Mohon tunggu...
Yovita Nurdiana
Yovita Nurdiana Mohon Tunggu... Penulis - Purchasing, pembaca mata dan penulis nama seseorang di setiap tulisannya

Membaca sambil mendengarkan musik favorit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Candra Mahakasih

14 Desember 2024   12:25 Diperbarui: 14 Desember 2024   12:25 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan cara ajarnya, tapi karena orangnya. Kalau boleh tahu, apa yang Bapak lakukan? Terutama setelah pulang dari mengajar," kataku sambil menunduk karena takut. "Mari, ikut dengan Bapak! Bapak naik sepeda motor sendiri, Kasih berboncengan dengan Robi, jangan takut, dia ini putra bapak," jawab Beliau sambil tersenyum.

"Mas, kita ini mau ke mana sih? Kok lewat daerah terpencil begini? Mau ke rumah? Atau mau ke mana?" tanyaku sambil ketakutan. "Kamu takut? Eh, siapa nama kamu tadi? Kasih? Pakai Ibu nggak?" tanya Mas Robi sambil bergurau. 

"Iya, nama saya Kasih Mas, karena dulu Ibu saya ingin agar anaknya bisa menebar kasih pada orang di sekitarnya. Makanya, saya merasa kasihan dengan Pak Candra. Teman dekat saya malah menjauh dari saya, hanya karena saya membela Pak Candra," jawabku.

"Ini sudah sampai, selamat datang di gubug kami, Kasih, maaf kalau tidak berkenan, kondisinya seperti ini, mari masuk!" pinta Pak Candra. Aku hanya diam memandangi rumah itu dari luar, aku heran, Pak Candra kan dosen, kok rumahnya seperti ini? Sederhana, apa tidak salah? 

"Ayo Kasih, jangan melamun saja!" pinta Mas Robi sambil menarik tanganku. Aku masuk ke ruang tamu nan mungil itu, sambil menaruh sepatuku di luar karena tidak mau mengotori lantai rumah itu. "Kasih, pakai saja sepatumu! Nanti kakimu kotor," kata Pak Candra sambil mengambilkan sepatuku lalu meletakkan di samping kakiku.

Aku mengamati foto-foto yang ada di sampingku, di sebuah meja bundar terbuat dari kayu. Kok tidak ada foto Pak Candra ya? Dari dalam, Mas Robi membawakan segelas air teh hangat dan kue kering sebagai temannya. "Silakan dimakan dan diminum Kasih!" pinta Mas Robi sambil menyodorkan toples plastik berwarna kuning padaku. Aku pun mengambil segenggam kue itu lalu memakannya perlahan. 

Aku bertanya dalam hati, di mana Pak Candra? Sedari tadi masuk belum juga keluar menemui kami. "Mas, Pak Candra di mana? Nggak ada apa-apa kan?" tanyaku dengan penuh kekhawatiran. Mas Robi menggeleng. Lalu Pak Candra keluar menemui kami. Aku sedikit lega.

"Kasih, ada satu hal yang belum kamu mengerti kan? Maklum, kamu mahasiswi baru di kampus kita. Robi ini anak angkat Bapak, karena anak laki-laki bapak satu-satunya meninggal lima tahun yang lalu, Bapak kini hanya berdua dengan sang istri di rumah Bapak di kampung sebelah. 

Makanya Bapak sering main ke sini bahkan menginap, begitu juga dengan Robi, karena Robi menjadi yatim-piatu semenjak ditinggal orang tuanya meninggal tiga tahun lalu. Jadi, kuliah Robi kami yang membiayai, tapi Robi enggan untuk meninggalkan rumah ini karena rumah ini menyimpan banyak kenangan bersama orang tuanya," dengan sangat jelas Pak Candra menerangkan.

"Jadi, Bapak dan Mas Robi bertemu saat di kampus?" tanyaku. "Bukan Kasih, saat itu, Bapak nggak sengaja menabrak kedua orang tua Robi, waktu mereka sedang menyeberang, karena waktu itu rem mobil Bapak blong, dan awalnya Bapak marah dengan diri Bapak sendiri, karena membuat Robi kehilangan kedua orang tuanya. Maka dari itu Bapak sangat merasa bersalah dan membiayai Robi sebagai tanda penyesalan dan permintaan maaf," jawab Pak Candra. 

"Kenapa Mas tidak marah atau membenci Pak Candra? Malah bisa akur sampai detik ini?" tanyaku dengan heran. "Untuk apa seumur hidup begitu Kasih? Aku marah hanya di awal kok, hingga akhirnya aku harus menerima semua, toh Papa orang baik, bertanggung jawab," jawabnya sambil tersenyum. "Jadi, karena dicap sebagai pembunuh, makanya semua mahasiswa membenci Bapak?" tanyaku. Pak Candra mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun