai Sekjen PAN, Ridwan Saidi sebagai ahli sejarah&budayawan Betawi, dan Airlangga Pribadi sebagai pengamat politik.
 Eddy Soeparno, memaparkan bahwa Pilkada DKI Jakarta sangat menarik. DKI Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia merupakan etalase nasional dengan segala kompleksitas dan heterogenitas penduduknya bisa menjadi cerminan pada pemilihan daerah. Salah satu kriteria pemimpin untuk DKI Jakarta adalah mampu merangkul penduduk DKI Jakarta yang heterogen.
Eddy Soeparno mengungkapkan bahwa dirinya berbicara tentang Pilkada DKI Jakarta tidak mewakili pandangan politik partainya dan dia tidak akan menyorot pada tokohnya, seperti Ahok, Yusril atau Sandiago Uno. Selama ini yang mencuat ke berbagai media, baik media mainstream maupun media sosial lebih mengedepankan sosok bakal calon, bukan tentang gagasan atau konsep dari pemikiran mereka untuk Jakarta dan penduduknya.
Pertarungan ide atau gagasan konsep sangat menarik dari para bakal calon Gubernur DKI Jakarta, karena masyarakat harus tahu konsep yang direncanakan oleh bakal calon gubernur. Misalnya, ketika para bakal calon gubernur mengungkapkan konsep tentang Smart City Jakarta, masyarakat harus tahu akan ide dan konsep tersebut.
Ketika berbicara kepemimpinan dan kebijakan Ahok, Eddy Soeparno menyebutkan bahwa Ahok merupakan pemimpin yang telah menerapkan reformasi birokrasi, e-goverment,, tegas dan berani melakukan terobosan. Hanya saja dalam berkomunikasi, Ahok belum mampu mengontrol ucapannya dan sering eksplosif yang kadang mengusik hati. Bagaimana pun, seorang pemimpin itu adalah teladan. Dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang mengedepankan tata krama.
Menarik ketika menyimak pembicara Eddy Soeparno, yang menekankan pentingnya konsep pemikiran bakal calon gubernur terhadap Jakarta dan penduduknya. Senada dengan Eddy, Airlangga Pribadi, pengajar politik Fisip Universitas Airlangga, mengatakan bahwa dalam Pilkada ini yang akan dia soroti adalah kebijakan. Bukan membahas pro atau kontra sosok Ahok, tetapi melihat kebijakan yang diterapkan oleh Ahok selama ini, karena Ahok sebagai bakal calon gubernur berikutnya.
Dalam melihat kebijakan, ada beberapa poin sebagai tolak ukur dalam melihat kebijakan tersebut, seperti ketika dibuat kebijakan, apakah mengakomodasi semua lapisan masyarakat, siapa yang dimarginalisasikan atau yang mendapatkan untung dan rugi? Lalu, bagaimana dengan legitimasi kebijakan, siapa yang diuntungkan?